'Mungkin hal ini perlu ditegaskan kembali. Kita adalah tentara. Karena itu, jika pemerintahan tanah air menghendaki sesuatu, kita wajib memenuhinya.
Kehendak pribadi pada saat seperti itu tidaklah penting.'
—— Letnan Jenderal von Zettour, dari catatan rapat Staf Umum ——
⟩⟩⟩——————————————-—⟨⟨⟨
SUATU DIMENSI, SUATU RANAH EKSISTENSI
Makhluk di sana bergetar karena sukacita.
"Hoo-hoo-hoo. Luar biasa!"
Ia begitu bahagia hingga hampir saja memuji kemuliaan Tuhan tanpa sadar.
Tidak, sebenarnya ia memang memujinya. Dengan wajah penuh kesalehan yang diangkat ke langit, ia berseru dengan lantang—"Haleluya!"
Tentu saja, tak ada seorang pun di tempat ini yang akan menegurnya atas tindakan semacam itu.
Sebaliknya, mereka justru akan ikut bergabung dalam pujiannya.
Bagaimanapun juga, mereka semua adalah makhluk yang diciptakan oleh Sang Maha Ada—cerdas, tapi tak lebih dari Monster Spageti Terbang.
"Cherub, Tuan, apakah sesuatu telah terjadi?"
"Oh, Malaikat Agung, teruslah bekerja dengan baik. Aku hanya begitu gembira karena iman umat manusia akhir-akhir ini meningkat dengan pesat."
Selesai berdoa, sang cherub menjawab sambil tersenyum, memuji kembalinya umat manusia pada siklus kehidupan dan kematian.
Betapa kabar yang luar biasa—sikap sang cherub dengan jelas menunjukkan rasa syukurnya, mengekspresikan kelegaannya karena tatanan telah pulih.
Makhluk-makhluk ini bertugas memimpin makhluk yang disebut Homo sapiens, membimbing jiwa mereka; dan ini adalah laporan positif pertama yang mereka terima setelah sekian lama.
Tak heran bila sang malaikat agung tersenyum dan menyambut kabar itu dengan gembira.
Ia memuji keadaan yang akhirnya kembali seperti semestinya.
Dari lubuk hatinya, hampir meluap sebuah kidung pujian bagi Sang Pencipta.
"Ya Tuhan, Sang Pencipta, Engkau sungguh agung."
"Itu sungguh kabar baik. Tapi… aneh sekali—tunggu dulu."
Keraguan tampak di wajah tampan sang malaikat agung.
Pemulihan iman dan kembalinya siklus kehidupan memang indah, tapi… ia merasa baru saja mendengar sesuatu yang berbeda.
Mereka semua setara di hadapan Yang Esa, dan di luar hirarki tugas mereka, mereka saling toleran.
Karena itu, adalah hal wajar bila ia menanyai atasannya bila ada hal yang tak ia pahami.
"Ada yang salah?" tanya cherub itu lembut.
Menunda pekerjaan suci adalah dosa besar bagi mereka, jadi semua hambatan harus disingkirkan.
Dengan suara halus dan niat baik, sang cherub menjawab.
"Aku dengar dunia mereka telah dipenuhi oleh ateis-ateis jahat."
Itulah sebabnya mereka harus bangkit dan menghadapi kejahatan dengan berani—itu adalah tugas suci mereka.
"Apa?! Tidak ada hal seperti itu di wilayahku! Kau tahu siapa yang bertanggung jawab?"
Cherub itu tampak terkejut.
Di wilayahnya, umat manusia mulai merasakan kembali kehadiran Tuhan. Mereka berdoa, bertindak sesuai kehendak-Nya, dan merindukan rahmat-Nya.
Bagi sang cherub, melindungi dan membimbing umat yang rendah hati adalah kebahagiaan sejati—itulah raison d'être-nya, alasan keberadaannya.
Namun, kabar bahwa ateisme melanda sebagian umat sungguh membuatnya berduka.
"Jika benar begitu… aku ingin membantu sebisaku. Apakah ada yang tahu wilayah siapa itu?"
Ia berbicara dengan tulus, karena belas kasih.
"Sayangnya… itu wilayahku sendiri." Sang seraph menjawab dengan nada malu.
Alih-alih menyembunyikan masalahnya, ia memilih untuk mencari solusi bersama.
Itulah tugas suci mereka sebagai pembimbing.
Bila mereka gagal menuntun domba yang tersesat, mereka tak layak disebut pembimbing.
Namun berita itu mengguncang semua yang hadir.
"Wilayahmu sendiri, Tuan Seraph Bagaimana hal seperti itu bisa terjadi?"
Seraphim adalah yang paling dekat dengan Sang Bapa.
Namun, bimbingannya kini gagal menjangkau manusia? Hal itu tampak mustahil.
"Ya, sayangnya, mereka bukan hanya meninggalkan iman, tapi bahkan—kalau kau bisa percaya—menghujat."
"Menghujat?!"
Mereka terkejut. Tak pernah ada dosa seberat ini.
"Dan lebih dari itu," lanjut sang Seraph dengan getir, "ada gerakan yang menuhankan para penguasa mereka."
Diam.
Sejenak keheningan menyelimuti seluruh ruang surgawi.
Lalu, satu demi satu, ekspresi mereka berubah menjadi ngeri.
"Mereka benar-benar tak lagi mengenal takut? Makhluk seperti apa yang bisa berbuat sejauh itu?!"
"Bahkan ada yang menyamakan Tuhan dengan… opium."
Kata-kata itu membuat semua malaikat bergidik ngeri.
Bagaimana mungkin Sang Pencipta disamakan dengan sesuatu yang najis?
Bahkan para makhluk jatuh di masa lampau tak pernah melakukan penghinaan semacam ini.
"Apakah tidak ada batas bagi kebejatan mereka?"
Seluruh ruang bergema dengan keluhan.
Namun di balik keterkejutan itu, muncul pertanyaan: Bagaimana semua ini bisa terjadi?
Sang cherub menghela napas. "Ini sungguh tak berjalan baik…" katanya lirih.
Namun kemudian, salah satu malaikat berkata pelan, "Tapi setengah dunia masih dipenuhi domba kecil yang saleh."
"Benar," jawab cherub. "Selama perang, manusia mulai kembali mencari keselamatan dari makhluk transenden. Tapi… separuh dunia lainnya justru tenggelam dalam kegelapan ateisme."
"Sulit dipercaya," sahut malaikat agung lain. "Mereka sudah menerima Kabar Baik! Bagaimana mereka bisa kembali ke kegelapan yang primitif seperti itu?"
Mereka bergumam penuh kebingungan.
Mereka menolak mempercayainya—itu tidak mungkin.
Dalam sejarah manusia, mungkin satu-dua individu tersesat dalam kegilaan seperti itu.
Namun seluruh kelompok, setelah menerima wahyu, bisa jatuh sejauh itu? Tak terpikirkan.
"Ini sungguh aneh. Apa yang terjadi dengan mereka?" gumam seorang malaikat.
Namun mereka tahu, mereka tak boleh hanya menangis.
Tugas mereka adalah bertindak.
"Kalau kita ingin memulihkan iman mereka," ujar salah satu malaikat, "bagaimana kalau kita kirim… yang satu itu?"
"Menjadi hamba Tuhan adalah tanggung jawab besar untuk satu manusia saja."
"Tapi mungkin lewat dia, mereka bisa mengenal kehendak Tuhan."
"Hmm… bukankah dulu mereka baru mendengarkan setelah berkali-kali diseru?"
"Kalau begitu, mungkin kita harus memanggil mereka lagi."
"Tidak, membiarkan jiwa tanpa iman berkeliaran bertentangan dengan kehendak Tuhan."
Akhirnya, dengan niat baik, mereka mencapai satu kesimpulan: Mereka akan menguji manusia melalui cobaan.
"Kalau begitu, mari kita ajarkan kasih karunia Tuhan melalui ujian."
"Iya. Bila dia berjuang sebagai hamba Tuhan, mungkin dia akan membawa pertobatan."
"Baiklah. Mari kita ajukan ini pada takhta."
"Setuju. Aku akan menyampaikannya pada Tuhan."
Dan demikianlah keputusan itu dibuat—tanpa satu pun keberatan.
---
22 AGUSTUS, TAHUN TERPADU 1925
Dua bulan telah berlalu sejak kejatuhan daratan Republik.
Saat itu, seluruh warga Kekaisaran yakin perang telah berakhir.
Mereka telah menaklukkan Aliansi Entente, Republik, dan bahkan Kepangeranan.
Semboyan "Kami adalah Reich, mahkota dunia" kini terdengar seperti kenyataan.
Bahkan berita bahwa Persemakmuran (Commonwealth) turut bergabung di pihak Republik tidak cukup untuk memadamkan euforia itu.
Tak ada pertempuran besar atau pertempuran laut yang berarti—semua orang yakin perdamaian segera tiba.
