Jakarta, Senin pagi.
Langit cerah, tapi hati banyak orang di SMA Dermaga 2 diselimuti sesuatu yang tak terlihat namun terasa berat. Seolah udara membawa firasat. Firasat bahwa pagi ini bukan awal biasa. Bukan sekadar pergantian hari—tapi sebuah titik balik.
Sudah tiga hari sejak insiden di lorong belakang gedung tua.
Sudah tiga hari pula Jora Nakka tak berbicara banyak.
Tapi setiap gerak-geriknya tetap jadi pusat perhatian. Ia berjalan dengan tenang, seperti biasa. Tapi tatapan semua orang mengikutinya. Bisik-bisik mengiringi langkahnya. Di lorong, di kantin, bahkan di toilet. Namanya telah berubah menjadi legenda hidup.
Dan di tengah semua itu, satu nama lain kembali disebut: Devan.
Senin, 06.45 – Lorong kelas 1-C
Rina menghentikan langkahnya saat melihat seorang pria besar berseragam SMA berjalan melewati gerbang. Suaranya tercekat.
“Arif…” bisiknya lirih.
Arif yang berdiri di sampingnya ikut menoleh. Pandangannya langsung membeku.
Itu dia.
Langkah berat, sepatu hitam penuh lumpur, tas gendong usang di punggungnya. Di lengan kirinya, bekas tato samar masih terlihat walau disembunyikan kemeja lengan panjang. Di matanya… kosong. Tak ada semangat, tak ada marah—hanya kehampaan yang membuatnya lebih menakutkan.
Devan telah kembali.
Siswa-siswa yang mengenalnya langsung bergerak ke sisi lorong, memberi jalan tanpa sadar. Tak ada yang ingin bersenggolan dengannya. Seolah naluri primitif mereka tahu—lelaki itu lebih berbahaya dari binatang liar.
07.00 – Di dalam kelas
Jora duduk di bangkunya. Buku terbuka. Pena di tangan. Tapi tak satu kata pun ditulis.
“Dia balik,” bisik Arif, pelan sekali, nyaris seperti doa buruk. “Gue liat sendiri. Devan.”
Rina menatap Jora, gelisah. “Kita harus lapor ke guru. Atau ke OSIS. Atau siapa pun.”
Jora tidak menoleh. Ia hanya menutup bukunya perlahan. “Lapor tidak akan menghentikan mereka. Devan… bukan tipe yang takut pada peraturan.”
“Jadi kamu mau diam lagi?” Rina mendesak.
“Aku gak mau memulai perang. Tapi aku gak akan mundur juga.”
07.20 – Lapangan Belakang
Dimas berdiri di tengah lapangan lama, yang jarang digunakan sejak bangunan olahraga dipindah ke utara sekolah. Debu masih menempel di tiang ring basket yang sudah bengkok. Rumput tumbuh liar di sela-sela ubin retak. Dan di sinilah semuanya akan dimulai lagi.
Langkah kaki berat menghampiri dari arah barat.
Devan muncul dari balik bayangan pagar tinggi.
Tatapannya langsung menancap ke arah Dimas.
“Lo manggil gue buat masalah lo?” suaranya datar.
Dimas mengangguk, sedikit gugup. “Bukan cuma masalah gue. Ini tentang sekolah ini. Tentang harga diri semua orang yang pernah diinjak sama satu anak baru.”
“Anak baru?” Devan mengangkat alis.
“Jora. Anak pindahan dari Jepang. Bikin malu banyak orang. Termasuk gue.”
Devan duduk di ban bekas dekat lapangan. Ia mengeluarkan sebungkus rokok murahan, menyalakan satu, lalu mengisapnya dalam-dalam. “Gue denger dikit-dikit soal dia. Menang basket. Bikin geng lo nyungsep. Bikin nama lo jatuh.”
Dimas mengepalkan tangan. “Gue udah siap ngerendah. Tapi gue butuh lo. Gue gak bisa ngalahin dia. Tapi lo bisa.”
Devan tidak langsung menjawab. Ia hanya menatap langit. Lalu berkata pelan, tapi dingin:
“Gue gak bantu lo buat harga diri. Tapi buat satu hal:
Gue benci orang sok kuat yang gak ngerti arti luka.”
Sementara itu – Di atap sekolah
Noah berdiri di pinggir atap, tangan memegang buku catatan lusuh berisi tulisan-tulisannya.
