WebNovels

Chapter 4 - Bab 4: Dalam Diam, Kita Terbakar

Senja yang Membara

Langit di atas SMA Dermaga 2 berubah menjadi gelap, langit jingga perlahan memerah seperti darah yang mengalir tak terhentikan. Angin dingin berhembus, membawa bau asap yang samar dari kejauhan. Lapangan basket tua itu sudah berubah menjadi arena pertarungan yang akan menggores luka baru di jiwa para pelakunya.

Kerumunan siswa berdiri membentuk lingkaran, tapi tak ada yang berani mengisi ruang di antara Jora dan Devan. Kedua sosok itu berdiri saling berhadapan, wajah mereka bukan lagi sekadar murid sekolah biasa, tapi pejuang yang terperangkap di medan tempur antara masa lalu dan masa depan yang suram.

Di pinggir lingkaran, mata Dimas memerah menahan amarah, Rina menunduk menahan ketegangan, dan Arif menggigit bibirnya dengan cemas. Dari lantai atas, Noah mengawasi dengan tatapan dingin yang hampir tanpa emosi.

Awal Pertarungan: Ketegangan Mencapai Puncak

Devan membuka pertarungan tanpa kata.

Gerakannya tak lagi manusiawi—seperti ada sesuatu yang mengalir di dalam darahnya, menggerakkan otot-ototnya dengan cara yang tak bisa dijelaskan.

Tendangan pertamanya tidak hanya cepat, tapi bergetar aneh, membuat angin di sekitar menjadi berdesir seperti ledakan kecil. Jora menghindar dengan susah payah, merasakan gelombang energi bergetar di udara.

“kekuatan ini lumayan besar ,” bisik Jora dalam hati, matanya membelalak.

arif dan rina yang melihat itu berkata, "Apa benar manusia bisa sekuat itu", "kekuatan seperti itu benar benar akan menghancurkan jora", "tenang, jora bukanlah orang yang gampang dengan mudahnya dikalahkan oleh Devan", ucap arif menenangkan rina

Rahasia Kekuatan Devan

Devan bukan hanya kekar dan kuat—tubuhnya sudah dimodifikasi oleh racikan obat-obatan terlarang yang disuntikkan secara rutin. Efeknya? Superstamina, kekuatan otot yang luar biasa, dan—yang paling mengerikan—sensasi sakit yang sudah hilang dari tubuhnya, digantikan oleh ledakan energi liar yang bisa melampaui batas kewajaran manusia.

Gerakan Devan tak lagi natural, ia kadang seperti terhuyung-huyung, lalu meledak dengan kecepatan yang tak terduga. Mata kirinya bahkan terkadang memerah menyala, seperti nyala api yang siap membakar.

Sebuah kekuatan gelap yang membuatnya terlihat seperti monster, tapi juga membuatnya tidak terkendali.

Pertarungan Berubah Menjadi Neraka

Devan melayangkan serangan yang nyaris mematikan, pukulan dengan kekuatan yang mengguncang tanah. Jora terjengkang, terasa seperti dihantam badai. Tapi ia segera bangkit, menarik napas dalam-dalam, mengumpulkan ketenangan yang sudah lama ia latih.

Namun, Devan tertawa—tawa dengan mengerikan, dia sudah setengah gila.

“Tunggu aja, ini baru permulaan!” katanya sambil melangkah maju, tubuhnya mulai bergetar hebat, seolah ada mesin tersembunyi di dalam dirinya yang sedang memompa bahan bakar panas ke setiap sendinya.

Lalu, dengan gerakan yang tak masuk akal, Devan melepaskan tendangan berputar yang memutar angin sampai daun-daun berguguran. Jora nyaris terlempar ke dinding pagar, tapi ia masih bisa mendarat dengan selamat.

Ledakan Kekacauan

Tiba-tiba, tubuh Devan bergetar liar, dan sekelebat energi gelap menyembur dari tangannya. Tubuhnya seperti terkoyak energi listrik tak terlihat, mengeluarkan suara desis keras seperti arus pendek.

Dia mengayunkan tangan, dan angin mengamuk menyambar ke arah Jora, seperti badai mini yang ingin menghancurkan semua yang ada.

Jora menatapnya dengan penuh waspada, merasakan detak jantungnya meningkat drastis. Ia tahu kalau ini bukan hanya pertarungan fisik—ini pertarungan untuk mempertahankan kewarasan.

Dengan sebuah lompatan, Jora mendekat dan mengunci tubuh Devan, berusaha menetralkan kekuatan liar itu dengan teknik bela diri yang penuh kontrol.

Kegelapan dan Terang

Namun, kekuatan aneh Devan terus mengguncang tubuhnya sendiri, membuatnya bergetar seperti badai dalam tubuh manusia. Wajahnya berubah menjadi ekspresi marah dan kesakitan yang kacau.

“Lo gak ngerti!” teriak Devan, suaranya terdistorsi oleh energi yang mengalir liar dalam tubuhnya. “Gue ini monster karena dunia butuh monster! Gue gak pernah minta ini... tapi gue harus bertahan!”

Jora memandangnya dengan tatapan sendu, tapi tegas.

“hidup lu adalah pilihanmu, Devan. Kalau kau biarkan kegelapan itu menguasaimu, kau akan hancur.”

Puncak Pertarungan: Ledakan Batin

Devan mengguncang tubuhnya sekali lagi, energi hitam yang mengelilinginya meledak ke udara seperti badai petir. Kerumunan terlempar mundur, suara gemuruh memenuhi arena.

