Pasir putih di bawah kaki Arka masih terasa dingin, meski seluruh tubuhnya panas karena adrenalin. Pohon bercahaya di hadapannya berkilauan seperti ribuan bintang kecil yang menetes dari setiap daun. Akar-akarnya memancarkan sinar lembut, seolah mengalirkan energi ke tanah pulau.
Tapi semua keindahan itu segera tenggelam ketika sosok di bawah pohon melangkah maju.
Pertemuan yang Mengguncang
Pria itu tinggi, berambut panjang yang sebagian memutih, matanya tajam namun penuh rahasia. Ia mengenakan jubah kelabu tua yang robek di beberapa bagian, tapi di dadanya terikat tombak pendek berujung kristal emas persis seperti yang Arka lihat dalam bayangan dari kalungnya.
Arka membeku."...Ayah?" suaranya serak, nyaris tak keluar.
Pria itu berhenti. Tatapannya menusuk, bukan tatapan seorang ayah yang merindukan anaknya, melainkan seperti seseorang yang sedang menilai apakah orang di depannya teman… atau ancaman.
"Arka…" suara pria itu berat, seperti bercampur antara rindu dan waspada. "Kau tidak seharusnya ada di sini."
Rahasia yang Terungkap
Satria berdiri di samping Arka, pedangnya terangkat. "Kalau kau benar ayahnya, kenapa nada bicaramu seperti mengusirnya?"
Pria itu menghela napas, lalu menunjuk ke langit. Pusaran merah di atas kepala mereka semakin menyala, mengeluarkan suara bergetar seperti ribuan guntur yang bergema bersamaan.
"Itu bukan sekadar fenomena alam," katanya. "Itu adalah Gerbang Hulu Sungai… dan sekali terbuka penuh, semua yang ada di sini akan tersapu. Termasuk kalian."
Arka melangkah maju. "Kalau begitu, ikut kami keluar. Kita bisa mencari cara"
"Tidak." Ayahnya memotong dengan tegas. "Aku yang membuka gerbang itu. Dan aku yang harus menutupnya… meskipun itu berarti aku tak akan kembali."
Bayangan Musuh Lama
Sebelum Arka bisa membalas, tanah pulau bergetar keras. Dari sisi kiri, pemimpin Penjaga Arus Hitam muncul bersama dua pengawal yang setengah basah kuyup. Senyum miringnya penuh ejekan.
"Akhirnya aku menemukan pemilik tombak emas itu," ujarnya. "Kalau saja aku tahu ayahmu masih hidup, Arka, mungkin aku sudah lama mengubah strategiku."
Mata Arka menyipit. "Kau yang memburuku sejak di pelabuhan… jadi semua ini jebakan?"
Pemimpin itu mengangkat bahu. "Bukan jebakan. Lebih tepatnya… perburuan. Dan hadiah utamanya ada di sana," ia menunjuk tombak di dada ayah Arka. "Dengan itu, Gerbang Hulu Sungai akan menjadi milikku."
Pertempuran di Pulau
Tanpa aba-aba, dua pengawal Penjaga Arus Hitam menyerbu. Satria langsung menangkis serangan pertama, pedangnya bertemu dengan bilah sabit salah satu pengawal. Suara benturan logam menggema di udara, disusul percikan api yang kontras dengan cahaya lembut dari pohon.
Arka mencoba mendekat ke ayahnya, tapi pria itu mengangkat tangannya, menciptakan dinding air yang memisahkan mereka. "Kau belum siap, Arka. Lindungi dirimu dan temanmu!"
Pemimpin Penjaga Arus Hitam melangkah melewati dinding itu tanpa gentar ternyata ia mampu menembus penghalang air, sesuatu yang bahkan Arka sendiri tak bisa lakukan.
Pilihan Sulit
Pertempuran pecah di tiga sisi: Satria melawan kedua pengawal, Arka mencoba memecahkan dinding air, dan ayahnya berhadapan langsung dengan pemimpin musuh.
Setiap kali tombak emas beradu dengan bilah pedang hitam pemimpin itu, pulau berguncang hebat. Akar pohon bercahaya mulai retak, sinarnya meredup.
Di sela benturan, ayah Arka berteriak, "Kalau aku kalah, ambil tombak ini dan larilah! Jangan biarkan jatuh ke tangannya!"
Hati Arka mencengkeram rasa takut yang dalam. Dia tahu… kalau sampai itu terjadi, bukan hanya pulau ini yang hancur, tapi seluruh aliran Sungai Emas akan berubah menjadi arus maut yang tak terkendali.
Akhir Bab
Sebuah ledakan cahaya menyilaukan terjadi ketika tombak emas dan pedang hitam bertemu untuk terakhir kalinya. Arka merasakan tanah di bawah kakinya pecah, lalu tubuhnya terhempas ke udara.
Saat pandangannya mulai buram, ia melihat dua hal:
Tombak emas terlempar ke arahnya.
Dan ayahnya… terjatuh ke dalam pusaran merah di langit.