Angin menerbangkan beberapa helai rambutnya, tapi ia tak bergerak.
Ia melihat ke bawah—tepat ke lapangan tempat Dimas dan Devan berbicara.
Dan senyum samar muncul di wajahnya.
“Permainan akhirnya dimulai,” gumamnya.
Ia membuka buku dan menulis dengan tenang.
Subjek: Jora Nakka
Status: Diincar oleh dua kutub kekuatan.
Ancaman: Devan. Kelas 1. Pemukul. Eks-preman.
Solusi: Dekati. Amati. Uji ketahanan mental.
09.30 – Kelas 1-C
Pelajaran berlangsung normal. Tapi suasana tidak. Semuanya terasa seperti menunggu ledakan. Bahkan guru pun merasa sesuatu berbeda. Mata-mata yang biasanya tertuju ke papan tulis kini lebih sering mencuri pandang ke arah Jora.
Dan Jora?
Ia tahu.
Ia tahu bahwa bayangan dari masa lalunya sedang mendekat.
Saat bel istirahat berbunyi, seseorang berdiri di depan kelas.
Devan.
“Jora Nakka,” katanya lantang.
Seluruh kelas langsung sunyi. Bahkan suara kursi bergeser pun berhenti.
Jora berdiri perlahan. Menatap lelaki itu.
“Gue denger lo jagoan,” kata Devan. “Lo udah bikin temen gue jatuh. Sekarang, lo bakal gue uji.”
"Tampang lu meyakinkan," " Apa lu latihan bela diri, atau semacamnya ?" ucap Devan.
Jora tidak menjawab. Tapi tatapannya menyala. Bukan karena emosi, tapi karena kesadaran. Bahwa inilah momen yang tak bisa dihindari.
Ruang OSIS – Beberapa Menit Kemudian
Clara menerima laporan dari seorang siswa.
“Devan… nyamperin Jora di kelas?”
Wakil OSIS berdiri cepat. “Kita harus turun.”
Clara menggenggam lengan kursinya, berpikir.
“Jangan dulu. Biarkan kita lihat… siapa sebenarnya yang kita hadapi.”
Di luar kelas – Koridor panjang
Jora berdiri berhadapan dengan Devan. bersama Dimas yang berada di belakangnya.
Arif dan Rina ikut keluar, dan tampak sedikit cemas.
“Gue gak punya masalah sama lo,” kata Jora dengan tenang.
“sekarang lu punya ,” jawab Devan.
“Kalau ini soal harga diri Dimas—”
Devan menyela. “Ini bukan tentang dia. Ini tentang lo. Lo terlihat menarik dan ngingetin gue sama seseorang dari masa lalu gue. Seseorang yang gue penjarain dengan tangan gue sendiri.”
Jora diam.
Semua murid mulai berkumpul di pinggir lorong. Suasana mencekam. Beberapa mulai merekam dengan ponsel.
Devan maju satu langkah.
“Gue gak peduli lo siapa. Tapi kalau lo memang petarung…
Kita selesaikan ini di tempat yang lebih cocok. Malam ini. Lapangan tua. Lo sama gue. Satu lawan satu.”
Jora menatapnya. Lama.
Kemudian ia mengangguk.
“Tapi jangan pikir ini soal menang atau kalah,” katanya.
“Ini tentang siapa yang bisa tetap berdiri setelah kehilangan segalanya.”
Dengan langkah nya yang berat, Devan pergi meninggalkan jora. ada hal yang tidak diketahui oleh Devan bahwa yang sedang dihadapinya ini adalah sosok monster yang mencoba mencari ketenangan setelah melakukan banyak hal selama dia hidup.
Jora menatap Devan yang melangkah pergi, " Apa memang gua harus kembali seperti dulu", gumam nya "Tidak", tangan nya dikepal layaknya menggenggam batu, "Aku hanya ingin belajar seperti siswa lainnya"
namun dalam kepalan itu jora berpikir bahwa dimana pun dia bersekolah, dia tetap akan mengangkat tangan nya untuk berkelahi.
Dalam dunia SMA Dermaga 2, kekuasaan tak lagi ditentukan oleh nilai atau status.
Tetapi oleh siapa yang paling tenang… saat api membakar segalanya.
Jora telah menerima tantangan.
DAN,
Devan telah menunjukkan taring.