Jadi, ketika laporan datang bahwa Persemakmuran menolak undangan Kekaisaran untuk menghadiri konferensi perdamaian, rakyat hanya kebingungan.
Mereka tak mengerti mengapa musuh begitu bernafsu untuk terus berperang.
Mereka tahu masih ada pasukan sisa Republik yang menolak menyerah,
dan bahwa Persemakmuran memberi bantuan bagi mereka.
Namun bagi rakyat Kekaisaran, itu tak penting.
Kemenangan telah dipastikan di medan perang.
Mereka mulai marah—"Mengapa mereka masih ingin berperang?"
Lalu kesadaran itu muncul: Bukankah mereka yang memulai perang ini?
Maka rakyat Kekaisaran pun menguatkan keyakinan:
"Kita akan menghancurkan siapa pun yang berani melukai Reich!"
Seruan fanatik menggema di seluruh negeri:
"Tumpas musuh!"
Tak seorang pun meragukan kebenaran dan keadilan tanah air mereka.
Itulah sebabnya mereka tidak bisa memahaminya.
Kekaisaran gagal memahami ketakutan yang dirasakan oleh negara-negara lain — ketakutan mendasar bahwa sebuah negara yang amat kuat, sebuah hegemon tanpa tandingan, akan berdiri tegak di tengah benua.
Selain itu, karena cara Kekaisaran itu sendiri didirikan, ia selalu memiliki banyak zona konflik.
Pertikaian itu muncul dari perbedaan pandangan yang tak bisa didamaikan: bagi Kekaisaran, wilayah-wilayah itu jelas merupakan bagian dari tanah kekaisaran, sedangkan bagi negara-negara tetangganya, tanah itu adalah wilayah yang dirampas dari mereka.
Akhirnya, itulah sebabnya Republik bekerja sama dengan kekuatan lain untuk mengepung Kekaisaran dengan strategi garis luar, dan mengapa Kekaisaran mengembangkan strategi garis dalam untuk menembus kepungan itu.
Kemudian, akhirnya, Kekaisaran begitu gembira karena merasa telah menghapus semua ancaman terhadap keamanannya.
Namun, bagi pihak lain, semua itu tampak seperti ancaman besar terhadap keamanan mereka sendiri — sesuatu yang tak bisa mereka abaikan.
Sayangnya, Kekaisaran terlalu sibuk memamerkan ketajaman pedangnya, sehingga gagal menyadari betapa besar rasa takut yang telah ia tanamkan pada dunia di sekitarnya.
Lalu, nasionalisme dan saling ketidakpercayaan pun menyulut api.
Tentu saja, semua orang berharap untuk perdamaian. Ya, dengan sungguh-sungguh.
Dan karena itu — demi kedamaian dan demi melindungi semua orang — mereka mengangkat senjata dan berperang.
Negara-negara lain dengan kepentingan mereka sendiri pun turut menambah bahan bakar.
Dengan ironi yang pahit, keinginan untuk damai tidak membuat perang berhenti — justru membuatnya membara lebih hebat.
---
HARI YANG SAMA, DI NEGARA BERSATU (UNIFIED STATES)
Di sebuah ruangan di kantor perekrutan, seorang mayor — yang juga menjabat sebagai kepala departemen wajib militer — berbicara dengan jujur ketika ia agak kikuk menawarkan kursi kepada Mary.
"Nona Mary Sue, kami sangat senang menerima pengajuanmu."
Suaranya tenang, dan ia menatap Mary langsung di mata.
"Namun, Negara Bersatu memandang kewarganegaraan ganda sebagai masalah yang sangat rumit. Terutama karena hukum kewarganegaraan di Aliansi Entente, menjadi sukarelawan di Angkatan Darat Unified States bisa saja merugikan statusmu di sana. Karena itu, aku harus memperingatkanmu — meskipun kau masih muda — kemungkinan besar kau harus memilih mengenai kewarganegaraanmu."
Ia melanjutkan dengan sopan, menjelaskan bahwa ia tidak bermaksud menekan Mary untuk segera mengambil keputusan sulit itu, tapi tetap menghormati kehendaknya.
Orang-orang dari Unified States selalu dikenal ramah dan penuh pertimbangan seperti itu.
Semua orang mengatakan hal yang sama kepada para anak-anak pengungsi dari Aliansi Entente:
"Kami senang kamu ingin membantu, tapi kamu tidak perlu memikirkannya sekarang."
"Nenekmu, ibumu, dan... ya, bahkan almarhum ayahmu pasti ingin kamu tetap aman di sini, jauh dari bahaya. Bukankah mereka semua khawatir padamu?"
"Ya, tapi justru karena itu, aku ingin melakukan sesuatu — untuk melindungi kedamaian ini. Aku pikir aku bisa membantu."
Mary menjelaskan dengan sungguh-sungguh, dengan kata-katanya sendiri, mengapa ia ingin menjadi sukarelawan.
"Aku pikir pasti ada sesuatu yang bisa kulakukan."
Ia memohon kepada sang mayor agar mengizinkannya berbuat sesuatu untuk Unified States dan untuk perdamaian.
"Yah, kau ada benarnya. Angkatan Darat Unified States saat ini sedang merekrut unit sukarelawan yang akan dikirim ke sekutu kita, Persemakmuran (Commonwealth). Seperti yang kau bilang, itu salah satu cara untuk melindungi perdamaian ini. Tapi ada banyak hal berguna lainnya yang bisa dilakukan oleh anak muda sepertimu di dalam negeri."
Pengumuman telah dikeluarkan mengenai Pasukan Ekspedisi Sukarelawan Unified States yang akan dikirim ke Persemakmuran.
Secara resmi, pasukan itu tidak akan terlibat langsung dalam pertempuran, hanya "ditempatkan" di wilayah Persemakmuran.
Mereka disebut-sebut dikirim untuk menjamin kebebasan perjalanan dan hak-hak sipil sesuai hukum perang.
Namun, semua orang tahu — langkah itu sebenarnya adalah titik balik besar, langkah pertama Unified States untuk benar-benar ikut dalam perang.
Itulah sebabnya Mary langsung bereaksi.
Ia berlari ke kantor perekrutan terdekat untuk menyerahkan formulirnya, hanya untuk mendengar kata-kata yang biasa:
"Masih terlalu dini."
"Maksudmu, sebagai warga Unified States yang baik?"
"Tepat. Anak-anak harus dilindungi. Situasi kita belum seburuk itu sampai kita harus mengirim mereka ke medan perang. Lagipula, kau baru saja cukup umur untuk menjadi sukarelawan. Tidak ada salahnya kalau kau menunggu sedikit lagi untuk memutuskan."
"Bukankah lebih baik kau mencoba menjadi warga negara yang baik dulu?"
Unified States memang cukup murah hati, dengan menafsirkan hukum secara fleksibel untuk memberi kewarganegaraan ganda kepada para pengungsi dari Aliansi Entente yang memiliki kerabat dekat di sana.
Dengan cara itu, mereka menawarkan kehidupan damai bagi para pengungsi — tempat untuk memulai lagi.
Mary memahami bahwa alasan mereka tak ingin mengirim anak muda ke perang adalah karena mereka ingin orang-orang yang mereka selamatkan hidup aman.
Namun Mary bisa menjadi sukarelawan.
Kewarganegaraan yang telah diberikan padanya, ditambah kemampuan sihirnya sebagai penyihir (mage), memenuhi syarat baginya.
Ia telah memikirkannya dengan matang dan membuat keputusan.
"Aku tahu. Aku sudah memikirkannya baik-baik, tapi aku tetap ingin menjadi sukarelawan."
Bendera yang berdiri di tengah ruangan bukanlah bendera tanah airnya, melainkan bendera Unified States.
Bagi Mary, itu bukan bendera rumahnya — berbeda dari bendera Aliansi Entente yang pernah dikibarkan oleh ayah dan ibunya di rumah dulu.
Namun... itu adalah bendera rumah keduanya, negara yang baik hati telah menampung keluarganya.
Jika nenek dan ibuku — keluarga yang harus kulindungi — ada di sini…
Jika ada sesuatu yang bisa kulakukan untuk membantu menghentikan perang ini...
"Nona Mary Sue. Jika kau pergi ke medan perang, kau bisa terluka. Kau bisa mati. Kau mungkin akan membuat nenek dan ibumu sedih."
"…Aku tahu. Aku merasa bersalah, tapi aku akan lebih menyesal kalau tidak melakukan apa yang bisa kulakukan."
Itulah satu-satunya hal yang benar-benar ia khawatirkan.
Namun, didorong oleh tekad yang menyala di hatinya untuk berbuat sesuatu, ia menjawab dengan tegas:
"Mungkin begitu, tapi aku tetap harus melakukannya."
"…Kau yakin?"
"Ya, aku sudah memutuskan untuk menjadi sukarelawan."
Dalam benaknya, ia memikirkan tanah airnya dan punggung orang-orang yang berdoa di gereja.
Kesedihan, duka, dan doa untuk perdamaian…
Ia akan memberikan seluruh dirinya demi semua itu, jika hal itu bisa membawa perubahan.
