Sore itu, Alif dan Rani bergegas menuju perpustakaan kota. Mereka ingin memanfaatkan waktu sebelum perpustakaan tutup, berharap bisa menemukan informasi lebih lanjut mengenai simbol "L.T." dan angka "1865" yang mereka temukan di reruntuhan dekat sungai. Kedua petunjuk tersebut kini seolah mengarahkan mereka ke suatu tempat, tetapi mereka belum sepenuhnya memahami maknanya.
Sesampainya di perpustakaan, mereka langsung menemui Ibu Sri. Wanita paruh baya itu menyambut mereka dengan senyuman, namun ia segera menangkap ekspresi tegang di wajah Alif dan Rani.
"Ada yang baru kalian temukan?" tanyanya sambil mempersilakan mereka duduk di meja dekat jendela.
"Iya, Bu," jawab Rani. "Kami menemukan simbol dan angka di dekat sungai, di sebuah reruntuhan tua. Di sana tertulis 'L.T.' dan '1865'. Apakah Ibu tahu apa artinya?"
Ibu Sri terdiam sejenak, lalu mengangguk pelan. "Saya pernah membaca tentang sesuatu yang mungkin berhubungan dengan itu. Mari kita lihat di arsip sejarah kota."
Dia membawa mereka ke ruang arsip di lantai bawah perpustakaan, tempat berbagai dokumen, foto, dan peta lama kota tersimpan rapi. Bau kertas tua segera memenuhi ruangan itu, menambah suasana serius di dalamnya.
Ibu Sri mulai membuka beberapa arsip dan mencari di rak-rak yang penuh dengan dokumen sejarah. Setelah beberapa menit mencari, dia menarik sebuah map besar yang terlihat usang, berjudul "Lokasi-Lokasi Tersembunyi Kota Lama". Ia meletakkannya di atas meja dan membuka halaman demi halaman.
"Aha! Ini dia," ujar Ibu Sri sambil menunjuk salah satu halaman yang memperlihatkan peta lama kota mereka.
Di peta tersebut, terdapat beberapa lokasi penting yang ditandai dengan inisial. Salah satu yang menarik perhatian adalah sebuah lokasi di tepi sungai, bertuliskan "Lumbung Tersembunyi" dengan inisial "L.T." dan tahun "1865."
"Lumbung Tersembunyi? Jadi tempat itu adalah lumbung penyimpanan pada zaman kolonial?" Alif bertanya dengan antusias.
Ibu Sri mengangguk. "Ya, pada masa kolonial, tempat-tempat ini digunakan untuk menyimpan hasil bumi sebelum dikirim ke pelabuhan. Namun, ada rumor bahwa beberapa lumbung sengaja dibangun dengan ruangan tersembunyi di dalamnya. Ruangan itu konon digunakan untuk menyembunyikan barang berharga atau dokumen rahasia."
Rani berpikir sejenak. "Apakah itu berarti di dalam reruntuhan lumbung dekat sungai masih ada ruangan tersembunyi yang belum kami temukan?"
"Mungkin saja," kata Ibu Sri dengan suara pelan namun penuh arti. "Jika kalian menemukan simbol dan tahun yang berkaitan dengan lumbung itu, bisa jadi ada sesuatu yang disembunyikan di sana. Namun, hati-hati. Tempat itu sudah tua dan mungkin berbahaya."
Dengan pengetahuan baru ini, Alif dan Rani merasa bahwa petunjuk di lumbung tua itu memang lebih dari sekadar simbol. Mereka berpikir keras, mencoba merangkai potongan informasi yang telah mereka kumpulkan.
"Bu, apakah di sini ada peta kota lama yang bisa menunjukkan jalan-jalan kecil atau lorong rahasia yang mungkin ada di sekitar lumbung tersebut?" tanya Rani penuh harap.
Ibu Sri mengangguk dan membuka bagian lain dari arsip itu, yang berisi sketsa dan peta kota dari abad ke-19. Di sana, mereka melihat banyak detail kecil yang tidak ada di peta kota saat ini. Salah satu hal yang menarik perhatian mereka adalah sebuah garis samar yang menunjukkan adanya lorong bawah tanah yang menghubungkan lumbung itu ke sebuah bangunan tua di pusat kota.
"Lihat ini," ujar Alif sambil menunjuk garis tersebut. "Jika lorong ini masih ada, kita mungkin bisa menemukan jalan ke ruangan tersembunyi tanpa harus membongkar reruntuhan."
Rani mengangguk penuh semangat. "Kalau begitu, kita harus mencoba mencarinya di lokasi yang terhubung dengan lorong ini."
