Pagi di tepi Sungai Emas selalu indah kabut tipis menari di atas permukaan air, burung-burung kecil berputar-putar mencari ikan, dan udara terasa segar seolah dunia baru saja lahir. Tapi pagi ini… keindahan itu seperti dibungkus kegelisahan.
Arka duduk di tepi perahu kayu kecil yang disiapkan Pak Karta, nelayan tua yang sering membantu mereka."Ke Hulu Sungai?" tanya Pak Karta sambil mengikat tali layar. "Anak muda, itu bukan sekadar perjalanan… itu undangan menuju bahaya."
Arka tersenyum tipis. "Kalau aku tidak pergi, aku tidak akan pernah tahu kebenaran."
Satria yang sibuk memeriksa pedangnya ikut menyahut, "Jangan khawatir, Pak Karta. Kalau pun bahaya datang, aku akan potong setengahnya sebelum sampai ke kami."
Pak Karta menghela napas panjang, lalu menepuk pundak Arka. "Kalau begitu… jaga nyawa kalian. Hulu Sungai itu bukan tempat yang bisa dipetakan. Arusnya bisa berubah seperti kemauan orang, dan kabarnya ada sesuatu yang hidup di bawah permukaan yang tak pernah tidur."
Di Tengah Perjalanan
Perahu mulai melaju, membelah air yang berkilau keemasan di bawah sinar matahari. Semakin jauh mereka dari desa, semakin sepi suasananya. Pohon-pohon di tepi sungai menjulang tinggi, akar-akar besar mencengkram tanah seperti tangan raksasa, dan suara hutan mulai terdengar desiran dedaunan, pekikan burung asing, dan gemericik air kecil dari anak sungai yang menyatu.
"Tempat ini… seperti dunia lain," gumam Satria sambil memandang ke arah pepohonan yang dipenuhi lumut.
Arka memegang kalungnya. Denyut cahaya dari batu di tengahnya semakin kuat, seolah memberi arahan yang tak terlihat. Ia merasakan sesuatu bukan hanya panggilan, tapi juga dorongan yang hampir memaksa.
Gangguan di Arus
Tiba-tiba, perahu bergetar. Arus sungai yang tadinya tenang mulai berputar, membentuk pusaran kecil. Pak Karta memegang kemudi dengan kedua tangan."Ini tidak benar… arus ini tidak alami!"
Dari bawah permukaan, bayangan besar melintas. Sekilas, Arka melihat sisik kehijauan dan ekor panjang. Lalu, suara tawa aneh terdengar, bergema di atas air.
Dari balik pepohonan, muncullah tiga perahu kecil berlapis logam di bagian depannya. Di atasnya berdiri pria-pria berkulit gelap dengan mata seperti kaca yang dingin. Mereka mengenakan baju lapis kulit dan memegang tombak bercabang di ujungnya.
"Siapa mereka?" bisik Satria.
Pak Karta menunduk. "Itu… Penjaga Arus Hitam. Mereka bukan bagian dari Penjaga Arus yang kau temui. Mereka dibayar oleh orang-orang yang ingin menguasai sungai."
Perahu-perahu itu mendekat dengan cepat, membentuk setengah lingkaran, memblokir jalur ke hulu.
Pertemuan yang Memanas
Pemimpin mereka, seorang pria tinggi dengan bekas luka di pipi, melangkah ke ujung perahunya. "Kalian mau ke Hulu Sungai? Jalan ini tidak gratis… apalagi untuk seseorang yang membawa kalung itu."
Arka menggenggam kalungnya erat. "Bagaimana kau tahu tentang ini?"
Pria itu menyeringai. "Anak muda, di sungai ini, tidak ada rahasia yang bertahan lama."
Satria menaruh tangan di gagang pedangnya. "Kalau ini perampokan, kalian akan menyesal."
Pemimpin itu tertawa kecil. "Perampokan? Tidak. Ini… penawaran. Serahkan kalung itu, dan kalian bebas lewat."
Gelombang yang Membelah
Sebelum Arka sempat menjawab, air di antara mereka berguncang. Pusaran besar muncul, memisahkan perahu Arka dari ketiga perahu Penjaga Arus Hitam. Dari pusaran itu, muncul kepala naga air berwarna perak pucat beda dengan naga emas kemarin, tapi matanya sama tajamnya.
Naga itu menatap Arka, lalu suaranya bergema langsung di dalam kepalanya: Lanjutkan perjalanan. Waktu hampir habis.
Sekejap kemudian, naga itu kembali masuk ke dalam air, namun arusnya mendorong perahu Arka ke jalur sempit yang mengarah lebih jauh ke hulu, meninggalkan para Penjaga Arus Hitam yang terombang-ambing.
Tanda-Tanda Rahasia
Satria memandang ke belakang. "Itu… dua kali kita diselamatkan naga sungai. Ini kebetulan atau…?"
Arka tidak menjawab. Ia memandang ke hutan yang semakin lebat di tepi sungai. Dari kejauhan, ia melihat bayangan seperti gerbang batu besar yang tertutup akar-akar pohon. Kalungnya berdenyut cepat, dan entah kenapa ia merasa… ayahnya pernah berdiri di sana.
Perjalanan ini belum selesai, tapi Arka mulai sadar: Hulu Sungai bukan hanya tujuan… melainkan kunci rahasia yang mungkin menjelaskan siapa dirinya sebenarnya.