"Baiklah. Maka kau harus bersumpah pada bendera ini. Masih ingat sumpahnya?"
"Ya, aku sudah menghafalnya."
"…Sepertinya kau benar-benar sudah yakin. Ingatlah, setelah kau menjadi sukarelawan, kau harus menjalankan semua tugas militermu tanpa pengecualian… Kau mengerti?"
Mayor itu mengulang dengan nada seperti konfirmasi terakhir.
Mary tahu ia sedang mencoba membujuknya untuk berpikir ulang, tapi ia menjawab terlalu cepat, tanpa memberi ruang untuk keberatan.
"Tentu. Aku akan bersumpah!"
Berdiri tegak, ia mengangkat tangan dan bersumpah setia kepada Unified States (Negara Bersatu).
"Aku bersumpah setia…"
Itulah perjanjian antara satu gadis bernama Mary Sue dan Unified States.
Kekuatan harus digunakan dengan keadilan — dan ia akan melakukan bagiannya.
"…kepada Unified States dan rakyatnya, satu bangsa di bawah Tuhan, yang tak terpisahkan…"
Ia akan menggunakan seluruh kekuatannya untuk melindungi keluarga yang ia cintai, rakyatnya, dan menegakkan keadilan Tuhan.
"…serta untuk membela Republik ini…"
Untuk menciptakan dunia di mana ia tak akan pernah lagi kehilangan keluarganya karena Kekaisaran.
"…demi kebebasan dan keadilan."
Ia bersumpah dengan rasa keadilan yang ia yakini sendiri.
"Semoga Tuhan melindungimu."
Ya Tuhan, kumohon, lindungilah kami.
Dengan doa tulus itu, Mary Sue resmi terdaftar dan ditugaskan bersama para penyihir sukarelawan lainnya ke Resimen Penyihir ke-1 Unified States–Aliansi Entente Merdeka.
---
24 AGUSTUS, TAHUN TERPADU 1925 — KANTOR STAF UMUM ANGKATAN DARAT KEKAISARAN, RUANG MAKAN 1
Kafetaria di Kantor Staf Umum memiliki aturan tersendiri: makanan yang disajikan harus sama atau lebih buruk kualitasnya dibandingkan dengan yang dimakan oleh para prajurit yang sedang bertugas di medan perang. Karena rumor "menyentuh" itu tersebar luas di seluruh Kekaisaran, Ruang Makan 1 hampir selalu sepi seperti biasa.
Satu-satunya orang yang datang ke kafetaria hanyalah mereka yang tidak bisa menghindari keadaan dan terpaksa makan di sana. Orang-orang malang itu, yang sedang menyeruput kopi imitasi yang mengerikan, hanya bisa menelan keluhan mereka tentang rasa kopi itu bersama air hambar atau kopi imitasi yang sama.
"Kurasa ini hadiah atas kemenangan kita. Kau dan aku telah dipromosikan. Selamat, Letnan Jenderal von Zettour."
"Terima kasih, Letnan Jenderal von Rudersdorf. Sekarang, mari kita kembali ke urusan pekerjaan."
"Memang. Bagaimanapun juga, ini bukan tempat yang cocok untuk perayaan."
Maka, kopi pengganti yang menjijikkan itu menjadi perusak suasana bagi dua perwira yang baru saja dipromosikan menjadi letnan jenderal. Saat Zettour dengan nada praktis menyarankan untuk kembali membahas urusan pekerjaan, Rudersdorf juga merasa suasana di sana sama sekali tidak mendukung untuk merayakan apapun.
Begitulah suasana khas kafetaria di Kantor Staf Umum.
"Baiklah, kalau begitu."
Rudersdorf segera mengubah nada pembicaraan dan membawa topik penting mereka ke atas meja — tahapan operasi berikutnya.
Meskipun Angkatan Darat Republik di daratan utama sudah sepenuhnya ditaklukkan, sisa-sisa pasukan yang menyebut diri mereka sebagai Angkatan Darat Republik Merdeka masih bertahan di koloni-koloni mereka. Sementara itu, Persemakmuran telah ikut dalam peperangan, dan Armada Laut Kekaisaran kini berhadapan langsung dengan angkatan laut mereka — sayangnya, kesenjangan kekuatan antara keduanya masih sangat besar.
Bahkan jika Kekaisaran mengerahkan seluruh armadanya, kekuatan mereka hanya setengah dari milik Persemakmuran.
Meskipun publik dan beberapa anggota Komando Tertinggi sangat bersemangat dengan ide invasi ke daratan
Persemakmuran, baik Zettour maupun Rudersdorf tidak memiliki banyak pilihan realistis mengingat kemampuan tempur pasukan mereka yang terbatas.
"Dengan keadaan seperti ini, kupikir masuk akal jika kita melancarkan operasi di selatan — dengan tujuan memblokade Laut Dalam dan menumpas sisa pasukan Republik."
Itulah sebabnya, sebagai bagian dari rencana mereka untuk mengakhiri perang, keduanya mempertimbangkan kampanye ke selatan melawan sisa-sisa Angkatan Darat Republik.
Mereka ingin menunjukkan bahwa Kekaisaran mampu mengirim pasukan ke koloni-koloni; hal itu diharapkan bisa memaksa pihak Republik dan koloni lainnya untuk mempertimbangkan perdamaian.
Bagi Kantor Staf Umum Kekaisaran, yang sudah tidak melihat manfaat perang lebih lanjut, spekulasi seperti itu adalah rencana kompromi yang realistis untuk mengakhiri konflik dengan cepat. Jika mereka bisa menyelesaikannya tanpa harus menduduki setiap wilayah musuh dan hanya melalui negosiasi, tentu itu lebih mudah.
Izinkan aku menambahkan satu hal. Aku paham maksudmu, tapi kemampuan proyeksi kekuatan negara kita terbatas, dan kekuatan maritim kita di Laut Dalam juga sangat terbatas."
"Benar sekali, Zettour. Karena itulah aku meminta bantuanmu."
Ketika Zettour menunjukkan kesulitan dan Rudersdorf mengangguk setuju, keduanya menyadari bahwa baik kekuatan armada maupun jangkauan militer Kekaisaran tidak memungkinkan operasi invasi luar negeri berskala besar. Bahkan menundukkan negara tetangga pun sudah membebani Angkatan Darat Kekaisaran, yang memang dirancang untuk operasi di dalam negeri.
"Dengan keadaan seperti ini, operasi di front selatan paling banter hanya akan menjadi pertempuran berskala kecil dengan tujuan politik. Apakah itu cukup?"
Zettour menekankan bahwa dari segi militer murni, hasilnya tidak akan terlalu besar, karena mereka tidak mungkin bisa menguasai Laut Dalam dan memutus jalur suplai musuh.
"Itu tidak masalah. Tujuan utama kita adalah menarik Kerajaan Ildoa ke pihak kita dengan mendukung mereka di sana. Aku mengerti maksudmu, dan aku tidak akan menolak ide hanya karena tidak murni bersifat militer."
Rudersdorf tersenyum, menerima kenyataan bahwa politik akan menjadi faktor pembatas.
Medan perang ini akan menguras saraf, tapi seperti operasi Open Sesame di front Rhine, mereka bersedia mencoba cara apa pun yang mungkin berhasil, tak peduli seberapa berputarnya jalan itu.
"Bahkan dalam kasus terburuk, memiliki Kerajaan Ildoa yang netral secara simpatik akan menunjukkan pada Republik dan Persemakmuran bahwa kita bisa mengancam jalur suplai mereka — terutama di koloni. Itu sesuatu yang kita butuhkan. Tapi…"
"Masalah logistik seperti biasa?" tanya Rudersdorf dengan ekspresi bingung.
Zettour jarang terdengar ragu — ia biasanya berbicara seolah sedang membaca rumus. Maka ketika ia tiba-tiba terdiam, Rudersdorf terkejut.
"Tidak, masalah itu bisa kuatasi. Hanya saja aku merasa ini seperti penempatan yang sia-sia. Apakah perdamaian terbatas benar-benar mustahil?"
"Aku tidak bermaksud mengembalikan pertanyaanmu, tapi kenapa perdamaian terbatas tidak mungkin? Kita hanya melakukan apa yang diperintahkan oleh Komando Tertinggi."
Sebuah keheningan singkat jatuh di antara mereka.
Dan setelah merenungkan pertanyaan 'Kenapa perang ini tidak bisa berakhir?', hanya ada satu jawaban.
"Akhirnya, kupikir masalahnya adalah kita belum benar-benar mengalahkan musuh."
Itu saja yang bisa ia ucapkan.
Kegagalan untuk benar-benar menaklukkan musuh adalah kesalahan fatal. Kesempatan itu telah terlewatkan saat mereka larut dalam euforia kemenangan.
Tentu saja, kemenangan mereka tetaplah kemenangan — pengepungan, penghancuran, kemajuan, dan pendudukan — semua berjalan sesuai rencana. Tapi ada satu hal yang hilang dari perayaan mereka: akhir perang dan kembalinya kedamaian.
