Menciptakan satu makhluk dari esensinya adalah satu hal. Menciptakan sebuah ras dengan miliaran jiwa yang unik adalah hal lain. Sovereign tahu ia tidak bisa menempa mereka satu per satu. Ia harus menciptakan sebuah sumber, sebuah rahim kosmik yang akan melahirkan dan menopang mereka.
Ia melakukan perjalanan ke sebuah sudut galaksi yang sepi, menemukan sebuah sistem bintang dengan matahari merah raksasa yang berada di ambang kematian. Bintang itu berdenyut lemah, siap untuk runtuh menjadi katai putih. Inilah kanvas yang sempurna.
Sovereign tidak menggunakan kekuatan mentah Zarath. Ia menyalurkan esensi Grand Priest dalam dirinya, kekuatan untuk menulis ulang hukum alam. Ia merentangkan tangannya, dan energi dari Nexus mengalir ke dalam inti bintang yang sekarat itu.
Ia tidak hanya memberinya bahan bakar. Ia menanamkan sebuah konsep.
Pertama, ia menyuntikkan Gema Cahaya Noa: esensi dari harapan, keadilan, dan keinginan untuk melindungi.
Kedua, ia menambahkan Percikan Heroisme: sebuah dorongan bawaan untuk bertindak dalam menghadapi ketidakadilan, sebuah keberanian yang melampaui logika bertahan hidup.
Terakhir, ia menanamkan Hukum Batasan: sebuah prinsip bahwa kekuatan besar harus datang dengan tanggung jawab dan kerentanan.
Bintang itu runtuh ke dalam dirinya sendiri. Namun, alih-alih meredup, ia meledak dalam ledakan cahaya perak-kebiruan yang sunyi. Gravitasi tidak lagi menarik materi, tetapi memancarkan energi. Matahari yang mati itu telah terlahir kembali sebagai sesuatu yang baru. Sebuah matahari buatan yang stabil, memancarkan cahaya yang bukan sekadar foton, melainkan gelombang evolusi dan energi kehidupan.
Ia menamakannya Plasma Spark.