WebNovels

Chapter 10 - Bab 10: Suara yang di dengar

Malam menelan Mira dalam diam. Hujan sudah berhenti, tapi aspal masih basah dan berkilau tertimpa cahaya lampu jalan. Di dalam hoodie lusuhnya, Mira menyembunyikan drive kecil — file kedua. File yang lebih lengkap, lebih berisiko.

Ia menunggu di halte kosong. Detik bergeser pelan. Seorang perempuan berjaket coklat tua datang, berdiri tak jauh. Mira bergerak tanpa bicara. Ia menyerahkan drive itu, tangan mereka bersentuhan sebentar.

“Kali ini bisa langsung jatuhin mereka?” tanya Mira, nyaris berbisik.

Perempuan itu tak menjawab. Hanya mengangguk. Lalu pergi, seolah tak pernah ada di sana.

Mira masih berdiri. Dingin menyusup lewat celah baju. Ia tahu, tidak ada jalan kembali. Tapi pilihan pun tak sesederhana dulu. Kabur? Tapi ke mana?

Matanya menatap ke arah sekolah, lalu ke arah pelabuhan tempat Dimas biasa mengatur rencana. Di benaknya, dua pintu: lari... atau bertahan dan melawan.

Ia menggigit bibir. Napas dalam.

“Gue capek sembunyi.”

Langkahnya berbalik, bukan menjauh — tapi menuju api.

Dimas menyusun catatan-catatan di dinding papan. Tapi tidak untuk target eksternal. Kali ini, ia mencari siapa yang membocorkan isi ruangannya.

“Bukan anak baru,” pikirnya. “Terlalu takut.”

“Bukan Mira. Terlalu... sibuk.”

Tapi kemudian dia terdiam. Mira memang sibuk — terlalu sibuk.

Lalu matanya mengarah ke nama Reno. Seseorang yang terlalu sering bertanya, terlalu sering ragu. Dan orang ragu... biasanya mudah dijadikan jalan masuk.

Dimas menyusun rencana. Sebuah jebakan kecil. Ia menyebar informasi palsu: data operasi fiktif, waktu pengiriman uang ke Bang Ryo, lokasi pertemuan yang sebenarnya tidak ada.

“Kalau bocor, berarti dari dalam. Dan gue bakal tau siapa.”

Dia sengaja membiarkan Reno melihat sebagian catatan. Lalu menunggu. Dua hari, paling lama tiga. Jika bocor lagi, dia tak akan ragu untuk menghabisinya.

Di sebuah gang sempit belakang sekolah, Jora baru saja pulang dari les tambahan. Ia berjalan sendirian, langkah lelah, pikiran masih tertinggal di kelas.

Tiba-tiba, sebuah motor tua berhenti beberapa meter darinya. Dua orang turun. Tak ada suara, tak ada panggilan.

Satu mendekat. Wajah tertutup masker, tapi tatapannya tajam.

Jora mundur selangkah, nalurinya bicara. Tapi sebelum sempat kabur, tangan orang itu sudah menarik kerah bajunya.

“Salah langkah, salah omong — teman lo bakal mati.”

Mereka tak menyebut nama nya. Tapi Jora tahu siapa yang dimaksud "Noah".

Mereka tak memukul. Hanya ancaman, dingin dan jelas. Lalu pergi begitu saja. Tapi yang ditinggalkan bukan luka, melainkan rasa terjepit.

Disisi lain kota juga noah mendapatkan pesan dari nomor tak dikenal.

"Lo pikir lo bisa jadi pahlawan? Satu lagi langkah lo buka mulut, kita datang bukan cuma buat hancurin lu berserta teman lu itu."

Noah menggenggam ponselnya keras-keras. Matanya merah, bukan karena takut — tapi karena amarah yang mulai tumbuh. Ia menatap layar. Lalu mulai menulis sesuatu.

Dimas mengamati layar CCTV kecil. Ia melihat Reno berbicara dengan Mira di lorong sekolah. Suara tak terdengar, tapi bahasa tubuh cukup jelas: Mira bicara, Reno mengangguk. Rahasia dibagi.

Senyum Dimas perlahan hilang.

Badai yang dia bangun... kini berbalik arah.