Sekarang, armada Republik yang dulu mereka biarkan kabur telah menjadi duri di sisi mereka, berteriak tentang "perlawanan sampai akhir."
Kedamaian terasa semakin jauh.
Kedua jenderal itu pun merasakan kebutuhan untuk menancapkan paku terakhir ke peti perang ini.
"Kalau memang harus begitu, maka yang perlu kita lakukan hanyalah mengalahkan mereka. Dalam arti itu, kalau kita menganggap pengiriman pasukan ke benua selatan sebagai langkah demi perdamaian, ide itu tidak buruk."
Rudersdorf menegaskan bahwa mereka tidak akan mengulangi kesalahan yang sama dua kali. Mereka akan menghancurkan siapa pun yang menghalangi jalan mereka.
"Baiklah. Aku akan menyiapkan pasukan dan komandan yang tepat, "kata Zettour sambil tersenyum tipis, meski wajahnya masih tampak menyimpan keraguan.
"Tapi aku ingin kau mengingat satu hal — atau lebih tepatnya, menegaskan ulang. Kita ini negara dengan pasukan darat, dan kita selalu memprioritaskan strategi garis interior."
"Seperti yang kau katakan. Kau sudah sering mengingatkanku soal itu."
Angkatan Darat Kekaisaran memang dirancang untuk beroperasi di dalam negeri, bukan untuk ekspedisi luar negeri.
Sayangnya, Kekaisaran kini sedang terburu-buru membangun kemampuan itu, sementara divisi logistik sudah kelelahan sejak awal perang, dan laporan kendala terus berdatangan.
"Benar. Berperang di negeri asing akan sangat membebani layanan logistik kita. Meskipun kondisi laut di sana berbeda dengan sekitar daratan Persemakmuran, operasi di benua selatan tetaplah operasi luar negeri. Kita harus siap menanggung beberapa kerugian," ujar Zettour, lalu melanjutkan setelah ragu sejenak,
"Tapi… itulah sebabnya aku berencana menurunkan divisi ringan. Aku tidak berniat mengirim unit besar. Kau sudah bilang setuju, jadi seharusnya tak ada masalah."
"Sebagai orang yang bertanggung jawab atas operasi, aku tak masalah dengan divisi ringan. Bagaimana denganmu?"
"Tidak, seharusnya tidak ada masalah."
Keduanya sadar bahwa ekspedisi ini akan sulit, maka divisi ringan dipilih. Tapi dari nada Zettour, Rudersdorf masih mendengar sedikit keraguan.
"…Sahabatku, apa sebenarnya yang ingin kau katakan?"
"Kau tidak merasa kita sudah membuat kesalahan?"
Zettour teringat Mayor von Degurechaff yang pernah muncul di Kantor Staf Umum dengan wajah ingin menyampaikan sesuatu, tapi kemudian berbalik dan pergi tanpa sempat bicara. Kini ia menyesal — entah kenapa ia merasa mayor itu ingin berteriak padanya: "Kalian salah!"
Sekarang sudah terlambat, tapi rasa sesal itu menghantui.
Rudersdorf, mendengar itu, hanya bisa mengangguk pelan. Ia pun merasakan hal yang sama.
"Kurasa memang begitu. Dalam perang, kita punya lawan, jadi segalanya tak selalu berjalan sesuai rencana. Kadang musuh bereaksi di luar dugaan, bukan? Kau hanya terlalu pintar membaca mereka, makanya kau jarang salah!"
Meskipun ia mengakui kesalahan, Rudersdorf tidak ingin terjebak dalam penyesalan. Dalam kabut perang, tidak semua peluru bisa mengenai sasaran. Yang bisa mereka lakukan hanyalah yang terbaik — hasil terbaik kedua pun sudah cukup.
"…Kalau kau bilang begitu. Bagaimanapun, mari kita jaga agar bebannya tetap minimal."
"Baiklah. Sejujurnya, aku ingin sebanyak mungkin unit cadangan tetap berada di dalam negeri, jadi akan lebih baik jika kau bisa melakukannya dengan pasukan sekecil mungkin."
Keduanya sepakat untuk meminimalkan beban logistik.
"Kalau begitu, bagaimana kalau kau memberiku unit itu lagi? Pasukanmu, Batalion Penyihir Udara ke-203," kata Rudersdorf. "Mereka hanya menambah beban logistik seukuran 50 orang, tapi daya hancurnya melampaui batalion tambahan biasa. Sangat efisien."
Ia tahu bahwa memiliki unit kecil tapi mobilitas tinggi akan sangat berguna di operasi seperti ini.
"…Aku membutuhkannya untuk melawan para penyihir udara musuh. Selain itu, kalau kau melepaskannya begitu saja, tak ada yang tahu sejauh apa dia akan maju!"
Tentu saja Zettour tidak ingin begitu saja melepaskan aset berharga seperti Tanya dan unitnya.
"Dia akan memimpin serangan. Aku butuh dia untuk membuat kekacauan di sana."
"Beri aku dia."
"Tidak."
"Ayolah, beri aku."
Pertukaran itu berlangsung lama — dua jenderal yang bersikeras — sampai akhirnya keras kepala Rudersdorf menang.
"Baiklah, aku akan mengaturnya. Sekarang aku akan ke rapat berikutnya untuk menyampaikan pemberitahuan resmi. Kau sendiri bagaimana?"
"Maaf, urusan ini kuserahkan padamu. Aku ingin menginspeksi pasukan kita, kalau-kalau kita akan bentrok dengan Persemakmuran."
"Baik. Kabari aku nanti soal hasilnya."
"Tidak masalah."
"Bagus. Kalau begitu, mari kita wujudkan rencana ini."
---
29 AGUSTUS, TAHUN TERPADU 1925, KANTOR STAF UMUM ANGKATAN DARAT KEKAISARAN, RAPAT GABUNGAN ANTARA KORPS LAYANAN DAN DIVISI OPERASI
"Sudah waktunya." Seorang perwira muda mengumumkan dengan suara gugup bahwa waktu rapat telah tiba.
"Baiklah. Saya ingin memulai rapat untuk membahas rencana kita dalam mengakhiri pertempuran di daratan Republik dan Aliansi Entente, serta konflik yang mungkin melibatkan Persemakmuran."
Itu adalah rapat untuk menentukan arah dasar militer Kekaisaran.
Secara alami, semua tokoh paling penting di Staf Umum, mulai dari kepala hingga bawahannya, hadir di sana.
Agenda rapat itu sederhana.
Mereka akan menyelesaikan perbedaan pendapat yang muncul terkait arah utama perang.
"Pertama, mengenai akhir pertempuran di front utara, silakan lihat dokumen yang sudah dibagikan."
Akhirnya, semuanya telah usai.
Meskipun tidak sepenuhnya akurat, itu tampaknya merupakan cara terbaik untuk menggambarkan situasi di wilayah utara, di mana garis pertempuran telah ditekan dan pemerintahan militer kini diberlakukan.
Akhirnya, kabar baik yang lama dinantikan datang dari kekacauan wilayah utara, meskipun mereka tak bisa menyangkal bahwa itu datang agak terlambat. Lawan mereka bertahan begitu lama, bahkan setelah kekuatan militer dan nasional mereka telah dikalahkan.
Tentu saja, fakta bahwa mereka mendapat bantuan dari kekuatan lain tidak bisa diabaikan.
Namun tetap saja, hal itu telah menghabiskan begitu banyak waktu dan tenaga bagi Kekaisaran.
Karena alasan itu, wajah para jenderal yang hadir di ruangan itu terlihat jauh dari senang.
Namun mereka menilai bahwa pikiran seperti itu hanyalah sentimen pribadi dan tidak menuruti perasaan itu.
Tugas mereka hanyalah menerima dan menyetujui laporan setelah fakta terjadi, namun fokus utama mereka kini adalah masalah dengan Persemakmuran dan sisa-sisa Republik.
Mereka sudah mengambil sikap praktis bahwa urusan dengan Aliansi Entente hanyalah masalah pemerintahan militer semata.
Yang tersisa hanyalah mengumpulkan kekuatan yang dibutuhkan Korps Layanan dan Divisi Operasi, serta memilih seseorang untuk memerintah.
"Jadi, gubernur militer akan dipilih setelah berkonsultasi dengan Komando Tertinggi dan Divisi Personel di Staf Umum."
Masalah ini diselesaikan dengan cepat tanpa perdebatan rumit, hanya beberapa pertanyaan kecil mengenai detail teknis.
Inti dari rapat itu adalah agenda berikutnya.
"Selanjutnya, saya ingin membahas operasi di benua selatan yang diajukan oleh Wakil Kepala Korps Layanan, Letnan Jenderal von Zettour."
Setelah dipanggil oleh pemimpin rapat, Letnan Jenderal von Zettour berdiri.
