WebNovels

Chapter 13 - Chapter 13. Adu kecerdasan

Setelah beberapa minggu berkolaborasi, dinamika antara Alif dan Wiliam mulai berubah. Meski Wiliam telah menunjukkan penyesalan dan berkomitmen memperbaiki kesalahan, Alif merasa ada sesuatu yang berbeda dalam cara Wiliam melihat dan berbicara kepadanya. Seakan-akan Wiliam menantangnya untuk menguji batas kecerdasannya, mendorong Alif untuk menunjukkan kemampuan terbaiknya.

Suatu hari, setelah pertemuan di perpustakaan kota, Wiliam menghampiri Alif yang sedang memeriksa buku-buku tua. Wiliam tersenyum tipis, sebuah senyum penuh arti yang membuat Alif penasaran.

"Alif," kata Wiliam dengan nada penuh tantangan, "kita sama-sama tahu bahwa kita punya cara berpikir yang berbeda. Aku penasaran, apa kau benar-benar bisa memecahkan semua ini tanpa bantuan dariku?"

Alif menatap Wiliam dengan tatapan tenang namun tajam. "Aku selalu percaya bahwa pemikiran yang tenang dan rencana yang matang lebih efektif daripada keinginan untuk terburu-buru mengalahkan orang lain," jawabnya.

Wiliam terkekeh, "Tapi bukankah yang paling cerdas itu yang bisa mencapai tujuan dengan cara paling efektif? Coba kita lihat siapa yang lebih unggul di sini."

Wiliam kemudian mengeluarkan sebuah teka-teki dari buku kuno yang baru saja ditemukan di perpustakaan. Buku tersebut, yang berisi rahasia terakhir dari sejarah kota, memerlukan penyelesaian beberapa teka-teki rumit untuk membuka bab selanjutnya. Teka-teki ini, menurut Pak Arman, berisi petunjuk terakhir tentang masa lalu kota yang bahkan belum sepenuhnya dipahami.

Wiliam menantang Alif, “Jika kau bisa memecahkan teka-teki ini dalam waktu satu jam, aku akan mengakui keunggulanmu. Tapi kalau tidak, kau harus mengakui bahwa ada cara berpikir yang lebih cepat, dan itulah milikku.”

Alif tersenyum tipis. "Baiklah, Wiliam. Mari kita lihat siapa yang mampu menuntaskan ini."

---

Keduanya duduk di meja perpustakaan, berhadapan satu sama lain, dengan lembaran-lembaran buku kuno dan catatan di depan mereka. Rani dan Pak Ahmad berdiri di dekat mereka, memperhatikan dengan rasa ingin tahu.

Teka-teki pertama tertulis dengan bahasa kuno yang sudah jarang dipakai, dan membutuhkan pengetahuan sejarah mendalam untuk menafsirkannya. Wiliam membaca cepat dan mencatat berbagai kemungkinan terjemahan. Alif, sebaliknya, membaca perlahan namun mendalam, merenungkan tiap kata sebelum menyusunnya dalam bahasa modern.

Beberapa menit berlalu dalam keheningan. Wiliam mulai menyusun hipotesis berdasarkan beberapa petunjuk yang ia pahami. Ia dengan cepat membuat beberapa sketsa di buku catatannya, sambil terus memandang Alif dengan mata yang penuh tantangan. Sementara itu, Alif tetap tenang, fokus pada detil-detil kecil yang mungkin dilewatkan oleh Wiliam.

“Waktu tinggal setengah jam lagi,” ujar Wiliam dengan senyum percaya diri.

Namun, di saat yang sama, Alif berhasil menemukan petunjuk kecil yang tersembunyi dalam kata-kata teka-teki itu. “Aku rasa aku tahu jawabannya,” kata Alif tenang.

Wiliam mengerutkan kening. “Terlalu cepat untuk menarik kesimpulan, Alif. Apa kau yakin?”

