Pagi itu...
Langit di atas SMA Dermaga 2 kembali biru, seolah malam kelam tak pernah ada. Tapi semua orang tahu—bekas luka tak selalu tampak di permukaan.
Jora datang lebih pagi dari biasanya. Langkahnya pelan tapi pasti, melewati lorong sekolah yang tampak seperti biasa... namun tidak terasa biasa sama sekali.
suasana tampak sunyi. namun dibalik kesunyian ini tersimpan hal yang tak bisa di ucapkan Mata-mata siswa yang biasanya acuh kini mengawasinya diam-diam. Tak lagi dengan hinaan, tapi campuran ketakutan, rasa penasaran… dan rasa hormat yang aneh.
Jora tidak menatap balik. Tapi ia tahu. Semua telah berubah. Dan tak akan pernah kembali seperti semula.
Pertemuan di Atas Atap
Saat bel istirahat berbunyi, Jora tak ke kantin. Ia menaiki tangga ke atap sekolah—tempat sepi yang biasa ia kunjungi saat ingin berpikir. Tapi kali ini, ia tak sendiri.
Noah sudah di sana.
Ia duduk di tepi pagar, membaca buku kecil yang lusuh. Angin memainkan rambutnya yang sedikit acak-acakan, tapi senyumnya tetap tenang.
“Pagi, Jora,” ucap Noah tanpa menoleh.
Jora tidak menjawab, hanya berdiri beberapa meter darinya.
“Apa kau mengamatiku selama ini?” tanya Jora datar.
Noah menutup bukunya perlahan. “Bukan mengamatimu. Aku mempelajarinya.”
“Kenapa?”
perasaann aneh timbul dalam benak jora, "mempelajari, diriku?" gumamnya
Noah berdiri. Tatapannya tak mengandung ancaman. Tapi ada sesuatu di baliknya—sesuatu yang tajam, tajam seperti pisau yang dibungkus kertas hadiah.
“Karena kau bukan orang biasa, Jora. Dan aku tertarik dengan dirimu.”
Jora mengerutkan alis. “apa kau juga mencoba menantang ku?” angin bertiup kencang dan suasana menjadi tampak lebih serius
noah menatap ke arah jora "Aku tidak sedang menantang mu, aku memerlukan bantuan mu".
jora tampak kebingunan dengan perkataan noah, "Butuh bantuanku, kenapa?".
“Dunia ini tidak adil. Kau tahu itu. Aku juga tahu. Tapi sebagian orang… dilahirkan bukan untuk mengikutinya. Mereka diciptakan untuk mengguncangnya.”
Ia melangkah mendekat.
“Gabunglah denganku, Jora. Bukan sebagai pion… tapi sebagai partner. Kita akan membentuk sesuatu yang tak pernah bisa dijatuhkan oleh aturan sekolah, guru, atau sistem busuk ini.”
Jora menatapnya lama. Angin berhembus, membawa bunyi daun-daun gugur dari kejauhan.
“Aku datang ke sini… bukan untuk kembali ke dunia seperti itu,”
"Aku hanya ingin belajar dengan damai",
kata Jora akhirnya. “Tapi semua orang terus mendorongku ke arah itu.”
Noah tersenyum tipis. “Maka berhentilah untuk menahan dorongan itu . Mulailah mendorong balik.”
Mereka saling menatap satu sama lain, lalu Jora berbalik.
“Aku belum butuh aliansi. Tapi aku gak akan lari.”
“Bagus,” jawab Noah tenang. “Aku akannmenunggu.”
Dimas Menyusun Strategi
Di tempat lain—di sebuah gudang kosong dekat lapangan voli belakang sekolah—Dimas berkumpul dengan beberapa anak dari gengnya.
Mereka tampak tegang, beberapa duduk di lantai, beberapa berdiri bersandar. Di tengah mereka, papan putih berisi skema kasar: lingkaran bertuliskan “JORA” dikelilingi panah dan catatan strategi.
“Devan gagal. Dia gak bisa diandalkan,” ucap Dimas sambil menatap papan itu.
Salah satu anak, Reno, bertanya, “Terus, apa yang akan kita lakukan sekarang , lu mau nyuruh siapa?”
Dimas menatap ke sudut ruangan. Di sana, berdiri seorang siswa kelas dua—tinggi, bertubuh kurus, tapi matanya tajam dan penuh kebencian. Ia dikenal sebagai Rayka, bekas petarung jalanan yang dikeluarkan dari dua sekolah sebelumnya karena kasus kekerasan brutal.
