keesokan nya jora masuk ke sekolah seperti biasa, namun ada hal yang terlintas dari pikiran nya, "Siapa orang yang membantu membebaskan nya", apa itu noah ujar dalam benak nya. rafi dan rina menghampiri jora, tampak rasa khawatir di mata rina dan rafi atas kejadian yang menimpa jora. namun jora mengatakan bahwa tidak perlu khawatir aku bisa menyelesaikan ini.
bel berbunyi tampak pelajaran sudah mau mulai.
semua murid belajar dengan baik guru menerangkan materi pembelajaran, namun tidak dengan jora tatapan nya kosong menghadap ke jendela luar yang sedang hujan dipikiran nya saat ini "apakah Dimas sudah berhenti dan menyerah?".
Hujan belum berhenti. Bau besi dan asap rokok masih mengambang. Di meja, Dimas menatap layar ponselnya. Notifikasi kecil itu masih ada:
Dia nggak bilang apa-apa. Tapi dari cara dia duduk, dari cara dia ngegenggam ponsel terlalu lama — ada yang berubah.
Reno masuk dengan pelan. Langkahnya berat."Lo dapat kabar?"
dengan tenang dimas mengatakan "belum, tapi sepertinya ada yang ga beres". ketegangan sedikit terjadi reno mulai sedikit bimbang karena rencana nya sudah terlalu jauh.
Dimas berpikir bahwa sepertinya ada orang yang membocorkan rencana nya, namun dia tidak tau siapa orang tersebut.
reno membalas perkataan dimas bahwa rencananya gak make sense lagi. Kita bukan cuma ngancurin nama orang, kita bikin satu sekolah gak bisa percaya siapa pun.
dengan penuh ambisi Dimas mengatakan Tujuan kita emang itu. Kekuasaan itu bukan soal siapa yang jadi benar. Tapi bikin semua orang bingung siapa yang salah. reno duduk perasaan nya mulai tak karuan dia gak habis pikir bisa bisanya Dimas mengatakan hal seperti itu. Dimas menatap reno dingin dan tajam Gue udah liat banyak orang jatuh gara-gara takut kotorin tangan. Gue gak mau jadi salah satunya.
Mira berdiri sendiri, hoodie menutupi wajahnya yang pucat. Hatinya terbelah, antara keberanian dan ketakutan. Dia tahu, pilihan yang ia buat bukan hanya akan mengubah nasib geng itu, tapi juga dirinya sendiri.
disisi lain Sebuah pesan masuk di ponselnya. Tangan Mira gemetar saat membaca: “Kami terima file-nya. Apakah kamu yakin?”
Ia menunduk, menatap ke ujung jalan yang gelap.
“Ini satu-satunya jalan,” gumamnya dalam hati.
Sekolah yang dulu penuh tawa kini berubah sunyi penuh bisik. Selebaran-selebaran dengan foto buram tersebar di setiap sudut, memecah kepercayaan yang dulu terjalin.
Di pojok kantin, Reno memandang ke arah kerumunan. Matanya kosong, tapi ada sesuatu yang menyala—kecewa dan ragu.
Dimas berjalan melewati lorong, wajahnya dingin seperti es yang retak. Ia tahu, permainan sudah berubah. Tidak ada tempat untuk ragu.
Di depan laptop, Mira mengatur bukti-bukti dalam folder tersembunyi. Suara ketukan keyboardnya pelan, hampir seperti napas yang tertahan.
Sebuah pesan masuk kembali: “Kami butuh lebih dari ini. Bukti kuat.”
Ia menatap layar, wajahnya lelah namun tekadnya makin mengeras.
kembali ke gudang dimana Dimas tampak sedikit pusing dan binggung Dia berdiri di depan papan operasi yang mulai kosong, seolah-olah ia mencoba menyusun ulang potongan teka-teki yang hancur.
“Bocor,” ucapnya lirih, suara hampir tak terdengar.
Reno menatapnya tanpa kata, tahu bahwa perang yang sebenarnya baru dimulai.
Mira dan Reno berhadapan, tanpa kata. Mereka tahu, dari sini, tidak ada jalan kembali. Hanya ke depan, dengan risiko yang tidak pernah mereka bayangkan.