Namun, sebelum mereka sempat merencanakan lebih jauh, Ibu Sri memperingatkan mereka. "Jika kalian benar-benar berencana untuk menyusuri lorong itu, pastikan kalian berhati-hati. Lorong-lorong tua ini mungkin sudah tidak stabil."
Setelah mengucapkan terima kasih pada Ibu Sri, mereka keluar dari perpustakaan dengan semangat dan antusiasme baru. Mereka sekarang memiliki petunjuk yang lebih jelas: lumbung tersembunyi di tepi sungai memiliki ruang rahasia yang mungkin bisa diakses lewat lorong bawah tanah yang terhubung dengan bangunan di pusat kota.
"Kalau begini, kita harus bersiap-siap untuk masuk ke lorong tua itu," ujar Alif sambil berjalan bersama Rani menuju tempat pertemuan mereka.
"Ini semakin menegangkan," kata Rani sambil menghela napas, menyadari bahwa pencarian mereka mungkin akan membawa mereka ke tempat yang lebih berbahaya.
Dengan rencana baru di tangan, mereka siap untuk melanjutkan petualangan yang tidak hanya menantang, tetapi juga menguak sejarah yang telah lama terkubur di bawah kota. Mereka tahu, semakin dalam mereka menyusuri jejak ini, semakin banyak pula rahasia yang akan mereka ungkap. Dan kali ini, mereka benar-benar tidak akan mundur.
...
Hari berikutnya, Alif dan Rani tiba di bangunan tua di pusat kota, bangunan yang mereka yakini memiliki akses ke lorong bawah tanah menuju lumbung di tepi sungai. Bangunan itu sudah lama tidak digunakan, tampak usang dan kumuh, namun sisa-sisa arsitektur kolonialnya masih terlihat di beberapa bagian. Alif dan Rani melangkah dengan hati-hati, memastikan tidak ada orang lain yang melihat mereka.
“Bangunan ini benar-benar tua, ya,” bisik Rani saat mereka masuk ke dalam.
Alif mengangguk sambil melihat sekeliling. Di dalamnya, bangunan itu dipenuhi debu dan sarang laba-laba, dengan dinding yang mulai retak. Mereka menyusuri ruangan-ruangan kosong yang sepi, mencari tanda atau petunjuk yang mungkin mengarah ke lorong bawah tanah.
Setelah beberapa saat, Alif melihat sebuah tangga kecil di pojok ruangan belakang. Tangga itu tampak berbeda dari tangga-tangga lainnya karena tersembunyi di balik pintu kayu yang hampir tertutup debu. Mereka saling berpandangan, yakin bahwa inilah pintu masuk yang mereka cari.
“Ini dia, Rani. Mungkin ini jalan masuknya,” bisik Alif dengan antusias.
Rani mengangguk, lalu membuka pintu kayu tersebut dengan hati-hati. Di balik pintu itu, mereka menemukan sebuah lorong yang menurun dengan dinding bata yang tampak sudah sangat tua. Mereka berdua menyalakan senter, dan dengan hati-hati, mereka mulai menuruni tangga menuju lorong bawah tanah yang gelap dan sempit.
Lorong itu terasa dingin dan sunyi. Suara langkah kaki mereka bergema di sepanjang dinding bata yang rapuh. Semakin jauh mereka berjalan, udara semakin lembab, dan aroma tanah yang lembap memenuhi ruangan. Cahaya senter mereka hanya mampu menerangi beberapa meter ke depan, membuat lorong itu terasa semakin panjang dan misterius.
“Sebenarnya, menurut peta yang kita lihat, lorong ini harusnya mengarah langsung ke lumbung dekat sungai,” kata Alif sambil mencoba tetap tenang meskipun ia merasakan sedikit ketegangan.
“Semoga saja tidak ada yang menghalangi jalan kita,” Rani menanggapi, suaranya terdengar sedikit bergetar.
Setelah berjalan beberapa menit, mereka sampai di sebuah persimpangan. Di sana, lorong itu bercabang menjadi dua arah yang berbeda. Alif mengamati dinding lorong tersebut, berharap menemukan tanda yang bisa membimbing mereka ke arah yang benar. Di salah satu dinding, dia melihat sebuah simbol yang mirip dengan yang ada di medali mereka, tanda bahwa mereka ada di jalur yang benar.
“Kita ikuti simbol ini,” kata Alif yakin.
Mereka mengikuti lorong yang dipenuhi tanda-tanda simbol serupa, yang tampak semakin jelas saat mereka berjalan lebih dalam. Setelah beberapa saat, lorong itu membawa mereka ke sebuah ruangan kecil dengan langit-langit rendah. Di dalam ruangan tersebut, terdapat sebuah pintu kayu tua dengan ukiran rumit yang terpatri di permukaannya.
