Perahu Pak Karta berhenti perlahan di tepian yang dipenuhi akar pohon besar yang mencuat dari tanah seperti ular raksasa. Di baliknya, berdiri gerbang batu setinggi rumah, setengah tertutup lumut dan akar-akar tua.
Udara di sekitar gerbang terasa lebih berat seperti kabut yang tak terlihat. Daun-daun tidak bergerak meski tidak ada penghalang angin. Bahkan suara hutan seolah meredam sendiri.
Arka turun dari perahu, kakinya menginjak tanah lembab yang memantulkan sedikit suara "pluk" setiap kali ia melangkah. Cahaya dari kalungnya makin terang, memantul di permukaan batu gerbang yang dipenuhi ukiran simbol-simbol aneh.
Satria mendekat, matanya menyapu ukiran itu. "Bahasa ini… mirip dengan yang ada di gulungan tua yang kita temukan di Desa Tua Lembah Hitam."
Pak Karta menatap keduanya sambil berbisik, "Itu bukan sekadar bahasa. Setiap simbol adalah mantra pengikat. Gerbang ini menutup sesuatu yang tidak boleh sembarangan dibuka."
Sentuhan yang Mengguncang
Tanpa sadar, Arka menyentuh salah satu simbol. Seketika, batu gerbang bergetar pelan, akar-akar yang menutupinya bergerak seolah hidup, menyisakan celah tipis.
Dari celah itu, keluar hembusan udara dingin bercampur aroma tanah basah dan logam berkarat. Bersamaan dengan itu, suara samar terdengar… seperti bisikan ratusan orang berbicara bersamaan.
"Arka… anak dari penjaga terdahulu… waktumu tiba…"
Arka mundur setapak, jantungnya berdetak kencang. "Kalian dengar itu?"
Satria mengangguk, tangannya sudah di gagang pedang. "Kalau ini jebakan, aku akan pastikan kita keluar hidup-hidup."
Jejak Ayah yang Hilang
Dari antara akar yang bergeser, Arka melihat sesuatu di tanah: sebuah medali logam berbentuk setengah lingkaran, dengan ukiran naga yang sama seperti di kalungnya. Saat ia memungutnya, sebuah kilasan muncul di pikirannya.
Ia melihat seorang pria berpakaian hitam, dengan wajah penuh debu dan darah, berdiri di depan gerbang ini. Kalung yang sama ada di lehernya, dan medali itu ia letakkan di tanah. Pria itu berkata pelan: "Jika aku tak kembali, kuncinya akan menuntunmu, anakku…"
Kilasan itu hilang, meninggalkan Arka terengah-engah. Satria menatapnya cemas. "Arka… kau pucat sekali. Apa yang kau lihat?"
"Dia… ayahku. Dia pernah di sini." Arka menggenggam medali itu erat. "Dan dia tidak pernah kembali."
Pintu yang Memilih
Kalung Arka dan medali itu tiba-tiba berpendar bersamaan. Simbol di gerbang mulai menyala satu per satu, membentuk pola melingkar. Akar-akar pohon bergerak cepat, membuka jalan hingga seluruh gerbang terlihat.
Pak Karta mundur ketakutan. "Tidak… ini berarti gerbang itu menerima kalian. Kalian… dipilih."
Arka melangkah maju, namun sebelum ia menyentuh gerbang, air di tepi sungai berguncang. Muncul tiga perahu Penjaga Arus Hitam yang mereka tinggalkan sebelumnya.
Pemimpin mereka, pria berbekas luka di pipi, tersenyum licik. "Jadi ini yang kalian sembunyikan… gerbang ke Hulu Sungai yang legendaris. Terima kasih sudah membukanya untuk kami."
Benturan di Ambang Hulu
Satria segera berdiri di depan Arka, pedangnya berkilat di bawah cahaya gerbang. "Kalau mau lewat, kalian harus mengalahkan aku dulu."
Pemimpin itu hanya memberi isyarat tangan. Anak buahnya melompat ke darat, tombak-tombak mereka berkilat seperti gigi binatang buas.
Namun sebelum pertempuran benar-benar pecah, suara gerbang bergema seperti guntur:"Hanya darah yang terikat pada sungai yang boleh masuk. Yang lain… akan binasa."
Arka merasakan tanah bergetar. Cahaya dari gerbang berubah menjadi pusaran emas yang perlahan menariknya masuk. Ia tak sempat berpikir hanya sempat berteriak pada Satria: "Ikut aku atau kita akan terpisah selamanya!"
Tanpa menunggu jawaban, pusaran itu menelan mereka berdua, meninggalkan Penjaga Arus Hitam yang berteriak marah di luar.