Pagi itu, Jakarta diguyur hujan rintik sejak subuh. Udara terasa lebih lembap, dan langit mendung menaungi SMA Dermaga 2 dengan bayang-bayang kelabu. Namun bukan hanya cuaca yang terasa berat—atmosfer di dalam kelas 1-C pun dipenuhi sesuatu yang tak kasatmata: bisik-bisik, lirikan, dan tatapan penasaran.
Kekalahan Dimas dari Jora saat pertandingan basket kemarin sore telah menyebar ke seisi kelas—bahkan ke hampir seluruh sekolah.
Tidak butuh waktu lama. Beberapa siswa yang menonton pertandingan langsung menyebarkannya lewat obrolan grup chat dan story Instagram. Dalam semalam, Jora Nakka berubah dari “anak baru dari Jepang” menjadi “anak baru yang berhasil mempermalukan Dimas di depan semua orang”.
“Seriusan? Dimas kalah?”
“Anak Jepang itu cepet banget mainnya. Nggak kelihatan galak, tapi gerakannya ngeri.”
“Eh, katanya dia atlet di Jepang ya? Kickboxing gitu?”
Jora duduk di bangkunya seperti biasa, namun ia tahu dirinya kini menjadi pusat perhatian diam-diam. Setiap suara berbisik, setiap gerakan kepala menoleh pelan, semua diarahkan padanya.
Ia tidak memalingkan pandangan. Matanya fokus ke papan tulis, pura-pura mencatat pelajaran biologi. Tapi hatinya tahu—kemenangan itu bukan sesuatu yang akan disambut semua orang dengan hangat.
Dan dari sudut kelas, duduklah Dimas.
Wajahnya datar. Tidak berkata sepatah kata pun sejak masuk kelas. Tapi pandangan matanya menusuk tajam ke arah punggung Jora, penuh tekanan dan bara yang tak padam.
Bagi Dimas, kekalahan bukan sekadar kalah angka. Itu luka harga diri. Dan luka seperti itu... tidak dibiarkan sembuh begitu saja.
Dan Jora tahu, seseorang yang kalah dengan harga diri sekuat Dimas... tidak akan diam saja.
Benih Gangguan
Hari itu, gangguan dimulai secara halus. Ketika Jora membuka loker, ia menemukan sepatunya sudah dicoret dengan spidol hitam:
"Jepang cupu, pulang aja!"
Di buku catatannya, halaman tengah sudah digunting. Bahkan bekal makan siangnya dibuang entah ke mana. Tapi Jora... tetap diam.
"Lo nggak bakal lapor ke guru?" tanya Arif saat melihat sepatunya rusak.
Jora hanya menggeleng. “Kalau aku lapor, mereka hanya akan lebih ganas.”
Rina yang mendengarnya ikut kesal. “Tapi kamu juga nggak bisa terus-terusan diam, Jora. Mereka makin keterlaluan!”
Namun Jora mengangkat bahu. "Aku sudah terbiasa diremehkan. Aku hanya butuh waktu. Mereka akan lelah sendiri."
Sayangnya, Jora salah. Mereka tidak lelah. Mereka malah makin menikmati permainan kotor ini.
Perang Psikologis
Dalam tiga hari berikutnya, Jora menjadi target utama geng Dimas.
Setiap langkahnya disusul ejekan. Di kantin, bangkunya ditarik sebelum duduk. Di lapangan, bola dilemparkan ke kepalanya ‘secara tidak sengaja’. Bahkan di kelas, gumaman "nihon kelek", "anak sushi", "samurai nyasar" terus terdengar.
Tapi Jora tetap tidak merespons.
Hingga suatu siang, saat hujan turun lebih deras dari biasanya, Jora diminta guru untuk mengambil map pelajaran di ruang arsip, di gedung tua belakang sekolah.
Ia melangkah dengan tenang, payung di tangan. Namun saat ia masuk lorong belakang yang sepi, tiga sosok muncul dari balik pilar.
Dimas, Andra, dan Ferry. Ketiganya mengenakan jaket olahraga, wajah mereka tak menunjukkan senyum.
“Sendirian, ya?” Dimas membuka percakapan dengan nada mengejek. “Nggak ada bodyguard hari ini?”
Jora berhenti, namun tak menjawab.
“Lo pikir, dengan menang satu kali, lo udah hebat? Semua orang ngomongin lo sekarang. Lo bikin gue malu di depan sekolah,” ujar Dimas sambil mendekat.
Andra menyikut lengan Jora. “Eh, jawab dong. Jangan diem kayak patung di kuil.”
Ferry terkekeh. “Kita bantu dia ngomong aja kali, Mas.”