“Ini pasti pintu menuju ruangan tersembunyi itu,” gumam Rani dengan suara kagum, melihat ukiran di pintu yang tampak begitu detail meskipun usianya jelas sudah sangat tua.
Alif mencoba membuka pintu itu, namun terasa terkunci rapat. Mereka memeriksa sekitar, dan di salah satu sisi dinding, Rani melihat sesuatu yang menarik: sebuah mekanisme kuno yang tampak seperti kunci rahasia.
“Lihat ini, Alif,” kata Rani sambil menunjukkan mekanisme tersebut. “Mungkin kita perlu mengaktifkan ini untuk membuka pintu.”
Alif memeriksa mekanisme itu dan mencoba memutar salah satu bagian yang menonjol. Saat dia memutar mekanisme tersebut, terdengar suara gemeretak pelan, dan pintu kayu itu pun terbuka perlahan, mengungkapkan sebuah ruangan yang gelap dan penuh debu.
Di dalam ruangan itu, mereka menemukan beberapa peti kayu yang sudah tua, serta berbagai gulungan kertas yang tampak rapuh. Namun, di antara benda-benda tersebut, ada sebuah kotak besi kecil dengan ukiran simbol yang sama seperti yang ada di medali mereka.
“Mungkin ini yang kita cari,” kata Alif sambil membuka kotak itu dengan hati-hati.
Di dalamnya, mereka menemukan selembar peta tua dan sebuah buku kecil yang tampak seperti jurnal. Alif membuka jurnal itu, membaca halaman-halaman yang penuh dengan tulisan tangan yang teratur. Isi jurnal tersebut menceritakan tentang perjalanan seorang pejabat kolonial yang menyimpan benda berharga di beberapa lokasi tersembunyi di kota ini.
“Apa ini berarti ada lebih dari satu lokasi yang menyimpan benda berharga?” tanya Rani heran.
Alif membaca lebih lanjut, dan menyadari bahwa benda-benda berharga yang dimaksud di jurnal itu adalah beberapa artefak kuno yang dipercaya memiliki nilai sejarah besar. Pejabat tersebut menyembunyikannya di lokasi-lokasi tertentu di sekitar kota, agar tidak jatuh ke tangan orang yang salah.
“Jadi, ini bukan sekadar harta,” kata Alif serius. “Ini lebih dari itu. Artefak-artefak ini mungkin menyimpan sejarah yang ingin dilindungi.”
Namun, sebelum mereka bisa membaca lebih jauh, mereka mendengar suara langkah kaki dari arah lorong. Seseorang sedang mendekati ruangan tersebut. Mereka berdua saling memandang dengan cemas.
“Pak Arman…?” bisik Rani dengan nada khawatir.
Alif langsung menutup kotak besi itu dan memasukkannya ke dalam tasnya. Mereka kemudian mematikan senter mereka dan bersembunyi di balik salah satu peti kayu, berharap agar orang yang datang tidak menyadari kehadiran mereka.
Langkah kaki itu semakin mendekat, dan akhirnya sosok Pak Arman muncul di pintu ruangan tersebut. Dia membawa sebuah lentera, dan tampak jelas bahwa dia sedang mencari sesuatu. Wajahnya menunjukkan ekspresi serius dan penuh tekad, seolah-olah dia tahu bahwa benda berharga itu berada di tempat ini.
Pak Arman memeriksa ruangan dengan cermat, memperhatikan setiap sudut dan peti yang ada di dalamnya. Alif dan Rani menahan napas, berusaha untuk tidak mengeluarkan suara sekecil apa pun.
Setelah beberapa saat, Pak Arman tampak frustrasi. Dia menggumamkan sesuatu yang tidak bisa mereka dengar, lalu akhirnya meninggalkan ruangan, membawa lenteranya dan menghilang di lorong.
Begitu suara langkahnya menghilang, Alif dan Rani keluar dari tempat persembunyian mereka. Mereka merasa lega, namun juga semakin waspada.
“Kita tidak punya banyak waktu,” bisik Alif. “Pak Arman mungkin akan kembali, dan dia tahu sesuatu yang kita belum tahu.”
Rani mengangguk. “Kita harus segera meninggalkan tempat ini dan memeriksa peta yang kita temukan.”
Dengan cepat, mereka keluar dari ruangan itu dan menyusuri lorong yang sama untuk kembali ke permukaan. Mereka tahu, petualangan mereka baru saja semakin rumit. Kini, mereka tidak hanya harus mengungkap rahasia artefak, tetapi juga harus berlomba dengan waktu untuk menemukan semua lokasi sebelum Pak Arman.
Mereka meninggalkan bangunan tua itu dengan hati yang berdebar-debar, siap untuk langkah selanjutnya dalam petualangan yang semakin mendalam ini.