Jora berlari ke arah Devan, menyalurkan seluruh tenaganya dalam satu pukulan yang bukan hanya fisik, tapi juga kepercayaan diri dan harapan.

“Ini bukan akhir!” teriak Jora sambil memukul dada Devan.

Tubuh Devan terpental, terhuyung. Wajahnya berubah seketika dari amarah menjadi kosong, seperti seseorang yang baru saja disadarkan dari mimpi buruk panjang.

“Akhirnya!”

“Akhirnya gue nemu orang yang ngerti gimana caranya bikin rasa sakit jadi identitas!”

Jora berdiri, kelelahan. Keringat dan darah menetes dari dagunya.

“Kau menyebut kekerasan sebagai identitas? Aku dulu juga begitu.

Tapi percayalah, itu jalan yang gak akan pernah kasih lo damai.”

Devan, terkapar , menatapnya. Untuk pertama kalinya… dengan mata manusia.

“Lo takut sama bagian lain dari diri lo, ya?” tanyanya.

Jora tak menjawab.

Ia hanya berjalan pergi, meninggalkan Devan terbaring sendiri, tertawa dalam sepi.

Keheningan Setelah Badai.

Jora berdiri di depan kerumunan orang yang sedari tadi memandang pertarungan itu, berdarah, tapi matanya penuh tekad.

Kerumunan masih terdiam, menyadari bahwa mereka baru saja menyaksikan sesuatu yang jauh lebih dari sekadar perkelahian sekolah biasa.

Dimas meremas tangan nya hingga gemetar, Rina menangis pelan, Arif menunduk dalam diam. Dan Noah, dari atas gedung, hanya tersenyum tipis.

Dari Atas, Sang Penulis Bayangan

Noah menutup bukunya.

Ia menyaksikan semuanya. Pertarungan. Kata-kata. Tatapan. Luka.

Tapi yang paling menarik baginya bukan siapa yang menang.

Tapi apa yang muncul dari diri Jora saat ia di sudut tergelapnya.

Ia menulis:

Analisis:

Subjek J.N. memiliki pengendalian diri tinggi. Tapi jika terdesak,

ia akan menarik kembali "jiwa bertarung"-nya dari kedalaman trauma.

Ini bukan hanya pertahanan. Ini warisan yang tidak pernah benar-benar ia buang.

Kesimpulan:

Sosok seperti ini... bukan untuk dilawan.

Tapi untuk ditarik ke pihakku.

Noah berdiri. Ia tak akan tinggal diam lebih lama.

Bayangan yang selama ini ia sembunyikan—akan segera bergerak.

Di Kamar Kos, Malam Itu

Jora menatap cermin lagi. Wajahnya lebam. Bahunya sakit. Tapi bukan itu yang mengganggunya.

Yang mengganggunya… adalah dirinya sendiri.

Sosok yang muncul saat ia dipukul, dijatuhkan, diancam.

Ia menyentuh bayangannya di cermin.

“Kalau aku bisa memilih... aku ingin menjadi damai.”

“Tapi dunia ini… selalu memaksa ku dan memganggu ku.”

Lalu ia membuka tas lamanya.

Dari dalam, ia mengeluarkan benda yang sudah lama tak ia sentuh:

Sabuk kickboxing nasional Jepang.

Penuh debu. Tapi masih utuh.

“Kalau kau datang lagi, aku akan siap,” bisiknya.

Setelah Pertarungan – Di kediaman DIMAS

Suara dentuman pintu terdengar keras.

Dimas menendang lemari di ruangan itu hingga nyaris roboh. Napasnya memburu, wajahnya merah, dan matanya berair bukan karena sedih—tapi karena amarah dan rasa dipermalukan yang menyiksa.

Dimas (berteriak):

“Sialan! SIALAN SEMUANYA!”

Tangannya menghantam dinding, sekali, dua kali, hingga jarinya berdarah. Tapi ia tidak berhenti. Ia bahkan tidak merasa sakit. Yang ia rasakan hanya luka ego yang menganga.

Devan…

Anak yang selama ini disebut sebagai "senjata terakhir", "si brute dari kelas satu", "orang yang bahkan guru saja takut buat negur"…

KALAH.

Bukan hanya kalah. Tapi dijatuhkan.

Oleh siapa?

Jora.

Anak baru. Pendiam. Sopan. Yang bahkan tidak pernah membalas saat dihina.

“Dia… anak itu... dia bukan manusia biasa,” gumam Dimas, wajahnya penuh kebencian. “Gue liat sorot matanya waktu ngelawan Devan… kayak dia pernah ngelewatin neraka.”

“Devan… lo janji bakal ngebalikin harga diri gue. Tapi lo malah jatuh, lo malah…”

Dimas terdiam.

Lalu tertawa—tawa pendek yang getir, tertekan, setengah gila.

“Apa… yang sebenernya gue hadapin sekarang?”

“Siapa itu Jora…?”

Ia mendekat ke cermin tua yang tergantung miring di dinding. Menatap bayangannya sendiri—wajah pemimpin yang sekarang terlihat kecil dan rapuh. Lalu ia menggumam, nyaris seperti berdoa:

“Kalau lo bisa bikin Devan tunduk, lo harus gue jatuhin sendiri. Dengan tangan gue. Biar semua orang tau siapa yang paling atas di sekolah ini.”

Ia menarik napas panjang.

“Kalau lo mau perang, Jora…”

“Gue siap bakar sekolah ini buat jatuhin lo.”

More Chapters