Ia baru saja dipromosikan karena keberhasilan rencananya untuk memancing dan menghancurkan Tentara Republik.
Rencana berikutnya kembali memecah opini di Staf Umum — sebuah rencana untuk menahan kekuatan utama Persemakmuran dengan memanfaatkan Tentara Besar.
Mereka akan memusatkan Tentara Besar di wilayah Republik sebagai unjuk kekuatan, sembari melanjutkan perebutan dominasi.
Ia juga mengusulkan operasi serentak di benua selatan dengan menggunakan pasukan cadangan dan sejumlah pasukan elite yang bisa dikumpulkan sebagai bentuk serangan terbatas.
Sekilas, tampak seolah-olah ia menekankan pentingnya merebut benua selatan.
Namun sebenarnya, karena rencana itu lebih condong ke reorganisasi garis pertahanan yang hampir pasif, kalangan internal militer menafsirkan rencana tersebut sebagai strategi bertahan.
Secara alami, menjadikan benua selatan sebagai medan utama dan melancarkan perang di luar daratan Kekaisaran jauh lebih baik bagi pertahanan negara.
Analisis bahwa mempertahankan koloni—yang terpisah dari daratan utama—akan membebani jalur pasokan Persemakmuran juga masuk akal.
Namun secara keseluruhan, Staf Kekaisaran menilai usulan tersebut sebagai cara untuk membeli waktu demi reorganisasi kekuatan utama mereka.
Zettour mengusulkannya untuk tujuan pelemahan musuh secara efektif.
Beberapa orang mulai bergumam bahwa rencana itu terlalu pasif.
Bukankah lebih sederhana jika mereka langsung mengirim pasukan utama ke daratan Persemakmuran?
Bahkan ada bisikan bahwa itu bisa menjadi pertempuran penentu.
Tentu saja, musuh harus melindungi baik daratan utama maupun koloninya.
Akibatnya, koloni-koloni itu mungkin kekurangan kekuatan tempur.
Sudah jelas bahwa koloni akan lebih mudah dikalahkan.
Dan jika mereka berhasil menaklukkan koloni, maka sebagian kemampuan Persemakmuran untuk terus berperang akan terkikis, dan fondasi dari "Republik Merdeka" atau apapun mereka menyebutnya akan runtuh.
Karena itulah banyak yang menginginkan pertempuran penentu di daratan Persemakmuran.
Namun, para perwira itu juga menyadari efektivitas operasi di benua selatan.
Pertama, tak terlalu sulit untuk mengumpulkan pasukan yang diperlukan.
Kedua, ancaman kekalahan di tanah air musuh akan memaksa mereka membagi kekuatan.
Meski begitu, mayoritas masih ingin menghindari operasi berputar-putar dan mendesak serangan langsung ke daratan Persemakmuran.
"Kalau kita lakukan itu, perang akan berakhir," kata mereka.
Namun Zettour berpikir sebaliknya. "Kita harus memaksa musuh menguras diri mereka di benua selatan. Dalam waktu itu, prioritas kita adalah menumpas gerilyawan di wilayah pendudukan dan menata kembali pasukan kita."
Ia tidak optimis dengan kemampuan mereka untuk menguasai daratan Persemakmuran.
Mengabaikan risikonya, bahkan jika mereka berhasil melakukan pendaratan setelah pertempuran laut besar-besaran, ia bisa membayangkan pasukan Kekaisaran akan kelelahan.
Ketakutannya yang terbesar adalah jika pada saat itu kekuatan lain ikut campur.
"Aku keberatan! Tentara Besar mampu bergerak cepat. Kita harus menyerang Persemakmuran sebelum mereka memperkuat pertahanannya!"
"Tolong ingat perbedaan kekuatan antara angkatan laut kita dan mereka. Kita tidak menguasai laut."
Pada saat yang sama, ada masalah nyata dengan keunggulan angkatan laut Persemakmuran.
Angkatan Laut Kekaisaran tidak dapat menandinginya baik dari segi kualitas maupun kuantitas.
Meski kekuatan laut mereka berkembang pesat dalam beberapa tahun terakhir, mereka harus mengakui bahwa mereka masih tertinggal.
"Justru karena itu, kita harus menguasai langit dengan kekuatan udara dan pasukan penyihir kita."
Tentu saja, setiap jenderal yang hadir memahami hal itu.
Meskipun kapal-kapal Kekaisaran unggul satu per satu dibandingkan milik Persemakmuran, Kekaisaran tidak bisa menang hanya dengan peralatan.
Unsur pelatihan dan keterampilan juga penting, dan mereka tidak bisa mengabaikan faktor jumlah yang mutlak.
Yang bisa menutupi kekurangan itu hanyalah kekuatan udara dan pasukan penyihir Kekaisaran.
Secara alami, mereka membayangkan kekuatan udara dan penyihir akan digunakan untuk melemahkan musuh.
Mencapai supremasi udara dan melemahkan musuh dengan serangan anti-kapal.
Itu bisa dikatakan sebagai strategi yang cukup umum, dan militer Kekaisaran siap untuk itu.
Namun, selat yang memisahkan daratan tetap menjadi hambatan strategis besar bagi Angkatan Darat Kekaisaran.
Serangan yang memerlukan penyeberangan laut adalah mimpi buruk bagi para perencana militer.
"Sejujurnya, aku tidak suka ide pertempuran habis-habisan di wilayah musuh."
Mereka memilih lawan yang salah jika ingin memenangkan perang dengan strategi kelelahan.
Pertempuran habis-habisan di tanah air kekuatan besar adalah langkah berbahaya.
Salah sedikit saja, Kekaisaran bisa menjadi pihak pertama yang kehabisan tenaga.
Pertempuran di front Rhine dulu berlangsung di perbatasan, jadi kedua pihak berada di posisi seimbang.
Namun dalam pertempuran udara di atas daratan musuh, semangat tempur mereka pasti akan sangat tinggi.
Dan jika pesawat musuh jatuh, mereka bisa segera kembali bergabung ke barisan; bertempur di tanah sendiri berarti mereka tak perlu takut menjadi tawanan.
Tapi jika salah satu prajurit Kekaisaran ditembak jatuh, mereka beruntung kalau hanya ditawan.
Dengan begitu, bahkan jika kedua pihak saling menembak jatuh dalam jumlah yang sama, kerugian sebenarnya akan jauh berbeda.
Dan tentu saja, karena militer Kekaisaran tak bisa menanggung kerugian sebesar musuh, mereka harus terus membatasi kerugian sendiri sembari memperparah kerugian musuh.
Itu bukan hal yang mustahil, tapi nyatanya sangat sulit.
"Yang perlu kita khawatirkan adalah waktu. Begitu musuh memperkuat pertahanannya, akan terlambat untuk menyerang."
Pada saat yang sama, menyerbu daratan musuh setelah mereka memperkuat pertahanan adalah tindakan gegabah.
Beberapa staf menyatakan bahwa satu-satunya cara menyelesaikan perang adalah perang cepat dan mendesak serangan.
"Jika kita tidak menyerang sekarang," kata mereka, "kita akan menghadapi pertahanan musuh yang kuat seperti di front Rhine."
"Kita juga bisa memperkuat pertahanan kita selama waktu itu. Sepertinya posisi kita akan seimbang."
Pemikiran Zettour sederhana.
Menurutnya, tentara dibentuk untuk melindungi Kekaisaran, bukan wilayah yang diduduki.
Karena itu, prioritas tertinggi bukanlah memperluas wilayah, melainkan melindungi pasukan.
Tentu saja, ia tetap ingin melakukannya sembari membuat musuh berdarah.
"Harap pahami keterbatasan organisasi kita. Angkatan darat kita dirancang untuk strategi garis interior, dengan fokus pada pertahanan nasional. Kita telah mengorbankan sebagian besar kemampuan ekspedisi kita demi memiliki prajurit yang lebih kuat dan berkualitas."
Ya, itu memang satu-satunya cara untuk mempertahankan wilayah sebesar itu.
"Tapi pada akhirnya, kita tidak bisa mengakhiri perang tanpa memasuki wilayah mereka dan memaksa mereka menyerah. Kekhawatiran Anda valid, Jenderal von Zettour, tetapi bertahan di medan perang terlalu lama hanya akan menggerogoti kekuatan nasional kita."
Singkatnya, bagaimana perang diakhiri tidaklah penting.
Dalam hal ini, Zettour tidak yakin bahwa menaklukkan daratan Persemakmuran adalah hal yang benar-benar perlu.
Sebaliknya, ia mulai berpikir bahwa itu ide bodoh yang hanya akan menyeret mereka ke dalam kubangan.
Dan kebodohan melakukan itu dengan kekuatan laut sudah jelas baginya.
Ia percaya bahwa peluang kemenangan terletak bukan pada bertempur di tanah musuh, melainkan menarik mereka ke medan pertempuran yang dipilih Kekaisaran.
Namun ia kesal karena keadaan tidak memungkinkan untuk mengatakannya secara terbuka.
