Noah berdiri diam di depan kaca buram. Tetes-tetes air dari pendingin ruangan menetes pelan di atas seng, menciptakan irama yang menghantui. Ia baru saja menerima laporan bahwa sebuah video palsu tentang Mira telah viral—dan lebih dari itu, komentar-komentar dari akun anonim telah berhasil memancing reaksi publik. Sebagian pihak mulai menarik diri, sebagian lain mulai bertanya-tanya, dan beberapa sudah percaya.
Wajah Noah tampak lelah, tapi matanya tetap tajam. Ia meraih telepon satelit kecil dari meja, menekan satu tombol yang hanya digunakan dalam keadaan genting.
Suara dari seberang menjawab, datar dan siap. “Kode?”
Noah menjawab cepat. “Abraxas.”
“Lokasi?”
“Zona dua. Semua diam. Tapi itu hanya sementara.”
“Target?”
"Dimas, dia mulai di fase kedua. kita harus masuk sebelum fase ketiga berjalan.
Telepon ditutup. Noah menghela napas. Dia tahu, ini bukan lagi sekadar benturan ideologi. Ini bukan lagi Dimas yang dulu—anak muda dengan semangat yang bisa ditekan dengan satu ancaman. Ini adalah Dimas baru. Berbahaya. Licin. Dan penuh strategi.
ia berjalan menuju meja kayu panjang, membuka map bertanda warna warni. Disana nama nama yang sama muncul: Mira, Reno, Arjuna. Tetapi di map ini, garis yang menghubungkan mereka menuju titik yang berbeda: "Node Akhir."
Di map itu, Noah menyusun nama lain: Kirana — jurnalis muda yang tak dikenal tapi dikenal Noah sebagai “aset tidur.”
Ia menandai Kirana dengan spidol merah. "Sudah waktunya dia terbangun," gumamnya.
Di sisi lain kota, Dimas duduk di dalam mobil tua. Asap rokok membubung di udara. Ia baru saja menerima laporan bahwa komentar ‘goyang kepercayaan’ mulai memberi hasil. Mira mulai menjawab dengan emosi, Reno terlihat gugup dalam wawancara terakhir, dan Arjuna—si jurnalis berintegritas—mulai memposting klarifikasi, yang justru membuat publik curiga.
Tapi Dimas tidak puas.
Ia membuka ponsel kecil tanpa kartu SIM, mengetik satu kalimat:
"Aktifkan Boneka Tidur. Kirim kode: INFERNO-4."
Sementara itu, Kirana, yang biasanya hanya memotret acara komunitas, duduk di atas atap kosannya. Udara malam menusuk, tapi pikirannya lebih dingin. Ponselnya bergetar. Satu pesan masuk dari pengirim tak dikenal. Isinya:
“Sudah saatnya kau lihat wajah asli dari semua yang kau puja. Laporan awal akan dikirim lewat jalur 3. Jangan kontak siapa pun kecuali NOA-X.”
Kirana menggigit bibir. Ia tahu, sejak awal dirinya bukan sekadar jurnalis cadangan. Ia disiapkan untuk saat kota mulai terbakar dari dalam. Dan malam ini, nyala pertama sudah muncul.
Di ruang bawah tanah, Dimas berdiri menghadap peta.
“Langkah dua?” tanya lelaki botak yang tadi mengurus akun palsu.
Dimas menunjuk nama Reno.
“Kita buat dia bicara sesuatu yang salah. Gali masa lalunya, cari kelemahan. Kalau perlu, jebak dia dalam situasi yang membuatnya marah secara publik. Reaksi emosional adalah kehancuran.”
Pria bertato bersandar di dinding. “Kalau itu gagal?”
Dimas menjawab pelan. “Kita edit ulang kenyataan. Gagal bukan berarti berhenti—itu cuma bahan bakar untuk versi yang lebih kejam.”
Namun, di tempat yang lebih tersembunyi dari ruang bawah tanah itu, Noah sudah bersiap dengan timnya. Ia membuka layar besar yang menampilkan peta digital. Titik merah berkedip-kedip.
“Dia pakai jalur Shadow 7 buat komunikasi,” ujar seorang ahli TI di sampingnya.
Noah mengangguk. “Tangkap percakapan terakhir. Cari pola bahasa. Kita buat umpan.”
“Umpan seperti apa?”
Noah tersenyum tipis. “Sesuatu yang membuat Dimas berpikir dia yang masih pegang kendali. Kita tanam informasi palsu. Kita buat dia jatuh karena kepercayaan yang salah.”
