WebNovels

Chapter 17 - Bab 17 – Arus yang Mengikat

Cengkeraman dingin itu menembus kulit Arka seperti belenggu es, membuat darahnya terasa berhenti mengalir. Tangan hitam pekat itu bukan tangan manusia permukaannya licin seperti lumpur basah, namun keras seperti batu. Saat ia mencoba melepaskan diri, semakin ia menarik, semakin erat genggaman itu, seolah arus sungai sendiri menolak melepaskannya.

Satria, yang terseret gelombang sebelumnya, bangkit dengan wajah penuh lumpur. Tanpa ragu ia menebaskan pedang pendeknya ke arah tangan itu. Sreet! tebasan itu menimbulkan cipratan air hitam, tapi bukannya terputus, tangan itu justru bercabang menjadi dua, keduanya langsung meraih Satria dan menariknya ke tepi pusaran.

"Jangan melawan!" teriak sosok bertopeng dengan nada mengejek. "Arus Sungai Emas hanya memilih mereka yang siap tenggelam!"

Arka mengerang, menahan tarikan yang semakin kuat. Dalam benaknya, kilatan ingatan muncul wajah ayahnya, malam badai di tepi sungai, suara lirih yang selalu ia anggap mimpi:"Kalau arus memanggilmu, jangan tolak… atau ia akan memanggil lagi dengan harga yang lebih mahal."

Kalung perak di lehernya kini bergetar, memancarkan cahaya yang semakin terang. Anehnya, semakin cahaya itu bersinar, semakin air di sekitar mereka menjadi panas, mengeluarkan uap yang melayang seperti kabut emas.

Sosok bertopeng itu tampak terguncang, mundur setapak. "Tidak… seharusnya kau belum bisa membangunkannya!"

Arka menatapnya tajam. "Kalau begitu, mungkin inilah saatnya."

Dengan satu tarikan napas panjang, ia meraih kalung itu, menggenggamnya erat, lalu menekankannya ke tangan hitam yang mencengkeramnya. Cahaya emas meledak dari titik itu, memecah pusaran air. Suara seperti ribuan ombak pecah terdengar, dan dalam sekejap, semua tangan hitam itu menghilang, lenyap ke kedalaman.

Namun kemenangan itu hanya berlangsung sebentar.

Di tengah uap panas yang mulai menipis, Arka melihat sesuatu di permukaan sungai — sebuah bayangan raksasa, jauh lebih besar dari kapal mana pun. Mata sebesar lentera menatap dari bawah air, bersinar merah menyala. Dan suara berat itu kembali terdengar, bukan dari sosok bertopeng, tapi langsung dari dasar sungai:

"Pewaris… kau telah memanggilkanku."

Air mulai naik, membentuk dinding di sekeliling mereka, seperti sang sungai sendiri ingin menutup jalan keluar. Satria berdiri di sisi Arka, napasnya memburu. "Apa pun itu… kita tak akan bisa lari sekarang."

Arka menelan ludah, jantungnya berdegup seperti genderang perang. "Kalau begitu… kita hadapi bersama."

Di tepi dermaga, sosok bertopeng hanya tersenyum tipis. "Bagus… permainan sesungguhnya baru dimulai."

Dan dari kedalaman, sesuatu mulai naik ke permukaan sesuatu yang membuat udara di sekitarnya terasa berat, dan cahaya sore berubah menjadi bayangan kelam.

More Chapters