Yang lain terlalu bangga setelah mengalahkan Republik dan yakin bahwa mereka bisa menghancurkan Persemakmuran dalam satu gerakan mulus.
Perencana operasi di bawah Letnan Jenderal von Rudersdorf lebih memahami situasi, tapi rakyat dan birokrat punya kecenderungan berkata, "Oh, Angkatan Darat Kekaisaran pasti bisa," dan menaruh ekspektasi berlebihan.
Jadi Zettour dengan terpaksa mengusulkan serangan terbatas.
Ia menyusunnya menjadi operasi yang memberi hasil terbaik dengan pengorbanan paling kecil.
Sembari menyembunyikan perasaannya, ia mendorong rencana perang bertahan yang bersifat melemahkan musuh.
Ia tidak punya pilihan lain.
Front di benua selatan adalah gurun.
Berbeda dari daratan utama, di sana hanya berlaku satu hukum: yang terkuat yang bertahan hidup.
Pada saat itu, ada tiga kekuatan besar yang memiliki pengaruh di benua selatan: Persemakmuran, Republik, dan Kolektif Ispagna.
Dari ketiganya, Kolektif Ispagna berhasil tetap netral—terutama karena mereka tidak punya kekuatan untuk terlibat secara eksternal akibat konflik politik dalam negeri yang sengit.
Yang memperumit keadaan adalah Kerajaan Ildoa yang mencoba ikut campur dan "menetap" di sana.
Hasilnya adalah peta dengan warna kabur—wilayah yang terdiri dari gabungan kerajaan-kerajaan Turkman dan permukiman Ildoa.
Campuran kekuasaan di wilayah itu bisa digambarkan dengan satu kata: kekacauan.
Tentu saja, jika dilihat secara garis besar, sebagian besar pengaruh dan pemerintahan boneka di wilayah itu berada di tangan Persemakmuran dan Republik.
Meskipun negara-negara di benua selatan secara resmi bersikap netral, kesetiaan mereka sebenarnya sudah jelas terlihat dari cara mereka mengirim pasukan sukarelawan dan memasok perbekalan.
Namun, tidak semua negara memusuhi Kekaisaran. Misalnya, negara-negara yang kepentingannya bertentangan dengan Persemakmuran dan Republik dalam perebutan wilayah koloni di benua selatan justru berpihak pada Kekaisaran.
Contoh paling menonjol adalah Kerajaan Ildoa.
Bagi Kekaisaran, tidaklah sulit untuk mengajak kerajaan itu membentuk aliansi karena kepentingan mereka yang sama. Hal ini tentu sangat mengganggu para diplomat Republik, sebab negara-negara tetangga yang bersaing untuk memperluas pengaruh mereka justru senang melihat kemunduran Republik.
Karena itulah, Kerajaan Ildoa memutuskan untuk bersekutu dengan Kekaisaran.
Tentu saja, persekutuan itu tidak serta-merta berarti mereka ikut berperang melawan Republik dan Persemakmuran.
Perjanjian antara kedua negara itu secara prinsip menyatakan bahwa peperangan bersifat opsional—tidak ada kewajiban untuk turut serta dalam perang.
Pada saat Korps Ekspedisi Benua Selatan Kekaisaran dikerahkan, Kerajaan Ildoa masih secara resmi menyatakan diri netral.
Namun demikian, sebagai bentuk pertimbangan terhadap negara sekutunya, kerajaan itu mengizinkan pasukan Kekaisaran untuk "ditempatkan" di wilayahnya.
Meski begitu, Kekaisaran tidak segera memanfaatkan tawaran tersebut.
Karena menganggap enteng benua selatan, Kekaisaran hanya mengirim satu korps tentara yang terdiri dari dua divisi dan satu unit pendukung.
Akhirnya, Staf Umum pun terlibat dalam perdebatan sengit tentang apakah mereka perlu menambah jumlah pasukan atau tidak.
Jumlah unit yang dikerahkan begitu sedikit hingga pasukan Republik yang biasanya ditempatkan di wilayah itu saja dapat menahan mereka.
Saat itu, semua orang berasumsi bahwa unit Kekaisaran akan berfokus pada penguatan kekuatan tempur.
Bagaimanapun juga, satu korps kecil tidaklah memiliki ancaman militer yang berarti.
Namun, kehadiran tentara Kekaisaran memiliki arti politik yang sangat besar.
Analisis yang menyatakan bahwa Komandan Korps, Jenderal von Romel, dikirim untuk alasan politik—yakni memperluas pengaruh dan menunjukkan penghormatan kepada sekutu Kekaisaran—menjadi pandangan umum yang diyakini banyak pihak.
Karena itu, semua orang memperkirakan bahwa keadaan akan tetap tenang untuk sementara waktu.
Bahkan divisi Staf Umum yang bertugas memberikan perintah kepada Angkatan Darat Kekaisaran pun separuh serius menganggap hal itu benar.
Mereka memang telah menempatkan pasukan di sana, tetapi belum yakin apakah front itu perlu menjadi prioritas atau tidak.
Lagi pula, tidak ada keuntungan nyata yang bisa diperoleh dengan mengirim pasukan ke sana.
Seandainya tujuan mereka bukan untuk menguras kekuatan musuh dalam perang total ini, mungkin Kekaisaran tidak akan mengirim pasukan sama sekali.
Dalam pengertian itu, prediksi tentang masa tenang di front selatan bisa dikatakan sebagai analisis yang cukup masuk akal.
Namun, pengkhianatan terhadap semua prediksi itu datang dari lapangan.
Akar penyebabnya adalah Komandan von Romel.
Baik musuh maupun sekutu sama-sama tidak menyangka Korps Ekspedisi Benua Selatan akan bergerak, namun begitu mereka tiba, mereka langsung bertindak.
Dunia pun kembali diingatkan bahwa seorang jenderal yang cakap tidak akan membuang waktu.
Pasukan Persemakmuran yang baru saja tiba untuk mempertahankan koloni Republik menjadi pihak yang paling menderita.
Pasukan baru itu belum berpengalaman di medan perang, sehingga mereka mengira dua divisi Kekaisaran ditempatkan di benua selatan hanya karena alasan politik.
Karena itu, mereka lengah sepenuhnya.
Dan akibatnya, pasukan Kekaisaran di bawah Komando von Romel berhasil menaklukkan mereka habis-habisan.
Angkatan Darat Kekaisaran, yang melancarkan perang manuver yang belum pernah tertandingi dalam sejarah melawan musuh dengan jumlah berlipat-lipat, berhasil menghancurkan pasukan Persemakmuran, sebagian besar karena setengah dari pasukan Kekaisaran tersebut adalah veteran yang ditempa di Front Rhine.
Karena itu, pasukan Persemakmuran yang sama sekali tidak menyangka akan bertempur dalam perang bergerak di gurun pasir mengalami pukulan telak di awal dan akhirnya melarikan diri secara kacau.
Sudah jelas strategi apa yang akan diambil oleh Jenderal de Lugo sebagai tanggapan.
Ia melakukan langkah-langkah diplomatik terhadap Kerajaan Ildoa sembari berupaya menghalangi bantuan agar tidak sampai ke pihak kerajaan itu.
Namun, Romel bergerak lebih cepat daripada kelihaian de Lugo.
Generasi setelahnya akan mengagumi taktik cerdiknya.
Begitu Romel menyadari bahwa waktu belum tentu berpihak padanya, meskipun kekuatannya terbatas, ia melakukan serangan tipuan, menyerbu Pangkalan Angkatan Laut Turus secara mendadak, dan berhasil merebutnya.
Dengan mengamankan pangkalan yang tidak bergantung pada wilayah Kerajaan Ildoa, ia berhasil memberikan pukulan serius terhadap logistik Republik dan Persemakmuran.
Pangkalan Angkatan Laut Turus merupakan pusat pasokan utama mereka, jadi kejatuhannya memiliki dampak besar yang menjalar luas.
Akhirnya, bertentangan dengan prediksi awal, Korps Ekspedisi Benua Selatan Kekaisaran berhasil menunjukkan keberadaannya.
Yang paling penting, rakyat Kekaisaran menjadi terpana dan bersemangat menyaksikan rangkaian kemenangan tersebut.
Mereka sudah percaya bahwa Kekaisaran telah mengalahkan Republik di garis pertahanan Rhine setelah mengorbankan begitu banyak uang dan nyawa.
Untuk kemudian melanjutkan perang, tentu berisiko menimbulkan kejenuhan dan kebencian di kalangan rakyat.
Namun, berlawanan dengan perkiraan Staf Umum, pasukan Kekaisaran justru mendominasi di benua selatan.
Kemenangan demi kemenangan setelah Dacia dan Rhine membuat rakyat larut dalam euforia.
Pertempuran itu seolah-olah menunjukkan bahwa tentara Kekaisaran benar-benar tak tertandingi.
Rakyat yang bersemangat menjadi pro-perang dan memberikan dukungan besar terhadap upaya perang.
…Akibatnya, harapan terhadap pasukan Kekaisaran pun melonjak.