Malam di pinggiran kota
Lampu jalan redup, tetesan hujan masih menggantung di udara. Mira berdiri di depan sebuah rumah tua, tangan menggenggam erat USB yang berisi bukti-bukti. Napasnya berat, langkahnya ragu.
Pintu diketuk perlahan. Seorang pria paruh baya membuka, tatapannya dingin tapi penuh kewaspadaan. Mira menyerahkan USB tanpa sepatah kata, lalu mundur perlahan ke bayang-bayang.
File demi file dibuka. Bukti-bukti kecil terangkai jadi cerita besar.
Di luar, hujan mulai deras lagi.
Keesokan harinya di sekolah, seisi kelas tampak terasa lain, raut wajah para siswa tegang dan dingin, berita tentang gosip dan fitnah itu sudah meyebar, satu persatu siswa mulai menutup diri dan menjauh. Dimas berdiri di depan kaca kamar mandi, tatapannya kosong. Ia mencuci wajah, tapi air tidak cukup membersihkan beban di pikirannya.
Dimas tahu: ini bukan sekadar perang biasa. Ini adalah pertempuran untuk jiwa.
Di pojok perpustakaan Reno duduk sendiri, mencoba mencerna semua yang terjadi. Ponselnya bergetar, pesan masuk dari Mira
“Kita harus bicara. Sekarang.”
Ia berdiri, bergegas ke tempat yang telah mereka sepakati.
di lorong sekolah yang gelap Mira menunggu reno, kecemasan tidak bisa ditutupi di wajahnya.Reno datang, hanya berkata singkat:
RENO:
“Kita harus keluar dari ini, sebelum semuanya benar-benar hancur.”
MIRA:
(pelan)
“Tapi bagaimana? Mereka sudah mulai bertindak.”
Di balik layar, Dimas mengamati
Ia tahu pengkhianatan mulai merebak. Tapi ia juga tahu, kekuasaan hanya milik mereka yang berani mempertahankannya, bahkan jika itu berarti harus kehilangan segalanya.
Gelap semakin pekat. Pilihan semakin sempit.
Kertas-kertas berserakan di meja. Pensil warna tergeletak tak disentuh. Jora menatap lukisan setengah jadi di depannya — wajah sendiri, dengan latar belakang kabur. Seolah ia sedang melukis dirinya yang mulai hilang.
Di luar ruangan, suara tawa terdengar palsu. Satu-dua tatapan masuk dari celah pintu kaca. Sejak selebaran itu menyebar, ia bukan lagi siswa — ia jadi teka-teki, jadi bahan gosip, jadi cerita yang semua orang pikir mereka tahu.
"Mereka kira gue tahu semua yang terjadi. Nyatanya, semuanya datang begitu aja — gue cuma bisa bengong, nunggu kapan bakal kejatuhan masalahnya."
Di dalam kamar yamg besar. Udara pengap. Tumpukan buku tak disentuh. Ponsel ada di tangan, tapi bukan untuk buka chat — hanya dipelototi kosong, seolah-olah jawaban bisa keluar dari sana.
Nama dan fotonya tersebar, dicampur hoax yang memalukan. Ada yang bilang dia manipulatif, ada yang sebut dia nyogok guru, bahkan ada yang menyebar rekayasa tangkapan layar saat terjadi nya pertengkaran anatra jora dan devan. Noah tahu itu semua bohong. Tapi sebagian orang gak peduli kebenaran — mereka cuma pengen percaya yang paling seru.
Ia mengepalkan tangan. "Dulu gak ada yang berani sentuh gue. Tapi sekarang semua kayak punya peluru buat nembak. Kayak ada yang buka pintu buat mereka. Gue tahu siapa yang pegang kuncinya."
Nama itu muncul di kepalanya: Dimas.
Bukan karena bukti. Tapi karena logika.
Noah pernah sesekali menyentil Dimas di diskusi. minggu lalu, dia sempat memperingati Dimas agar tidak semena mena dan mengganggu jora — . Ia tak menyangka, peringatan itu bisa berubah jadi pembalasan sebesar ini.
"Ini balas dendam. Pelan, tapi kejam. Dimas gak cuma pengen bikin gue jatuh. Dia pengen semua orang liat gue pecah dari dalam.”
"menarikkk dimas kita, ternyata lu mau melawan ya"?.
senyum yang menyeringai terlihat dalam raut wajah noah.