WebNovels

Chapter 10 - Chapter 10. Permainan pikiran

Alif dan Rani melanjutkan pencarian mereka dengan hati-hati setelah pertemuan tak terduga dengan Wiliam. Keadaan semakin tegang. Mereka menyadari bahwa mereka bukan hanya berjuang melawan waktu dan musuh fisik, tetapi juga melawan permainan pikiran yang dimainkan oleh orang-orang seperti Wiliam. Setiap langkah yang mereka ambil kini penuh dengan ketidakpastian.

Hari berikutnya, mereka menuju lokasi ketiga yang ditandai di peta: sebuah bangunan tua yang dulunya merupakan pusat administrasi kota, kini dibiarkan terbengkalai dan hampir tidak dikenal lagi. Pintu-pintu besi yang besar sudah berkarat, dan dinding-dinding bangunan itu penuh dengan coretan-coretan yang sulit dibaca. Mereka tahu bahwa ini adalah salah satu tempat yang mungkin menyimpan petunjuk penting, tetapi bagaimana caranya untuk menemukannya?

“Mari kita mulai dari lantai atas,” kata Alif, mengingatkan Rani bahwa banyak benda berharga biasanya tersembunyi di tempat yang kurang terjangkau. Mereka memanjat tangga kayu yang berderit menuju lantai atas yang gelap. Setiap langkah mereka terasa berat, seolah-olah bangunan itu memeluk mereka dengan kehancurannya yang semakin mendalam.

Setelah beberapa menit menyusuri ruangan yang kotor dan penuh debu, mereka menemukan sebuah ruang besar yang dulunya tampak seperti kantor utama. Di salah satu sudut ruangan, mereka melihat sebuah meja kayu besar yang tampak lebih terawat dibandingkan dengan yang lainnya.

“Coba lihat ini,” kata Rani, menunjuk ke sebuah buku tebal yang tergeletak di atas meja. Di sampulnya terdapat lambang kota mereka yang pudar.

Alif membuka buku tersebut dengan hati-hati. Halaman-halaman pertama berisi catatan-catatan kuno tentang sejarah kota, namun pada halaman-halaman terakhir, ada beberapa catatan yang lebih menarik. Terdapat sebuah gambar yang menunjukkan simbol-simbol yang mirip dengan yang mereka temukan sebelumnya, serta tulisan yang berbunyi: “Hanya yang melihat dengan mata hati yang akan mengerti.”

“Apa maksudnya ini?” tanya Rani, bingung.

“Ini mungkin petunjuk untuk mencari sesuatu di sekitar sini. Mungkin ada sesuatu yang tersembunyi,” jawab Alif, mencoba berpikir lebih dalam.

Namun, sebelum mereka sempat memeriksa lebih lanjut, mereka mendengar suara langkah kaki yang mendekat. Cepat-cepat, mereka menyembunyikan buku tersebut dan bersembunyi di balik rak buku yang sudah roboh. Tiba-tiba, Wiliam muncul di ambang pintu.

“Kalian benar-benar berpikir bisa menghindar dariku?” suara Wiliam yang tenang itu membuat Alif dan Rani terkejut. “Kalian tidak tahu seberapa jauh aku bisa mengejar kalian. Aku selalu tahu di mana kalian berada.”

Alif dan Rani menahan napas, menyadari bahwa Wiliam tidak hanya cerdas, tetapi juga memiliki kemampuan untuk melacak mereka. Mereka tahu mereka harus berpikir cepat jika ingin keluar dari situasi ini.

Dengan langkah-langkah yang terhitung hati-hati, Alif mengangguk ke arah Rani. “Kita harus berpisah. Kau pergi lewat pintu belakang, aku akan mengalihkan perhatiannya.”

Rani mengangguk ragu-ragu, namun ia tahu bahwa mereka tidak punya pilihan lain. Dengan sigap, Rani bergerak menuju pintu belakang, sementara Alif berusaha untuk tetap berada di depan Wiliam, agar dia tidak menyadari kepergian Rani.

Wiliam mengamati Alif dengan pandangan tajam. “Kau pikir aku tidak tahu apa yang kalian rencanakan?” katanya dengan nada mengejek. “Aku sudah tahu kalian akan datang ke sini. Tidak ada yang bisa kalian sembunyikan dariku.”

Alif berusaha tetap tenang. “Kau mungkin tahu banyak hal, Wiliam, tapi itu tidak berarti kau bisa mengendalikan semuanya.”

Wiliam tersenyum tipis. “Aku bukan hanya mengendalikan, Alif. Aku memanipulasi. Kalian hanya alat dalam permainan besar ini.”