Bagi Staf Umum, gambaran keseluruhan ini adalah kesalahan perhitungan besar.
Mereka memang menyambut baik dukungan rakyat untuk melanjutkan perang,
namun kemunculan seorang "pahlawan" di benua selatan dan kesulitan mereka menentukan waktu mundur justru menjadi sumber kekhawatiran.
Faksi pengendali kerugian, yang dipimpin oleh Letnan Jenderal von Zettour, memberikan perlawanan keras terhadap faksi agresif yang menginginkan perluasan perang..
Bagi mereka, mengirim lebih banyak pasukan ke benua selatan adalah pemborosan sumber daya yang tak bisa diterima.
Beban terhadap jalur pasokan pun akan menjadi tidak tertahankan.
Bagaimana dengan kapal konvoi?
Bagaimana dengan kapal pengangkut?
Bagaimana dengan unit dukungan langsung?
Bahkan para petugas logistik pun merasa tertekan hanya dengan membayangkan gunung masalah tersebut.
Apalagi, karena Angkatan Darat Kekaisaran beroperasi berdasarkan strategi garis dalam negeri, mereka bahkan tidak yakin bisa memproyeksikan kekuatan secara efektif di negeri asing.
Memindahkan satu korps di benua selatan sangat berbeda dengan memindahkan pasukan di dalam negeri.
Bahkan satu senapan yang diproduksi di tanah air harus melalui jalur transportasi yang rumit untuk sampai ke tangan prajurit di selatan.
Selain itu, selalu ada kemungkinan sebagian barang rusak di perjalanan, bahkan seluruh kapal bisa tenggelam.
Bagi divisi-divisi yang terlibat, situasi itu lebih buruk dari mimpi buruk, dan secara keseluruhan Angkatan Darat Kekaisaran tidak sanggup menanggung kerugian seperti itu.
Kapasitas angkatan laut mereka pun hanya dirancang untuk mengangkut pasukan ke wilayah Norden, bukan untuk operasi laut jauh.
Karena itu, Kekaisaran tidak memiliki banyak kapal pengangkut dan pemeliharaan dilakukan dengan sangat lambat.
Lebih parah lagi, Kekaisaran sebagai negara daratan hampir tidak memiliki konsep pertahanan jalur laut besar.
Pengetahuan teoritis mereka tentang sistem konvoi hanya sebatas dasar-dasarnya saja — hal ini tentu akan membawa bencana di kemudian hari.
Sebaliknya, Persemakmuran dan Republik memiliki basis industri di koloni mereka yang memungkinkan mereka bertahan mandiri sampai batas tertentu.
Selain itu, mereka juga memiliki lebih banyak kapal daripada yang bisa dihitung.
Sementara itu, Kekaisaran hanya bisa mengandalkan pasokan dari wilayah-wilayah baru di bawah pengaruhnya, yang tentu saja tidak bisa dijamin sepenuhnya.
Tidak heran, setiap perwira yang berpikir jernih akan merasa cemas bergantung pada pasokan dari luar.
Karena itu, Staf Umum pun kembali terjebak dalam perdebatan panas.
Semua setuju bahwa front selatan tidak boleh diperluas lebih jauh, tetapi apakah mereka bisa benar-benar mengabaikan musuh yang ada di depan mata?
Bagi Zettour, yang memutuskan bahwa mereka harus memperkuat garis pertahanan dan menggunakan pengaruh diplomatik di belakang layar, waktu telah tiba untuk memperbaiki organisasi pertahanan Kekaisaran.
Namun sebelum Staf Umum mencapai kesimpulan, datanglah laporan mengejutkan dari selatan—laporan tentang kemenangan besar.
Berita bahwa pasukan sedang meningkatkan keberhasilan mereka dengan serangan lanjutan segera membuat rakyat kembali bersemangat,
sementara bagi Zettour, itu berarti mimpi buruk logistik yang baru.
Untungnya, saat itu Zettour belum mengetahuinya.
---
KAMIS, 4 SEPTEMBER 1925, TAHUN TERPADU, IBU KOTA KEKAISARAN
Ia masih tidak bisa melupakan kesan pertamanya ketika melihat unit yang akan dikirim ke benua selatan.
Awalnya ia bersemangat saat membaca laporan mereka — tetapi kemudian ia sadar hanya ada dua divisi dalam daftar.
Satu divisi adalah infanteri ringan, unit baru yang sebagian besar berisi pasukan muda dan cadangan.
Divisi lainnya berisi beberapa veteran yang tersisa, namun bahkan dengan penilaian paling dermawan pun, mereka tidak berada dalam kondisi baik.
Secara teori, mereka memiliki kekuatan tempur, tetapi di Front Rhine mereka telah kehilangan banyak orang.
Sebagai veteran Front Rhine sendiri, Jenderal von Romel tahu betul dampak kerugian itu.
Bagi setiap komandan normal, perintah untuk berperang di selatan dengan pasukan "sisa-sisa" seperti itu tentu saja terlalu konyol.
Karena itu, ia mengajukan permintaan tambahan pasukan ke Staf Umum — tetapi tidak mendapat jawaban yang memuaskan.
Akhirnya, setelah berulang kali mendesak, ia menerima tambahan satu batalion penyihir yang diperkuat — unit elit di bawah Korps Pelayanan dan Operasi Staf Umum.
Ia sangat gembira — pasukan inti, dengan perlengkapan lengkap, pengalaman tempur, dan kekuatan penuh!
Namun kegembiraan itu lenyap seketika ketika ia membaca evaluasi tentang komandannya.
Bukan karena penilaiannya buruk.
Akademi, misalnya, menilai bahwa dia memenuhi standar perwira lapangan.
Bahkan ia telah menyelesaikan pendidikan tinggi di akademi perang untuk memenuhi syarat sebagai perwira staf — hal yang langka bagi seorang penyihir militer.
Akademi perang juga menuliskan penilaian positif: "memenuhi seluruh kriteria yang diharapkan dari seorang perwira."
Itu semua merupakan evaluasi yang sangat baik.
Artinya, ia memiliki pengetahuan di atas rata-rata baik sebagai perwira lapangan maupun staf.
Namun sekarang sedang masa perang.
Evaluasi terpenting adalah dari medan pertempuran, dan di situlah semuanya berantakan.
Dari Kelompok Angkatan Darat Utara, datang tumpukan kritik keras — katanya ia dipindahkan karena menyuarakan penolakan terhadap atasan.
Kelompok Angkatan Darat Barat menolak menilai, dengan alasan kelebihan dan kekurangannya saling meniadakan, dan mencatat bahwa ia pernah berusaha menentang perintah.
Sungguh sulit menilai orang seperti itu.
Namun jika kelebihannya masih bisa menyeimbangkan kekurangannya meski ia membangkang perintah, Romel tahu pasti ia menyimpan kemampuan yang luar biasa.
Tetapi itu tidak berarti ia ingin punya bawahan yang seperti itu.
Dalam situasi di mana ia hanya punya sedikit pasukan, komandan unit utama yang justru seperti itu?
Konyol sekali.
Romel melanjutkan membaca dengan wajah lelah, dan komentar samar dari laboratorium teknologi — bahwa meski proyeknya menghasilkan sesuatu, biayanya tidak sepadan — tidak membuatnya lebih tenang.
Setelah membaca, ia menyimpulkan dua hal:
Pertama, hampir semua evaluasi datang dari markas besar.
Pasukan yang bertugas langsung di bawah komandonya justru menilainya sebagai perwira lapangan yang luar biasa.
Namun, jarang sekali seseorang dengan karakter seperti itu dijadikan bawahan.
Penyihir yang terlalu berani menentang kebijakan atasan biasanya tidak pernah dipromosikan.
Bagaimanapun, mereka sulit dikendalikan.
Kedua, meskipun evaluasinya bertentangan, pencapaiannya cukup untuk dianggap sebagai prajurit luar biasa.
Sebagai individu penyihir, penilaiannya sangat tinggi — bahkan jumlah musuh yang ia kalahkan termasuk salah satu yang tertinggi di Front Rhine.
Selain itu, sebagai perwira lapangan, dia pernah memimpin serangan terobosan dan penyergapan tanpa sedikit pun rasa gentar. Seorang perwira bahkan menjulukinya sebagai "Anjing Gila." Rupanya, julukan yang sedang populer untuknya saat ini adalah "Perak Berkarat," dan dia bisa memahami alasannya.
Bunyi julukan itu memang jauh dari kesan elegan seperti nama aliasnya "Perak Putih," tetapi menurutnya, julukan itu cukup tepat. Ia juga mendengar bahwa pihak Republik memanggilnya "Iblis dari Rhine."
Bagaimanapun, sebagai penyihir tempur, dia tiada tandingannya. Sebagai perwira, dia juga sama sekali tidak bisa disebut tidak kompeten. Jadi, mungkin mereka mengirimnya sebagai bala bantuan sekaligus alasan untuk menyingkirkannya dari lingkungan mereka.
