WebNovels

Chapter 22 - Bab 22 – Hulu Sungai yang Tak Tercatat

Arka merasakan tubuhnya seperti dihempaskan sekaligus ditarik oleh kekuatan yang tak terlihat. Matanya buta oleh cahaya keemasan yang menyilaukan, telinganya dipenuhi dengung rendah seperti ribuan lebah raksasa.

Saat ia akhirnya bisa membuka mata, ia tidak lagi berada di tepian sungai.Di hadapannya terbentang hamparan air biru kehijauan yang memantulkan langit berwarna jingga pucat. Sungai itu mengalir pelan, namun di tengahnya terlihat pilar-pilar batu raksasa yang menjulang seperti menara purba.

Di sekitar mereka, pepohonan berukuran tak wajar tumbuh rapat, daunnya selebar perahu. Udara di sini segar tapi padat, membuat setiap tarikan napas seperti menghirup energi murni.

Satria berdiri di sebelah Arka, matanya tak lepas dari pilar-pilar itu. "Tempat ini… bukan bagian dari dunia yang kita kenal."

Pulau Tengah dan Cahaya di Langit

Di kejauhan, di tengah aliran sungai, terlihat sebuah pulau kecil dengan sebuah pohon tunggal. Pohon itu bercahaya lembut, seolah setiap daun memancarkan sinar sendiri. Di pucuknya, ada sesuatu yang berkilau seperti permata.

Namun yang paling aneh adalah langitnya meski di satu sisi terlihat seperti senja, di sisi lain masih terang benderang seperti siang. Dan di titik pertemuan cahaya itu, berputar pusaran cahaya berbentuk lingkaran yang memantulkan bayangan naga.

Arka memegang kalungnya yang kini berdenyut pelan, seirama dengan pusaran di langit. "Sepertinya… itu yang memanggil kita."

Bisikan Penjaga Hulu

Tanpa peringatan, dari balik pepohonan, muncul sesosok makhluk tinggi berkulit gelap kehijauan, matanya berkilau seperti batu giok. Tubuhnya dibalut kain putih sederhana, tapi auranya membuat udara di sekitarnya bergetar.

Makhluk itu berbicara dengan suara bergema:"Pewaris darah sungai… kau telah datang. Tapi setiap langkah di Hulu ini… menuntut bayaran."

Satria maju setengah langkah. "Apa yang kau maksud dengan bayaran?"

Makhluk itu menoleh padanya, sorot matanya tajam seperti bilah besi. "Bukan emas. Bukan nyawa. Tapi… kebenaran yang kau sembunyikan dari dirimu sendiri."

Arka terdiam. Kata-kata itu terasa menusuk langsung ke dalam hatinya.

Jejak Ayah di Hulu

Makhluk itu mengangkat tangannya, dan air sungai di samping mereka terbelah, membentuk lorong transparan. Di dasar sungai itu, terlihat jejak kaki yang membara samar jejak yang mengarah menuju pulau bercahaya di tengah sungai.

Arka mengenali bentuk jejak itu. Itu adalah jejak ayahnya.Tanpa pikir panjang, ia melangkah masuk ke lorong air itu, meski setiap langkah terasa seperti menembus dinding tak terlihat.

Satria mengikutinya, pedang di tangan. Makhluk penjaga itu hanya mengawasi, tidak menghalangi.

Bayangan yang Mengikuti

Namun sebelum mereka mencapai setengah perjalanan, Arka mendengar suara cipratan air di belakang. Ia menoleh dan matanya melebar.Penjaga Arus Hitam sudah berada di Hulu Sungai. Rupanya pusaran gerbang tidak sepenuhnya menutup, dan mereka berhasil menyusup.

Pemimpin mereka melangkah di lorong air dengan senyum mengejek. "Terima kasih sudah menunjukkan jalannya, anak penjaga."

Satria menegakkan tubuh, siap bertarung. Tapi makhluk penjaga Hulu hanya berkata pelan:"Di sini, yang lemah akan ditelan air. Yang kuat… akan dipulangkan dalam keadaan yang tak lagi sama."

Awan Merah di Atas Pulau

Ketika Arka dan Satria hampir tiba di pulau bercahaya, pusaran di langit tiba-tiba berubah warna menjadi merah darah. Cahaya yang sebelumnya hangat kini terasa seperti bara yang membakar kulit.

Suara asing menggema di seluruh Hulu:"Anak itu tidak boleh sampai ke inti sungai. Hentikan dia."

Air di sekitar mereka bergolak. Dari kedalaman, muncul sosok-sosok air berwujud manusia dengan mata kosong. Mereka bergerak cepat, mengepung Arka, Satria, dan bahkan Penjaga Arus Hitam.

Pertempuran pun tak terhindarkan, tapi Arka tahu jika ia berhenti sekarang, jejak ayahnya akan hilang selamanya di balik pusaran merah itu.

More Chapters