Dan di tempat lain, file kedua sudah mulai menyebar.

keesokan harinya sekolah dibuka seperti biasa. Bel belum berbunyi, tapi dari kerumunan sudah terdengar bisik-bisik di sepanjang lorong. Semua murid menunduk pada layar ponsel masing-masing, jari-jari mereka sibuk menggeser artikel yang baru saja naik jam 06.03 pagi:

"Sekolah Elit, Bayangan Geng, dan Operasi Mematikan: Investigasi Kekuasaan Gelap Remaja"

oleh Arjuna Tiga Puluh.

Ada foto papan tulis dengan garis merah, ada kutipan rekaman suara. Ada diagram hubungan antara Dimas, Bang Ryo, akun-akun anonim, dan daftar nama korban yang sengaja disamarkan.

Kepala sekolah membaca dengan tangan gemetar. Wakil kesiswaan mondar-mandir sambil menekan tombol ponsel, berusaha menghubungi “pihak-pihak terkait” yang juga tak menjawab. Guru BP membuka artikel di laptop, lalu menatap ruang guru seakan meminta penjelasan—tapi tak ada yang bicara.

"Ini bisa meledak lebih besar dari sekadar masalah internal..." ucap seseorang lirih.

Noah masuk kelas dengan pelan. Tapi untuk pertama kalinya, tatapan yang datang padanya... bukan ejekan. Bukan gosip. Tapi tanda tanya.

Jora sudah duduk di belakang, menatap layar ponsel yang menampilkan bagan dari artikel: namanya tertera di situ, bukan sebagai pelaku... tapi korban.

Reno masuk terakhir, wajahnya tegang. Ia menatap Noah dan Jora, lalu ke Mira yang hanya duduk diam di dekat jendela. Tak ada kata. Tapi semua paham: sesuatu telah pecah.

Dimas berdiri sendiri di depan papan tempelannya. Beberapa foto sudah ia cabut. Beberapa catatan ia bakar di kaleng logam kecil. Di tangannya, ponsel terus berbunyi.

Salah satu pesan masuk:

“Kita gak tanda tangan buat ini bocor. Selesaiin, atau kita yang turun.”

— BR

Dimas tahu itu pesan dari Bang Ryo. Sederhana, tapi cukup mengancam.

Ia menatap papan kosong itu sekali lagi, lalu berkata pelan:

“Jadi kita perang sekarang.”

Di Luar Sekolah – 11.55 WIB

Wartawan mulai berdatangan. Kamera-kamera kecil, ponsel, dan mikrofon ditodongkan ke siswa-siswa yang kebingungan.

“Benarkah geng internal sekolah ini bekerja sama dengan pelaku kriminal dari pelabuhan?”

“Apakah benar ada korban anak di bawah umur?”

“Apakah nama Dimas disebut dalam investigasi itu?”

Tak ada yang berani menjawab. Tapi semuanya merekam.

Angin bertiup pelan. Suasana sekolah seperti sarang lebah yang baru disemprot. Ribut, bingung, dan takut. Tapi di sudut itu, Mira duduk sendiri.

Ia tak merasa menang. Tapi ia merasa bebas.

Ponselnya bergetar sekali.

Dari: Arjuna

“Banyak yang mulai bicara. Kamu bukan satu-satunya sekarang.”

Mira menatap layar ponsel itu lama. Lalu mematikannya. Ia tahu, badai baru saja dimulai. Tapi paling tidak... ia sudah nyalakan api.

Di blog Arjuna, artikel sudah dilihat lebih dari 87.000 kali. Komentar masuk ratusan. Beberapa mantan siswa mulai buka suara. Beberapa guru anonim mulai menulis email pengakuan.

Dan tepat di akhir artikel itu, satu kalimat berdiri sendiri:

“Mereka bilang anak-anak ini terlalu muda untuk bikin kerusakan. Tapi kita lupa — mereka juga cukup muda untuk memberontak dengan cara yang tak kita duga.”

Dimas mulai merasa bingung dan ketakutan, rencana yang dia buat sudah mulai hancur, dia berniat menghancurkan orang yang menggagalkan rencana nya. Dalam benak nya muncul nama reno dan mira." Apa mereka berdua yang membocorkan rencana ku?".

disisi lain bang Ryo juga terancam, dimana status, reputasi, dan bisnis nya hancur. "kalau itu terjadi target nya bukan lagi jora dan noah tapi, dirikuu".

"reno mira kalian harus membayarnya "

ekspresi dingin, marah, dan tegang terpancar di wajah nya.

ini sudah masuk ketahap yang sangat kacau.

More Chapters