Jujur saja, dia merasa seolah-olah mereka sedang melemparkan masalah mereka kepadanya.
"...Jadi mereka menyuruhku mengajak seekor anjing gila jalan-jalan tanpa tali?"
keluhnya tanpa sengaja.
Mungkin itu hanya prasangka, tetapi itulah yang dirasakan Jenderal von Romel. Baginya, ini seperti diminta bertaruh dengan tangan yang buruk.
"Ini bukan lelucon. Aku tidak akan mengirim anak buahku menuju kematian begitu saja.
Orang-orang di Staf Umum hanya melihat jumlah korban sebagai angka statistik!"
Dengan demikian, ia hanya bisa menggerutu tentang kebiasaan Staf Umum yang selalu mendorong beban mereka ke pihak lapangan.
Tapi tetap saja, ia memutuskan untuk menunggu Mayor von Degurechaff datang. Itu caranya menunjukkan rasa hormat pada seorang perwira sihir yang sudah terbukti hasilnya—meskipun prasangkanya membuatnya bersiap-siap menghadapi yang terburuk saat kedatangannya diumumkan.
Ia mempersilakan perempuan itu masuk ke kantornya untuk melapor, dan setelah melewati formalitas tanpa emosi, kebiasaannya untuk "membaca orang" kembali muncul.
Namun, ia segera terkejut saat mengetahui bahwa Mayor von Degurechaff, seperti dirinya, juga lebih suka pertukaran yang formal dan lugas.
Lagipula, para penyihir dan perwira biasanya adalah orang-orang yang sangat angkuh. Bisa dibilang terlalu angkuh. Semua orang di militer kekaisaran tahu itu.
Jadi ia mengira si perwira sihir ini pasti tipe agresif dan penuh kekerasan, meski dari luar terlihat tenang.
Romel sendiri memperkirakan orang seperti itu akan marah atau tersinggung saat disambut dengan basa-basi birokratis.
Namun ternyata, Degurechaff membalas dengan ketenangan yang sama, sopan, tanpa sedikit pun terguncang. Pada titik itu, Romel mengakui bahwa perhitungannya salah.
"Seorang perwira sihir tanpa rasa malu... mungkin karena itu dia berani melawan perintah?" batinnya.
Ia mulai khawatir—benar, dia memang bermental baja, tetapi... juga tipe yang bertindak sesuka hati. Ia bisa merasakannya secara naluriah, dan hal itu membuatnya waswas.
Namun sebelum ia bisa berpikir lebih jauh, Degurechaff berkata:
"Terakhir, Jenderal, saya mohon izin agar batalion saya bisa bertindak secara independen."
Dengan wajah datar dan tenang, dia menambahkan, "Staf Umum sudah menyetujui hal ini," dan caranya yang begitu arogan justru terasa menyegarkan.
Romel terkenal sombong, tapi bahkan dia merasa permintaan itu terlalu berani.
Setiap perwira pasti paham, hanya dari satu kalimat itu saja, kenapa Kelompok Utara dan Barat tidak bisa mengendalikannya.
Membiarkan satu batalion penyihir lepas dari struktur komando sama saja dengan kehilangan satu divisi. Biasanya, tak ada komandan yang akan menerima rantai komando terpisah semacam itu.
"Itu sudah jelas! Dan Mayor von Degurechaff, setelah mengatakan sejauh itu, aku harap unitmu bisa menunjukkan hasil besar, bukan?"
Namun, tampaknya dia tidak menyukai reaksi Romel.
Diamnya jelas menunjukkan bahwa dia menolak keraguan terhadap kemampuannya. Sebagai respon terhadap pertanyaan atasan, itu benar-benar sikap yang kurang ajar. Tapi justru di sanalah Romel mulai paham kenapa atasan-atasannya menyingkirkannya.
"Baiklah, apa pendapatmu?" tanyanya dengan nada tegas.
Jika dia tidak menjawab sekarang, Romel akan mengabaikan keputusan Staf Umum dan langsung mengembalikannya.
"Jenderal von Romel, dengan segala hormat... Saya hanya tidak ingin menjawab pertanyaan yang tidak bisa dijawab."
"...Apa?"
Jawabannya membuat Romel terdiam. Pertanyaan yang tidak bisa dijawab? Apa maksudnya?
"Saya seorang prajurit, bukan ahli pidato. Saya tidak bisa menjelaskan kemampuan militer kami dengan kata-kata."
Nada suaranya tiba-tiba berubah. Selain penuh percaya diri, ucapannya juga sarat dengan sindiran tajam.
"Dan sekalipun saya bisa, saya ragu itu akan memuaskan Anda, Jenderal. Jadi, saya tidak bisa menjawabnya."
Kata-katanya bergema di telinga Romel. Ia mendengarnya jelas—diucapkan dengan bahasa resmi Kekaisaran, lafal sempurna. Namun tetap saja, untuk sesaat, dia tidak bisa memahami maksudnya.
Apa gadis ini benar-benar baru saja mengatakan sesuatu yang tak bisa kupahami?
Lalu, beberapa saat kemudian, dia akhirnya mengerti.
"...Dengan kata lain, maksudmu 'melihat adalah mempercayai'? Itu yang ingin kau katakan?"
"Saya dengan hormat menyerahkan interpretasi itu kepada Anda. Mohon percayai saya dan unit saya, Jenderal."
Hening.
Di matanya, ada ketulusan yang nyata. Jika itu hanya tipu daya, maka dia benar-benar gila.
Romel tertegun. Hanya satu kata terlintas di benaknya: Sindrom Garis Depan.
Mayor von Degurechaff menunjukkan banyak gejala itu.
Cara dia memperingatkan dengan halus: "Jangan ajukan pertanyaan bodoh."
Cara dia mengancam secara tak langsung: "Tidakkah kau mengerti betapa kuatnya aku?"
Namun, di balik itu semua, ada logika yang sangat tulus.
Dia tidak percaya pada apa pun—tidak pada kekuatan kepemimpinan militer, tidak pada strategi, bahkan mungkin tidak pada rekan-rekannya sendiri.
Meski begitu, dia justru sangat setia pada Tentara Kekaisaran.
Bisa dibilang dia adalah anjing penjaga bangsa yang setia tanpa tanding—dan juga eksentrik sejati.
Begitu rupanya... pikir Romel.
Ia akhirnya mengerti kenapa dia pernah dianggap membangkang.
Dia hanya memilih untuk menjadi patriot jika itu demi kebaikan bangsa.
Singkatnya, dia orang gila yang kompeten—dan yang lebih buruk, dia bahkan tak menyadari bahwa dirinya sudah sedemikian rusak.
"...Mayor, aku tidak punya cukup alasan untuk mempercayaimu."
Dia gila. Tapi juga sangat cakap. Dan lebih tulus daripada siapa pun yang pernah dikenalnya.
Bahkan Romel tidak bisa menilainya dengan pasti.
Namun dia tahu satu hal: wanita itu tidak akan mudah dikendalikan.
"Tidak ada gunanya aku menyebut prestasiku satu per satu. Aku siap menerima perintahmu, Jenderal."
Jawaban yang sederhana—tapi tepat. Romel bisa menghargai sikap seperti itu.
Dia tidak sombong atas kemampuannya, tapi juga tidak diperbudak oleh kekuatannya sendiri.
Bicara seperlunya, seolah tahu mana yang bisa dilakukan dan mana yang mustahil.
Kalau bukan karena kemampuan yang luar biasa, dia tak mungkin bisa "bermain api di atas gudang amunisi" seperti sekarang.
Dengan kata lain, kegilaannya benar-benar didukung kemampuan yang luar biasa.
Hanya ada satu kesimpulan: Dia gila.
"Aku ingin melihat apa yang bisa kau lakukan. Jangan salah paham—aku ingin melihatmu sebagai seorang ahli strategi."
Aku akan menyebutnya pahlawan, orang gila, dan rekan sesama prajurit.
Jadi dia harus membuktikan kemampuannya.
Apakah dia hanya binatang buas yang dikuasai kegilaan, atau makhluk cerdas dengan naluri terdistorsi?
Romel tiba-tiba sadar bahwa dia ingin tahu jawabannya.
"Aku akan menugaskanmu pada misi udara. Kau akan memimpin kelompok kedua.
Sebagai Kampfgruppe Tujuh, kau akan diberi wewenang setara dengan kelompok lainnya, meski hanya membawa satu batalion. Jangan kecewakan aku."
Baiklah, akan kucoba dia dalam misi semi-independen. Aku sudah bisa menebak hasilnya… tapi semoga dia berhasil.
"Dipahami. Kami akan memenuhi harapan Anda."
Lihatlah itu—
senyuman jahatnya.
Dia tampak senang sekali. Begitu bahagianya karena diberi kesempatan untuk berperang.
Tanpa ragu lagi, dia akan menjadi orang paling mengerikan yang pernah kukenal.
Dan sekaligus, mungkin juga salah satu rekan paling bisa kuandalkan di medan perang.