“Rayka,” ucap Dimas, “lo mau kerja buat gue?”
Rayka tersenyum miring. “Selama gue bisa hancurin orang itu, gue gak peduli.”
Dimas melangkah maju, menyerahkan foto buram Jora yang disobek dari buku tahunan.
“Itu target lo.”
Rayka menatap foto itu lama, lalu mengangguk.
“Kasih gue satu minggu.”
Bayangan dari Masa Lalu
Di rumah, malam hari, Jora kembali menatap sarung kickboxing-nya. Tapi kali ini, ia memegangnya lebih lama.
Kilasan ingatan datang—turnamen nasional, ring tinju, sorak sorai, dan… suara ayahnya yang tegas tapi penuh harap.
“Jangan pernah bertarung karena marah, Jo. Bertarunglah karena kau harus melindungi sesuatu.”
Suara itu samar… karena sudah lama ayahnya menghilang. Terlalu lama.
Jora menghela napas.
“Ternyata... luka lama gak pernah benar-benar sembuh, ya.”
Ia mengencangkan sarung itu di tangan nya. Untuk pertama kalinya setelah bertahun-tahun.
Musuh dari dalam
Jora duduk di sudut kamarnya, tatapannya kosong menatap dinding yang penuh coretan dan poster lama. Suara riuh sekolah seakan jauh di belakang sana. Dalam keheningan itu, ingatan yang selama ini ia kubur dalam-dalam mulai muncul kembali.
“Jo, ingat baik-baik—kalau kau jadi petarung, jangan pernah biarkan emosi menguasai pukulanmu. Emosi itu akan membunuhmu, bukan lawanmu.”
Jora mengangguk kecil, masih ingat setiap kata itu seperti mantra yang terus diulang setiap hari selama latihan keras mereka di dojo kecil di pinggiran kota.
Jora mengangguk kecil, masih ingat setiap kata itu seperti mantra yang terus diulang setiap hari selama latihan keras mereka di dojo kecil di pinggiran kota.
Ayahnya, mantan petarung yang sangat disiplin, menanamkan satu prinsip: “Pukulan tanpa emosi adalah pukulan yang tak tertandingi.”
Namun malam itu, di final kejuaraan kickboxing nasional Jepang, prinsip itu hancur berkeping-keping.
Di tengah ring yang terang benderang, Jora berdiri berhadapan dengan Yuiji—kawan seperjuangannya yang sudah bersama sejak kecil. Mereka berdua adalah bakat terbesar yang pernah dilahirkan dojo itu. Mereka saling memahami, saling mengandalkan.
Namun malam itu, ada sesuatu yang berbeda. Ketegangan yang tak terlihat menyelimuti udara.
Pukulan demi pukulan, pertarungan berlangsung sengit. Tapi ketika Jora melepaskan pukulan terakhir, sesuatu yang tak pernah ia bayangkan terjadi.
Yuiji terjatuh.
Waktu seakan melambat.
Jora melihat wajah sahabatnya itu—matanya terbuka lebar, ada rasa sakit yang mengerikan.
Yuiji tak pernah bangun lagi.
Kisah yang Tak Pernah Terungkap
Tidak ada yang tahu persis apa yang terjadi malam itu. Apakah itu kecelakaan? Apakah pukulan Jora terlalu keras? Atau ada sesuatu yang lebih gelap tersembunyi di balik tragedi itu?
Yang jelas, sejak saat itu, Jora berubah.
Trauma yang menghantui, luka batin yang tak terlihat membuatnya berhenti dari dunia yang pernah dicintainya.
Kembali ke Masa Kini
Jora menutup mata, menggenggam erat sabuk kickboxing yang sudah usang.
“Yuiji... maafkan aku. Aku tak pernah ingin ini terjadi.”
Sakit itu masih ada, menggerogoti hatinya, memisahkan dirinya dari mimpi dan masa depan yang dulu ia bayangkan.
Namun di balik semua itu, ada bara yang tak pernah padam. Bara yang kini harus ia nyalakan kembali jika ingin bertahan dalam dunia yang keras ini.
Jora membuka mata, tatapan yang penuh tekad muncul kembali.
“Kalau aku harus bertarung lagi, aku tak akan biarkan emosi menguasai ku. Aku harus kuat. Untukku. Untuk Yuiji.”