WebNovels

Chapter 8 - Bab 8: Jejak Hitam

Suara hujan menampar genteng. Kabut dingin merayap ke lantai beton. Di tengah kegelapan, lampu neon berkedip; bayangan orang-orang mengerumun seperti ancaman hidup.

Dimas berdiri seperti pemimpin berangsur jadi raja yang kehilangan nurani. Matanya menyala, suaranya rendah namun penuh hakim.

DIMAS (lambat, penuh beban):

“Kita bukan lagi anak jalan. Kita sedang bikin sejarah — atau kita mati di catatan kecil yang dilupakan orang. Pilih.”

Reno melangkah maju, tangan gemetar menahan kata yang ingin ia lontarkan.

RENO (suara serak):

“Gue paham, Dim. Tapi cara ini… terlalu jauh. Kita mulai nyerang hidup orang lain, bukan cuma lawan. Kapan batasnya?”

Dimas menatap Reno seperti menilai penyakit.

DIMAS (tajam):

“Batasnya ditentukan oleh siapa yang berkuasa. Kalau lo takut, tinggalin. Gak ada tempat buat pengecut.”

Keheningan menahan napas mereka. Beberapa kepala menunduk, beberapa mata menantang. Di pojok, Mira—paling muda, paling lihai dengan layar—menyembunyikan kegelisahan di balik senyum tipis.

Pertemuan Bayangan (Pelabuhan)

Lampu jalan memantulkan air. Sebuah motor tua berhenti. Dari kegelapan, keluarlah sosok bertato: Bang Ryo, pimpinan geng luar. Ia bukan sembarang preman — aura pemimpin yang punya rencana tersendiri.

BANG RYO (sambil menatap Dimas):

“Kalian kecil. Tapi kalian punya api. Api itu berbahaya kalau nggak dikendaliin. Lo mau bayar? Atau mau jadi bahan bakar?”

DIMAS (menjawab tanpa ragu):

“Kita bayar. Tapi kita mau hasil. Kita mau Noah jatuh, Jora disisihkan. Kalian atur chaos, kita yang panen.”

Bang Ryo tertawa kecil, seperti raja yang mendapat mainan baru.

ANG RYO:

“Kita buatsebuah drama. Kita bukan pembunuh — kita penabur rasa malu. Publik paling gampang dibakar oleh cerita yang sudah setengah benar.”

Dimas memberikkan amplop tebal—bukan hanya uang, tetapi sebuah janji yang sulit ditarik kembali. Di sana langkah-langkah tergambar: penyusupan, akun anonim, saksi ‘kebetulan’, tekanan ke orang tua, dan serangkaian kejadian kecil yang dirangkai jadi runtutan besar.

Ruang Operasi, Malam Berikutnya

Papan tulis dipenuhi garis merah. Foto-foto ditusuk dengan paku. Setiap nama adalah target; setiap tanggal adalah bom waktu.

MIRA (mengetik cepat, matanya sayu):

“Kita drop foto blur, terus thread mulai jalan. Kita tarik sedikit, biarkan hoax tumbuh sendiri.”

Tiba-tiba Reno melempar sebuah foto ke meja. Foto itu wajah seorang anak kecil yang menangis—bukan korban langsung, tapi dampak tak terduga dari gosip yang mereka sebar.

RENO (suara pecah):

“Kita udah nyerang anak kecil, Dim. Apa lo sadar itu?!”

Dimas menatap foto, untuk pertama kali ada retakan di topengnya. Namun ia memilih menutupnya dengan perkataan yang dingin.

DIMAS (dingin):

“Peluru moral itu mahal. Kita bayar atau kita mati. Pilih.”

Mira memalingkan muka. Jari-jarinya masih di keyboard, tapi hatinya terpaut ke sesuatu yang lain—sebuah kompas yang mulai goyah.

Di lorong gudang, mata Reno bertemu Mira. Lampu redup menyorot wajah keduanya.

RENO (terdesak):

“Mira… lo bener‑bener mau jalanin ini? Lo ngerti kan, nanti kalau mereka hancur, gak ada yang bener‑bener menang. Kita kehilangan sisi manusia.”

MIRA (pelan, hampir menangis):

“Aku nggak mau jadi penjahat. Aku cuma… gak mau balik ke nol. Tapi setiap kali aku lihat reaksi orang, aku ngerasa… salah.”

Reno menggenggam tangan Mira, memberi keberanian kecil.

RENO:

“Kalo lo ada rencana lain, kasih tau. Kita masih bisa mundur sebelum semuanya kebakar.”

Mira menatap ke arah ruang operasi. Dimas terlihat sibuk, bicara dengan Bang Ryo lewat telepon. Keputusannya mengeras seperti es yang retak: sesuatu harus dilakukan sebelum rencana itu berubah jadi tragedi.