Alif mengangguk. “Ya. Petunjuk ini menunjuk ke arah ‘Sumur Bersejarah’ di taman kota. Ada ukiran kuno di dinding dalamnya yang akan menjawab teka-teki ini.”

Wiliam tampak terkejut namun tidak mau kalah. “Aku akan memastikannya sendiri.”

---

Mereka segera menuju sumur bersejarah yang disebutkan oleh Alif. Saat mereka tiba, Alif menunjuk ke ukiran-ukiran di dalam sumur yang sudah berkarat dan tertutup lumut. Ukiran tersebut merupakan simbol-simbol kuno yang sulit diuraikan.

Wiliam memeriksanya dengan cermat dan tersenyum samar. "Bagus, Alif. Tapi ini belum selesai. Ukiran ini adalah kunci ke teka-teki berikutnya."

Alif tidak gentar. "Aku sudah menduganya. Kalau begitu, mari kita lanjutkan."

Mereka mulai memecahkan simbol-simbol itu bersama-sama, saling memberi masukan, namun tetap dengan semangat kompetitif. Di tengah perjalanan, Alif menemukan petunjuk lain yang menunjukkan arah ke tempat tersembunyi di ruang bawah tanah museum kota.

“Wiliam, ini waktunya kita berpikir lebih dalam, bukan hanya cepat,” ujar Alif.

Wiliam merenung, akhirnya mengangguk. Mereka menuju museum dan menemukan ruangan yang dikunci rapat. Namun, dengan kombinasi angka yang mereka pecahkan dari simbol di sumur, mereka berhasil membuka pintu tersebut.

Di dalamnya, mereka menemukan dokumen berharga tentang sejarah asli kota, termasuk bukti-bukti penting yang selama ini hilang dari catatan resmi. Wiliam menatap dokumen-dokumen itu dengan kagum.

Alif tersenyum padanya. “Kadang, Wiliam, kecerdasan bukan hanya tentang kecepatan atau kompetisi. Ini tentang ketekunan dan pemahaman.”

Wiliam terdiam, namun akhirnya tersenyum. “Aku akui, kau benar. Terima kasih sudah menunjukkan padaku cara lain dalam berpikir, Alif.”

Dengan perasaan saling menghormati yang lebih besar, mereka berdua menyadari bahwa kerja sama lebih kuat daripada sekadar bersaing. Di tangan mereka, kebenaran sejarah kota akhirnya ditemukan, dan mereka siap untuk memulainya dari awal—bersama, dengan pemahaman yang lebih dalam dan bijaksana.

...........

“Terima kasih untuk semua yang sudah setia membaca novel saya. Mohon maaf jika masih ada kekurangan dalam cerita ini.”

...

Penemuan dokumen di ruang bawah tanah museum kota membawa Alif dan Wiliam pada jejak baru yang tak terduga. Dokumen itu mengungkapkan lokasi terakhir dari artefak yang tersebar di seluruh kota, sebuah tempat yang tersembunyi selama ratusan tahun. Tempat itu disebut “Ruang Pembebasan,” sebuah ruang yang konon menyimpan kebenaran pamungkas tentang asal-usul kota dan rahasia di balik kekuatan artefak-artefak tersebut.

Setelah malam panjang menyusun rencana, Alif dan Wiliam memutuskan untuk berangkat ke lokasi yang disebutkan dalam dokumen. Mereka berjalan menyusuri lorong gelap dan sempit di bawah kota, yang menurut peta kuno, akan membawa mereka ke Ruang Pembebasan.

Ketika mereka semakin dalam, udara di sekitar mereka semakin dingin dan pengap. Lampu senter mereka menjadi satu-satunya cahaya di kegelapan itu. Rani dan Pak Arman, yang ikut bersama mereka, tampak sedikit gugup, namun tetap bersemangat menyaksikan akhir perjalanan ini.

“Aku merasa ini lebih dari sekadar penemuan sejarah,” kata Rani sambil memandang lorong di depan mereka. “Tempat ini menyimpan sesuatu yang lebih besar.”