Tiba-tiba, sebuah suara datang dari arah belakang. Wiliam menoleh, dan dalam sekejap, Alif melihat kesempatan itu. Dengan secepat kilat, ia melompat ke arah Wiliam, menendang sebuah rak buku yang jatuh ke arah kakinya.

“Pergi!” teriak Alif pada Rani yang sudah berada di luar ruangan, “Lari sekarang!”

Rani segera berlari keluar dari pintu belakang, membawa buku dan petunjuk yang mereka temukan. Sementara itu, Wiliam terjatuh setelah rak buku itu mengenai kakinya, tetapi dia segera bangkit, matanya menyala penuh amarah.

“Jangan kira aku akan membiarkan kalian lari begitu saja!” teriak Wiliam, suara kemarahannya menggema di ruang itu.

Alif berlari mengikuti Rani, merasakan napasnya yang mulai memburu. Mereka berdua berlari secepat mungkin melalui lorong-lorong gelap bangunan tua itu, menyadari bahwa Wiliam akan segera mengejar mereka.

---

Setelah keluar dari bangunan itu, mereka berdua berlari ke tempat aman yang sudah mereka tentukan sebelumnya—sebuah gudang tua di pinggir kota yang sering mereka gunakan untuk berlindung. Mereka berhenti sebentar, napas terengah-engah, dan saling berpandangan dengan cemas.

“Ini semakin berbahaya,” kata Rani dengan wajah pucat. “Wiliam tahu banyak tentang kita, dan sepertinya dia tahu setiap langkah yang kita ambil.”

Alif mengangguk, matanya penuh tekad. “Dia memang licik. Tapi kita tidak akan berhenti sampai kita menemukan seluruh peta. Wiliam mungkin lebih kuat dan lebih pintar, tetapi kita punya sesuatu yang dia tidak punya—keinginan untuk melindungi sejarah kota ini.”

Rani tersenyum kecil. “Kau benar. Kita akan melawan segala cara untuk mengungkap kebenaran.”

Dengan hati yang lebih kuat dari sebelumnya, mereka berdua bersiap untuk menghadapi tantangan yang lebih besar lagi. Perang ini baru saja dimulai, dan mereka tahu bahwa untuk memenangkan pertarungan ini, mereka harus lebih cerdik dan lebih berani daripada sebelumnya.

Setelah kejadian di gedung tua, Alif dan Rani tahu bahwa mereka berada di ujung tanduk. Wiliam semakin dekat, dan setiap gerak mereka terasa seperti sebuah permainan berbahaya yang melibatkan lebih dari sekadar teka-teki peta. Jika mereka tidak berhati-hati, mereka bisa saja terjebak dalam permainan manipulasinya yang licik dan mematikan. Namun, satu hal yang mereka ketahui adalah bahwa mereka tidak bisa mundur sekarang. Peta ini, dengan semua petunjuk yang tersembunyi, adalah kunci untuk mengungkap sesuatu yang lebih besar dan lebih penting daripada sekadar artefak.

Malam itu, mereka berkumpul di gudang tersembunyi yang mereka anggap aman, berusaha merencanakan langkah selanjutnya. Rani membuka buku yang mereka temukan di bangunan tua, sementara Alif memeriksa potongan peta yang kini semakin lengkap. Di halaman yang terakhir, ada sebuah petunjuk baru yang tertulis dengan tinta pudar: "Ke tempat di mana bayangan tertidur, temukan kunci yang terbungkus gelap."

“Apa maksudnya ini?” Rani bertanya, matanya menatap tulisan itu dengan bingung. “Tempat di mana bayangan tertidur? Ini sepertinya petunjuk untuk tempat tersembunyi, tapi di mana?”

Alif terdiam, mencerna kata-kata itu. Dalam pikirannya, ia mulai merangkai kemungkinan-kemungkinan. “Aku ingat sebuah tempat yang disebut ‘Taman Bayangan.’ Itu adalah taman kecil di luar kota, tempatnya penuh dengan pepohonan rimbun dan hampir selalu gelap, bahkan di siang hari. Mungkin itu yang dimaksud dengan ‘bayangan tertidur.’”

Rani menatap Alif dengan rasa ingin tahu. “Kau yakin itu tempat yang tepat? Tapi kenapa disebut ‘kunci yang terbungkus gelap’?”

Alif mengangkat bahu, mencoba menyusun jawaban. “Mungkin ada sesuatu yang tersembunyi di sana, sesuatu yang hanya bisa ditemukan dalam kondisi tertentu. Bisa jadi itu adalah petunjuk penting, atau mungkin sebuah artefak yang lebih kuat. Kita harus segera ke sana.”

Namun, sebelum mereka bisa melangkah lebih jauh, Alif merasakan sesuatu yang tak beres. Suara langkah kaki terdengar di kejauhan, semakin mendekat. Tidak salah lagi, mereka tahu itu adalah Wiliam. Ia tidak pernah jauh, dan kali ini, sepertinya dia siap dengan perangkap.

