Gua itu memberikan kelegaan yang sangat dibutuhkan dari angin gurun yang dingin. Olivia, dengan efisiensi yang sudah menjadi ciri khasnya, berhasil membuat api unggun kecil dari kayu kering yang ia kumpulkan, menciptakan sebuah pulau cahaya dan kehangatan di tengah kegelapan.
Gene duduk bersandar di dinding gua, dengan gelisah membersihkan debu dari jaketnya. Energi dari pertarungan tadi sepertinya masih mengalir dalam dirinya. Rian, sebaliknya, merasakan kelelahan yang mendalam. Meskipun tubuhnya tidak memiliki luka serius, otot-ototnya terasa pegal—sebuah pengingat bahwa meskipun ia tahan banting, ia belum terbiasa dengan kerasnya pertempuran.
"Kau bertarung seolah kau membenci mereka," kata Rian pelan, memecah keheningan. Pertanyaan itu ditujukan pada Gene.
Gene mendengus, matanya menatap tajam ke dalam api. "Aku memang membenci mereka."
"Mereka bukan hanya monster baginya," sela Olivia lembut, menyadari Rian bertanya karena rasa ingin tahu, bukan untuk menghakimi. "Kekuatan Tangan Tuhan tidak datang tanpa harga."
Gene terdiam sejenak, rahangnya mengeras. "Para iblis mengambil sesuatu dariku," katanya, suaranya rendah dan penuh dengan kepahitan yang tidak ia tunjukkan sebelumnya. "Lengan ini, dan gadis yang seharusnya kulindungi. Aku hanya mengambilnya kembali dari mereka, dengan bunga."
Rian menelan ludah. Di balik semua kesombongan dan gaya bertarung yang flamboyan, ada luka yang dalam. Gene bukan hanya seorang pahlawan, ia adalah seorang penyintas yang dipenuhi amarah.
"Dan kau, Olivia?" tanya Rian, beralih padanya. "Bagaimana kau bisa terlibat dalam semua ini?"
"Klan-ku," jawab Olivia sambil menumpuk beberapa kayu lagi. "Selama beberapa generasi, kami adalah Penjaga Catatan. Kami mempelajari para iblis, kelemahan mereka, dan nubuat tentang Tangan Tuhan. Tugas kami adalah menjadi pemandu dan penasihat bagi siapapun yang mewarisi kekuatan itu, untuk memastikan segel Angra tidak pernah hancur." Ia melirik Gene. "Meskipun sang pewaris terkadang lebih suka meninju dulu dan bertanya kemudian."
"Hei, itu berhasil, kan?" balas Gene, mencoba kembali ke persona angkuhnya, meskipun suasana hatinya yang sebenarnya sudah terungkap. Tak lama kemudian, ia merebahkan diri lebih jauh, memejamkan mata. "Bangunkan aku jika ada kadal jelek lain yang mau dihajar."
Keheningan kembali menyelimuti mereka, kali ini lebih nyaman. Saat Gene sudah tampak tertidur, Rian memperhatikan sesuatu yang baru ia sadari: ada goresan panjang di lengan Olivia, mungkin dari cakar Stalker yang berhasil menyerempetnya.
"Kau terluka," kata Rian pelan.
Olivia melirik lengannya. "Hanya goresan. Aku pernah mengalami yang lebih parah."
"Tetap saja," desak Rian. Ia mengambil botol air minum dan merobek secarik kain bersih dari ujung bajunya—baju yang sama yang ia kenakan saat tiba di dunia ini. Ia beringsut mendekat. "Setidaknya biarkan aku membersihkannya."
Olivia tampak ragu sejenak, tidak terbiasa menerima bantuan. Tapi melihat kesungguhan di mata Rian, ia mengalah dan mengulurkan lengannya.
Dengan hati-hati, Rian membersihkan luka itu. Jari-jarinya, yang beberapa jam lalu ia gunakan untuk melempar monster, kini bergerak dengan lembut di kulit Olivia. Kontras itu terasa aneh.
"Di duniamu," bisik Olivia, "apakah kau sering melakukan ini? Bertarung?"
Rian tersenyum sedih. "Tidak. Hal paling berbahaya yang kulakukan mungkin adalah menyeberang jalan saat lampu merah." Ia menatap ke dalam api. "Langit di sana tidak pernah sejelas ini. Dan udaranya... tidak pernah setenang ini. Terlalu banyak gedung, terlalu banyak orang."
Olivia mendengarkan dalam diam, melihat sisi lain dari Rian. Bukan si 'tameng manusia' yang aneh, tapi seorang pria yang merindukan rumah. Ada kerentanan di sana yang entah kenapa membuatnya merasa aman.
Saat Rian selesai, tangan mereka masih berdekatan. Sebuah keheningan yang nyaman terjalin di antara mereka di dekat api unggun. Rian menyadari bahwa melindungi wanita ini, yang begitu kuat namun juga rapuh, perlahan menjadi motivasi yang lebih kuat daripada sekadar bertahan hidup.
Tiba-tiba, saat tatapannya kembali ke api, nyala api itu berkedip dengan aneh. Warna oranye berubah menjadi biru dan ungu, dan Rian merasa pusing. Ruangan gua di sekitarnya menghilang, digantikan oleh sebuah gambaran singkat yang kabur.
Ia melihat sebuah ruangan mewah yang norak, dipenuhi beludru merah dan emas. Di tengah ruangan, seorang pria yang sangat gemuk dengan setelan jas berwarna hijau limau sedang tertawa terbahak-bahak. Pria itu menyentikkan jarinya, dan sesosok iblis kecil yang gemetar di hadapannya meledak menjadi debu. Visi itu hanya berlangsung dua detik, tapi rasa arogansi, kekejaman, dan kekuatan yang terpancar darinya terasa nyata dan menyesakkan.
"Hah!" Rian tersentak mundur dari api, napasnya terengah-engah.
"Rian? Ada apa?" tanya Olivia, langsung waspada.
"Aku... aku melihat sesuatu," gagap Rian, memegangi kepalanya. "Di dalam api. Seorang pria gemuk dengan setelan hijau... di sebuah tempat yang aneh... dia bukan manusia."
Mata Olivia melebar karena ngeri. Bahkan Gene yang pura-pura tidur kini bangkit duduk, ekspresinya serius.
"Elvis," bisik Olivia, nama itu terdengar seperti kutukan.
Gene mengepalkan Tangan Tuhannya, yang mulai bersinar samar. "Salah satu dari Four Devas."
Momen damai mereka telah hancur. Istirahat sudah berakhir. Kekuatan Rian baru saja memberi mereka petunjuk pertama mereka, sebuah kilasan masa depan atau mungkin target mereka berikutnya. Perburuan sesungguhnya akan segera dimulai.