WebNovels

Chapter 19 - Bab 19 – Ujian Darah dan Arus

Gelombang udara basah terasa berat di dada Arka. Dari segala arah, sosok-sosok air itu bergerak, membentuk formasi seperti spiral yang menyempit. Setiap langkah mereka diiringi bunyi riak kecil, tapi anehnya… riak itu terasa seperti detak jantung.

Satria mengangkat pedangnya. "Arka, kita bisa saja menerobos!"

Arka menggeleng. "Kau tidak dengar? Dia bilang ini ujian. Kalau kita kabur, itu sama saja gagal."

Sosok Penjaga Arus berdiri di tepi pusaran, sisiknya memantulkan cahaya senja seperti emas cair. Tatapan matanya tajam, namun di dalamnya tersimpan sesuatu yang sulit dijelaskan bukan sekadar kemarahan, tapi penilaian.

"Ujian ini," suaranya bergema, "bukan untuk melihat ototmu… tapi hatimu."

Sosok-sosok air itu mulai menyerang. Mereka tidak berlari; mereka mengalir. Tubuh mereka berubah bentuk menjadi cambuk air yang mematuk, cakar transparan yang mencoba meraih, bahkan tombak yang terbuat dari aliran deras.

Arka memejamkan mata sejenak. Kalung ini… kenapa selalu bereaksi saat aku dalam bahaya?

Tiba-tiba, kilasan memori muncul. Ia melihat sekilas wajah seorang pria gagah, berambut hitam, dengan tatapan yang sama tegasnya seperti miliknya. Di belakang pria itu, Sungai Emas memerah oleh senja… atau darah.

Arka membuka mata, napasnya berat. "Satria, lindungi punggungku."

Satria tersenyum tipis. "Sudah biasa."

Pertarungan pun dimulai.Pedang Satria memotong arus, meski setiap tebasan membuat percikan air kembali menyatu. Arka bergerak bukan dengan kekuatan fisik, tapi dengan naluri. Setiap kali sosok air itu mendekat, cahaya kalungnya berdenyut dan memaksa mereka mundur sejenak.

Namun ujian ini bukan hanya soal bertahan. Penjaga Arus melangkah maju, suaranya mengguncang air di sekitarnya.

"Katakan, pewaris… apakah kau siap membayar hutang darah yang dibuat ayahmu?"

Arka terdiam. "Aku bahkan tidak tahu hutang itu apa."

"Itulah bagian dari ujian. Menanggung beban yang tak kau mengerti… adalah nasib setiap pewaris sejati."

Gelombang besar tiba-tiba muncul dari belakang Penjaga Arus. Dari dalamnya, muncullah bayangan hitam seekor naga air, lebih besar dari rumah, sisiknya berwarna obsidian dengan garis emas di sela-selanya. Nafasnya mengeluarkan kabut dingin, dan matanya menatap langsung pada Arka.

Satria membeku. "Kita… melawan itu juga?"

Penjaga Arus mengangguk. "Itu adalah Roh Utama Sungai. Jika kau bisa menatap matanya tanpa mundur… kau lulus."

Arka menelan ludah. Kabut dari mulut naga itu menyentuh kulitnya, terasa seperti es menusuk tulang. Kakinya ingin melangkah mundur, tapi setiap kali ia ingin menghindar, bayangan ayahnya muncul lagi di benaknya, seolah berkata: Tetap di tempatmu.

Detik demi detik terasa seperti jam. Sosok naga itu mendekat, mata mereka bertemu. Dalam tatapan itu, Arka melihat lebih dari sekadar ancaman ia melihat kenangan: ayahnya berdiri di atas air, memegang tombak bercahaya emas, bertarung di sisi Penjaga Arus melawan kegelapan yang sama.

Napasnya gemetar, tapi ia tidak bergeser. Dan saat jarak hanya tersisa beberapa langkah, naga itu berhenti… lalu menundukkan kepala.

Penjaga Arus mengangkat dagu. "Lulus."

Gelombang pusaran mereda. Sosok-sosok air menghilang seperti embun pagi. Penjaga Arus menatap Arka dengan tatapan yang kini berbeda bukan lagi penantang, tapi pengakuan.

"Kau punya hak untuk tahu kebenaran tentang ayahmu. Datanglah ke Hulu Sungai saat bulan penuh. Tapi ingat… kebenaran itu bisa menghancurkanmu."

Sebelum Arka bisa bertanya, Penjaga Arus dan naga air itu lenyap, menyisakan ketenangan aneh di Sungai Emas.

Satria menepuk bahunya. "Kau sadar, kan? Kita baru saja hidup setelah menatap mata naga."

Arka hanya memandangi kalungnya, yang kini berpendar lembut. Ia tahu, perjalanan ini baru saja dimulai.

More Chapters