Mira pulang, tapi bukan untuk tidur. Ia duduk di meja, lampu meja setengah redup. Di laptopnya, ia membuka folder tersembunyi—rekaman percakapan, catatan pertemuan, bukti bahwa rencana itu bukan sekadar gertak.

(Dialog batin Mira, monolog singkat):

MIRA (berbisik pada dirinya sendiri):

“Kalo ini terus, aku ikut bunuh masa depan mereka. Aku harus pilih. Aku harus kasih… bukti.”

Ia menekan tombol rekam pada aplikasi kecil — merekam suara, percakapan Dimas dengan Bang Ryo, pengakuan tentang taktik yang akan “mempertontonkan mereka ke publik.” Tangan Mira gemetar, tapi ia tersenyum tipis, penuh tekad.

Pesan yang ia ketik:

“To: UNDISCLOSED”

“Attachment: proof_01 — jangan buka di sekolah.”

Ia mengirim file itu. Layar berkedip: SENT.

Di gudang, Dimas menghentikan teleponnya dan memandang ke arah Dinding Papan. Ia merasakan dingin di perutnya, perasaan yang tak pernah ia kenal: waspada. Di layar ponselnya, notifikasi masuk: “Delivery confirmed” — sebuah fakta kecil yang menyeret awan gelap baru.

CUT TO BLACK.

Geng Bang Ryo — Bayangan Pelabuhan

Bang Ryo bukan sekadar preman; dia adalah otoritas gelap yang membuat anak-anak jalan dan geng-geng kecil menunduk. Di luar sekolah, namanya dipakai untuk menahan napas — satu panggilan, satu janji: masalahmu akan hilang — dengan harga.

Bang Ryo: pria paruh baya, bekas anak jalan yang naik jadi penguasa zona. Tatonya bukan sekadar hiasan—itu adalah peta kehidupan yang penuh kompromi. Wajahnya tenang, tapi matanya selalu mengirim pesan: "Jangan cari gara‑gara."

geng nya bukan sekadar anak muda yang berteriak di gang. Ini organisasi berlapis — anak buah jalanan (pelaksana), kurir, orang dalam wilayah (kontak di pasar, pelabuhan, bengkel), dan beberapa "agen relasi" yang menjaga koneksi ke ranah lebih gelap.

mereka tak suka pamer. Operasi mereka halus, rapi, dan efektif. Mereka dipilih bukan berdasarkan keberanian semata, tapi juga kemampuan menutupi jejak.

Fokus utama Bang Ryo bukan menaklukkan sekolah; ia melayani orang-orang yang putus asa: murid yang dipukuli, keluarga yang tak punya akses ke “keadilan”, anak yang diintimidasi sampai tak punya pilihan. Bang Ryo menawarkan solusi cepat—bantuan fisik, tekanan, atau pengaturan 'insiden' yang memaksa lawan mundur.

Cara kerjanya seperti tukang panggil: ada harga, dan harga itu berbeda tergantung seberapa "kuat" target. Musuh kuat = ongkos lebih mahal, risiko lebih tinggi; musuh lemah = paket basic. Harga itu bisa dibayar uang, jasa, atau hutang yang berujung pada komitmen jangka panjang.

Moralnya abu-abu: banyak klien datang bukan karena haus kuasa, tapi karena keputusasaan. Itulah kekuatan Bang Ryo—ia memonetisasi rasa tak berdaya.

Bang Ryo juga mengendalikan peredaran barang terlarang di wilayahnya: obat-obatan dan narkotika bukan bisnis sampingan, melainkan salah satu pilar ekonomi gelapnya. Ini memberi dia leverage lebih besar—bukan hanya uang, tapi kendali atas ketergantungan orang.

Tanpa menjelaskan cara teknis mendapatkannya, sumbernya digambarkan sebagai jaringan luas: "orang-orang di pelabuhan", "kontak lama dari luar kota", dan "pintu belakang" yang menghubungkan pasar gelap. Dalam cerita, ini cukup menunjukkan jangkauan dan pengaruhnya tanpa perlu rincian operasional.

ketersediaan narkotika memberi Bang Ryo alat lain untuk mengikat orang: menjual, memberi "coba" pada remaja yang rapuh, lalu memanfaatkan ketergantungan itu sebagai senjata tawar-menawar.

Devan, yang pernah berkelahi dengan Jora, bukan hanya korban amarah remaja — ia juga korban keputusan yang lebih kelam. Dalam cerita, Devan memakai obat‑obatan yang datang dari lingkaran Bang Ryo, sebuah bibit tragedi yang memperlebar konflik.

More Chapters