Dengan kasar, Ferry menarik kerah Jora, namun sebelum sempat melakukan apa pun, Jora menepis tangannya.
“Aku tidak mencari masalah. Tapi kalian makin keterlaluan.”
“Lah, sekarang ngajarin moral?” Dimas menyeringai. “Gue bosen denger lo sok bijak. Kita selesaikan sekarang. Lo sama gue. Berkelahi. Bukan di lapangan. Tapi di sini.”
Pertarungan yang Tak Terhindarkan
Jora menatap mereka. Diam sejenak. Hujan di luar jendela bergemuruh. Lalu ia melepas jaket sekolahnya dengan tenang dan menggulung lengan baju dalamnya.
“Baik. Tapi ingat satu hal.”
Ia menatap Dimas tajam, untuk pertama kalinya menunjukkan api dalam dirinya.
“Aku mencoba menghindar. Tapi kalian memaksa aku jadi seseorang yang dulu sudah aku tinggalkan.”
Dimas tertawa. “Ngelantur apa lo? Udah siap babak belur?”
Jora tidak menjawab. Ia mengatur kuda-kuda—diam, tapi penuh kendali. Dimas menyerang lebih dulu, melayangkan pukulan ke arah wajah. Tapi Jora memiringkan kepala dengan cepat, dan menangkap pergelangan Dimas. Dengan satu gerakan cepat, ia menyikut rusuk Dimas.
“UGKH!” Dimas terjatuh ke lantai, terkejut.
Andra langsung maju. Namun Jora melompat ke samping, menyapu kakinya. BRAK! Tubuh Andra menghantam lantai keras.
Ferry mengayunkan pukulan. Tapi Jora menunduk, lalu mengirimkan tendangan lurus ke dada yang membuat Ferry tersungkur menabrak tembok.
Dalam hitungan detik, tiga orang tergeletak.
Mereka bukan tandingan Jora. Gerakannya tenang, presisi. Ia tidak membabi buta. Tapi tiap serangan efektif dan mematikan.
Dimas bangkit perlahan, tertatih.
Jora mendekat, berhenti hanya beberapa inci darinya.
“Kau sudah puas?” tanyanya pelan. “Aku tidak akan ulangi ini dua kali.”
Dimas menatapnya—tidak dengan marah, tapi takut. Untuk pertama kalinya, egonya digilas bukan oleh rasa malu, tapi oleh ketakberdayaan.
Jora melangkah pergi. Di belakangnya, Dimas terdiam. Bukan karena sakit, tapi karena kenyataan: ia baru saja dikalahkan oleh seseorang yang bahkan tidak marah.
Dan itu jauh lebih menyakitkan dari pukulan mana pun..
Mata yang Mengamati
Sementara itu, dari lantai atas gedung tua, sepasang mata memperhatikan dalam diam.
Noah berdiri membelakangi jendela, tubuhnya diliputi bayangan. Ia mengamati semuanya sejak awal. Gerakan Jora. Ketepatannya. Ketegasannya. Cara dia memilih untuk diam, lalu meledak di saat yang tepat.
“Jadi itu... dirimu yang sebenarnya,” bisik Noah, suaranya tenang tapi menusuk.
Ia membuka buku catatan kecil, menulis dengan huruf-huruf rapi:
“Target berikutnya: Jora Nakka.”
Ia menutup bukunya, lalu berjalan pergi, menghilang ke dalam koridor sepi.
Di sisi lain, di kamar kos kecil yang disewa ayahnya, Jora duduk sendirian, masih dengan seragam setengah basah. Tangannya mengepal di atas lutut. Wajahnya lelah, tapi matanya masih menatap lurus ke depan.
Ia menatap cermin di hadapannya. Bukan untuk memeriksa luka. Tapi untuk mengingat siapa dirinya.
“Aku bukan lagi Jora si atlet dari Jepang.”
“Aku bukan Jora si anak baru yang diam.”
“Tapi juga bukan monster yang suka berkelahi.”
Dia menarik napas dalam-dalam, lalu berkata dengan lirih—penuh tekad:
“Aku hanya ingin hidup tenang… Tapi kalau dunia ini terus menguji aku—aku tidak akan lari.”
Bab 2 berakhir di sini, tapi bara di dalam hati semua tokohnya baru saja menyala.
Dimas... telah kehilangan dominasinya, dan tidak akan tinggal diam.
Jora... telah menunjukkan sisi tersembunyinya, dan kini semua mata tertuju padanya.
Dan Noah... telah membuka halaman pertama dari rencana yang lebih besar dari sekadar pertarungan sekolah.
Jora Nakka bukan lagi hanya murid pindahan. Ia kini bagian dari sesuatu yang lebih gelap, lebih dalam… dan jauh lebih berbahaya.