Malam terus menua. Kota tetap terlelap, tak menyadari bahwa medan tempur di bawah permukaannya mulai membakar. Gosip berubah jadi narasi. Narasi menjadi keyakinan. Dan dari keyakinan itu, reputasi runtuh satu demi satu.
Dimas menatap langit-langit ruang bawah tanah. “Langkah ketiga sebentar lagi,” bisiknya.
Namun di tempat lain, Noah memandang layar dengan sorot dingin. Ia membisikkan hal yang sama, tapi dengan nada berbeda:
“Langkah pertama baru dimulai.”
Malam itu kota berdenyut pelan—berita kecil menyebar seperti luka yang dibuka kembali. Dimas memantau dari bawah tanah; setiap notifikasi membuat dadanya mengetat. Ia tahu apa yang ia lepaskan sudah mulai bekerja: gosip-gosip kecil bermetamorfosis menjadi narasi, komentar menjadi bukti yang dipercaya, dan simpati perlahan berubah jadi rasa curiga.
Di sisi lain, Noah membaca pola-pola itu seperti peta perang. Ia tidak tergesa; ia memilih menunggu sampai Dimas membuat langkah yang cukup percaya diri—kesalahan kecil, sesuatu yang bisa ia gunakan sebagai bahan umpan. Noah tidak ingin menghentikan semua serangan; dia ingin menjatuhkan kepala yang memimpin permainan itu. Dalam senyap, timnya menyiapkan kontra-narasi dan mencatat setiap celah yang muncul di alur cerita yang diciptakan Dimas.
Mira merasakan tekanan itu duluan. Teman-temannya mulai memberi jarak; komentar miring berulang di beranda hidupnya. Ia mencoba menjelaskan, mencoba tetap profesional, tetapi wajahnya yang kelelahan memberi bahan bagi yang ingin menafsirkan. Di sinilah strategi Dimas bekerja: bukan hanya menjatuhkan reputasi, tapi memancing reaksi yang memperburuk keadaan.
Reno, yang sejak lama menyimpan ketakutan akan diluputkan dari bayang-bayang, mulai membuat keputusan terburu-buru. Wawancara singkat yang bermaksud membela diri berubah jadi bahan serangan—kata-kata yang dipilihnya tampak defensif, seakan mengakui sesuatu yang tidak pernah terjadi. Arjuna, di lain sisi, berusaha meninjau ulang setiap laporan yang pernah ia buat; paranoia memakan upayanya untuk tetap obyektif.
Kirana, yang menerima pesan dari Noah, kini berdiri di persimpangan. Sebagai jurnalis, ia tergoda untuk menulis—untuk membuka semua hal yang ia tahu. Namun ada suara kecil di kepalanya yang bertanya tentang konsekuensi: siapakah yang benar-benar diuntungkan jika ia menumpahkan isi kotak Pandora itu? Ia menunda keputusan, mengumpulkan bukti, menimbang kebenaran versus bahaya.
Di bawah tanah, ketegangan meningkat. Dimas menggerakkan pion-pionnaya, tetapi ia juga mulai merasakan retakan dalam jaringnya sendiri: seorang anggota menunjukkan rasa tak nyaman, ada pesan ancaman anonim yang muncul di luar rencana, dan bisik-bisik tentang loyalitas yang dibeli mulai memakan suasana. Ia menutup mata sesaat, merasakan berat pilihan yang dibuatnya—sebuah kemenangan yang mungkin datang dengan harga nyawa atau kehancuran moral.
Ketika fajar menyelinap, kota tampak normal bagi kebanyakan orang. Namun di balik layar kehidupan sehari-hari, perang reputasi itu sudah menyusun kerangka kerusakan. Noah menatap layar dengan dingin, menunggu momen ketika Dimas terlalu percaya diri; Dimas menunggu hasil yang memastikan posisinya; dan di antara mereka, Mira, Reno, Arjuna, dan Kirana menimbang kembali siapa yang pantas dipercaya.
Di suatu sudut, seorang pria bertato menggosok foto yang kini robek di pinggiran—sebuah pengingat bahwa setiap rencana punya konsekuensi yang tak terduga. Dimas menarik napas, memutuskan langkah selanjutnya bukan karena kebencian lagi, tetapi karena ketakutan. Di luar, kota berangkat kerja, tak tahu bahwa hari itu akan menentukan siapa yang akan tersisa dari permainan yang baru saja dimulai.