Alif mengangguk setuju. “Aku juga merasakannya. Ini seperti perjalanan menemukan bukan hanya masa lalu kota, tapi juga jati diri kita sendiri.”

Wiliam, yang berjalan di depan, menghentikan langkahnya dan menatap ke arah pintu besar di ujung lorong. Pintu itu terbuat dari batu dengan ukiran rumit yang mencerminkan simbol-simbol dari berbagai artefak yang telah mereka kumpulkan.

“Di sinilah semuanya akan terungkap,” gumam Wiliam sambil meletakkan tangannya pada pintu itu. Mereka semua menatap pintu tersebut dengan rasa ingin tahu dan ketegangan.

Setelah Alif dan Wiliam bersama-sama memutar cincin besar di pintu, pintu itu akhirnya terbuka dengan suara gemuruh. Di balik pintu, terbentang ruang yang luas dengan dinding-dinding penuh ukiran kuno dan simbol yang bersinar redup.

Di tengah ruangan, ada sebuah altar kecil dengan sebuah prasasti yang tertulis dalam bahasa kuno. Alif mendekati prasasti itu dan membaca tulisan yang terpahat: "Kebenaran membebaskan, dan pembebasan datang dari keberanian untuk menerima segalanya — kebaikan dan keburukan, masa lalu dan masa depan."

Pak Arman menatap prasasti itu dengan mata berkaca-kaca. “Kota ini dibangun di atas sejarah yang kelam, tapi juga penuh harapan. Sejarah yang menyatukan kita, bukan untuk memisahkan.”

Di dekat altar, terdapat artefak terakhir—sebuah batu berbentuk lingkaran dengan simbol unik yang tampaknya merupakan kunci terakhir untuk membuka pemahaman penuh atas sejarah kota. Alif mengangkatnya dengan hati-hati, merasakan energi hangat mengalir dari batu itu.

“Ini adalah jejak terakhir,” kata Alif sambil melihat ke arah Wiliam. “Kita telah menemukan semua bagian dari misteri ini.”

Wiliam tersenyum samar. “Tapi kebenaran ini bukan milik kita sendiri. Ini milik seluruh kota, milik mereka yang telah menjadi bagian dari sejarah ini.”

Alif mengangguk, dan dengan itu, mereka sepakat untuk membawa artefak dan seluruh informasi yang mereka temukan kepada masyarakat. Keesokan harinya, mereka mengadakan sebuah pertemuan besar di alun-alun kota, di mana mereka mempresentasikan sejarah kota yang telah lama terlupakan.

Di hadapan seluruh warga, Alif dan Wiliam berdiri berdampingan, memaparkan segala yang telah mereka temukan: asal-usul kota, peran artefak-artefak dalam menjaga harmoni, dan kisah orang-orang yang pernah mengorbankan segalanya demi masa depan kota.

Masyarakat menyambut kebenaran ini dengan rasa syukur dan pemahaman. Mereka menerima bahwa masa lalu kelam bukan untuk disembunyikan, melainkan untuk dipelajari dan diambil hikmahnya.

Saat matahari terbenam di hari itu, Alif dan Wiliam berdiri di atas bukit yang menghadap kota. Mereka merasa lega, dan meskipun perjalanan mereka penuh tantangan, mereka tahu bahwa semuanya telah terbayar.

“Alif,” kata Wiliam, menatap kota dengan mata penuh harapan, “apa yang kita lakukan ini akan terus menginspirasi orang-orang setelah kita.”

Alif tersenyum. “Benar, Wiliam. Kita bukan hanya menemukan kebenaran kota ini, tapi juga menemukan persahabatan yang tak ternilai.”

Di tengah keheningan senja itu, mereka menyadari bahwa mereka telah mencapai akhir perjalanan, namun pada saat yang sama, mereka juga memulai sebuah cerita baru—cerita tentang kebenaran, keberanian, dan persahabatan yang akan dikenang sepanjang masa.

More Chapters