“Mereka ada di sini,” bisik Alif, “Wiliam pasti sudah tahu kita akan ke sana. Kita harus lebih cepat.”

---

Mereka memutuskan untuk berpisah, menyusun rencana darurat jika Wiliam atau Pak Arman tiba lebih dulu. Rani akan menyusuri jalan belakang menuju Taman Bayangan, sementara Alif akan mengalihkan perhatian Wiliam dengan cara yang lebih berani. Mereka berdua tahu, perjalanan ini tidak hanya tentang menemukan artefak, tetapi juga tentang bertahan hidup.

Alif menyelinap keluar dari gudang lebih dulu, berusaha memimpin Wiliam ke arah yang salah. Namun, Wiliam sudah sangat pintar dalam membaca situasi. Beberapa menit setelah Alif melangkah ke luar, Wiliam muncul di hadapannya, wajahnya dingin dan penuh perhitungan.

“Alif, kau benar-benar berpikir kau bisa menghindari aku begitu saja?” suara Wiliam terdengar seperti desisan ular, penuh dengan ketenangan yang menakutkan.

Alif tetap tenang, meskipun hatinya berdebar. “Aku tahu kau pasti tahu ke mana aku pergi. Tapi aku tidak akan membiarkanmu menang begitu saja.”

Wiliam tersenyum tipis, matanya tetap tajam menatap Alif. “Kau harus lebih cerdik dari itu. Aku tidak mengejarmu karena aku ingin menang. Aku mengejarmu karena aku ingin melihat seberapa jauh kau bisa bertahan. Kalian berdua benar-benar ingin menemukan kebenaran? Atau kalian hanya ingin bermain dengan api yang lebih besar dari yang kalian bayangkan?”

Alif menegakkan dada, merasakan ketegangan yang memuncak. “Aku tidak takut dengan permainanmu, Wiliam. Kami akan menemukan kebenaran ini, dan kami akan melindungi kota ini dari orang-orang seperti kau.”

Wiliam hanya tertawa ringan. “Lihat, Alif. Aku tidak perlu takut padamu atau siapapun. Aku punya sesuatu yang kalian takkan pernah miliki: kemampuan untuk melihat lebih jauh dari sekadar apa yang ada di depan mata. Kau akan melihat bahwa kita semua hanya ada dalam satu rencana besar yang tidak bisa diubah.”

Saat itu, Alif merasakan sesuatu yang tak biasa—sebuah perasaan bahwa Wiliam bukan hanya mengejar mereka karena artefak, tapi karena dia memang merasa superior. Seperti dia sudah tahu sesuatu yang lebih besar, dan mereka hanya bagian kecil dari permainan yang lebih rumit.

“Tapi jangan khawatir,” lanjut Wiliam sambil melangkah mundur, “Kalian akan tahu tempat kalian dalam permainan ini segera. Aku akan memberi tahu kalian saat waktunya tiba.”

Alif tidak bisa berkata apa-apa. Ia tahu satu hal: Wiliam tidak hanya ingin artefak ini. Dia ingin kontrol. Dan jika mereka tidak hati-hati, Wiliam akan menjebak mereka dalam jaring manipulasi yang bahkan lebih besar dari yang mereka kira.

---

Sementara itu, Rani berhasil sampai di Taman Bayangan. Tempat itu terasa sunyi dan penuh misteri, dengan pepohonan yang begitu lebat sehingga hampir tidak ada cahaya matahari yang bisa menembus. Di tengah taman, terdapat sebuah patung besar, tersembunyi di balik dahan-dahan pohon yang merunduk. Rani mendekat dengan hati-hati, merasa bahwa petunjuk berikutnya mungkin berada di sekitar sini.

Di dekat patung itu, dia menemukan sesuatu yang aneh—sebuah batu besar yang tampaknya telah dipindahkan berkali-kali, namun kini terlihat lebih stabil. Rani menunduk, mencoba mengangkat batu tersebut, dan di bawahnya, dia menemukan sebuah kotak kecil yang terbuat dari logam gelap.

Tanpa ragu, Rani membuka kotak tersebut, dan di dalamnya terdapat kunci berbentuk aneh yang terbungkus kain hitam. Di samping kunci itu, ada sebuah pesan kecil yang berbunyi: “Ini adalah kunci yang akan membuka pintu kegelapan. Jangan ragu untuk menggunakannya saat waktunya tiba.”

Rani merasa ada sesuatu yang sangat penting dengan temuan ini. Kunci ini sepertinya adalah bagian dari misteri yang lebih besar. Namun, sebelum ia bisa berpikir lebih jauh, ia mendengar suara langkah kaki di belakangnya.

More Chapters