WebNovels

Chapter 10 - Bab 10: Gurun Tidak Pernah Kosong

Perjalanan di bawah matahari gurun adalah neraka yang berbeda dari pertarungan di malam hari. Panas yang menyengat memantul dari pasir, menciptakan fatamorgana yang menari-nari di kejauhan. Gene, dengan stamina supernya, tampak tidak terpengaruh, berjalan dengan langkah yang sama angkuhnya. Olivia, yang lahir dan besar di lingkungan ini, bergerak dengan efisiensi yang hemat energi, wajahnya terlindung oleh syal.

Rian, di sisi lain, merasakan penderitaan yang sesungguhnya. Meskipun daya tahannya yang luar biasa melindunginya dari sengatan matahari dan dehidrasi parah, rasa haus dan lelah yang menusuk tetap ada. Itu adalah pengingat konstan akan kemanusiaannya yang rapuh di balik kekuatan pinjamannya.

"Kau harus mengatur napasmu," kata Olivia pelan, berjalan di sampingnya. Ia menyerahkan kantung airnya. "Minum sedikit, jangan ditenggak."

Rian menerima dengan penuh terima kasih. "Bagaimana kau bisa tahu semua ini?"

"Saat kau tidak punya Tangan Tuhan untuk menyelesaikan semua masalahmu," jawab Olivia, melirik ke arah Gene di depan, "kau belajar untuk menggunakan akalmu agar tetap hidup. Lihat tanaman itu?" Ia menunjuk ke semak kerdil yang tampak layu. "Jangan pernah menyentuhnya. Getahnya bisa membuat kulitmu melepuh selama berhari-hari."

Setiap nasihat praktis yang Olivia berikan terasa seperti sebuah jangkar, sebuah pelajaran bertahan hidup yang lebih nyata daripada kekuatan supernya. Itu adalah cara Olivia menunjukkan kepedulian, bukan dengan kata-kata manis, tapi dengan pengetahuan yang bisa menyelamatkan nyawa.

Gene, yang bosan dengan kecepatan mereka yang lambat, berhenti di dekat sebuah formasi batu besar. "Hei, anak aneh!" panggilnya ke Rian. "Daripada berjalan seperti kura-kura sekarat, coba gunakan kekuatan anehmu itu. Pukul batu ini. Siapa tahu batunya meledak jadi permen."

Rian menghela napas, tapi ia juga penasaran. Ia mendekati batu seukuran mobil kecil itu. Ia menarik napas, mencoba mengingat perasaan saat ia mendorong si botak atau melempar Sand Stalker. Ia mengepalkan tangannya dan memukul batu itu.

BERDEBAR!

Itu adalah suara yang tumpul dan mengecewakan. Batu itu tidak bergeming. Tangannya, untungnya, juga tidak terasa sakit.

Gene tertawa terbahak-bahak. "Lihat? Hanya tameng manusia. Berguna, tapi membosankan."

Rasa frustrasi dan sedikit malu menyengat Rian. Kenapa kekuatannya begitu tidak konsisten? Ia memukul batu itu lagi, kali ini menuangkan semua rasa kesal dan bingungnya ke dalam pukulan itu.

KRAKK!

Kali ini suaranya berbeda. Batu besar itu tidak hancur, tetapi sebuah retakan besar terbentuk di permukaannya, menjalar seperti kilat yang membeku. Rian menatap tangannya dengan kaget. Bukan hanya kekuatan, tapi niat... emosinya sepertinya memengaruhi output kekuatannya.

Bahkan Gene berhenti tertawa sejenak, menatap retakan itu dengan minat. "Hmm. Jadi ada sedikit gigitan di sana."

Beberapa jam kemudian, saat matahari mulai condong ke barat, mereka melihatnya. Sebuah keajaiban di cakrawala. Sebuah danau biru jernih yang dikelilingi oleh pohon-pohon palem yang rimbun. Sebuah oasis.

"Udara!" seru Gene, matanya berbinar. "Akhirnya!"

Ia hendak berlari ke arahnya, tetapi lengan Olivia yang terulur menahannya. "Tunggu," katanya, matanya menyipit. "Menurut petaku, tidak seharusnya ada oasis di bagian gurun ini. Ini jebakan."

"Kau terlalu banyak berpikir, Olivia. Aku haus," balas Gene tidak sabar.

Tapi Rian merasakan sesuatu yang salah. Sama seperti saat ia melihat ke dalam api, ada 'gangguan' dalam persepsinya. "Dia benar, Gene," kata Rian. "Dengarkan. Tidak ada suara. Tidak ada angin di pohon-pohon itu, tidak ada suara riak air. Tempat itu... mati."

Ia memejamkan mata, berkonsentrasi pada indra anehnya. Gambaran oasis itu mulai berkedip di benaknya, seperti sinyal TV yang buruk. Di baliknya, ia bisa merasakan kehadiran yang licik dan menunggu.

"Itu ilusi," kata Rian dengan pasti.

Seolah kata-katanya adalah pemicu, pemandangan oasis itu bergetar hebat dan kemudian hancur seperti kaca. Pohon-pohon palem dan danau itu lenyap, digantikan oleh hamparan pasir kosong. Dan di atas pasir itu, beberapa makhluk yang tadinya tidak terlihat mulai menampakkan diri. Mereka berubah warna, dari transparan menjadi wujud fisik: iblis-iblis reptil dengan kulit seperti bunglon dan mata yang berputar ke segala arah.

"Antek-antek Elvis," desis Olivia, mengangkat pistolnya. "Sudah kuduga jalannya tidak akan mudah."

Para iblis bunglon itu menyerang, muncul dan menghilang dari pandangan saat mereka berlari. Gene menggeram frustrasi. "Bagaimana aku bisa memukul sesuatu yang tidak bisa kulihat?!"

Di sinilah peran Rian berubah. Ia tidak lagi hanya menunggu untuk menahan serangan. Ia menjadi mata bagi tim.

"Gene, di kananmu! Tiga meter, dia di dekat batu!" teriaknya. Gene, percaya pada Rian, melancarkan tendangan menyapu ke arah yang ditunjuk dan mengenai sesuatu yang tak terlihat, menghasilkan jeritan kesakitan.

"Olivia, di atas tebing! Dia mau melompat!"

BLAM! Tembakan Olivia menggema, menjatuhkan iblis yang sedang bersiap menyergap.

Rian berdiri di tengah, tidak fokus pada satu musuh, tetapi pada keseluruhan medan perang. Pikirannya memproses 'gangguan' di sekitarnya, memetakan posisi musuh yang tak terlihat. Ia menjadi pusat komando yang hidup, mengarahkan badai (Gene) dan sang penembak jitu (Olivia). Ini bukan tentang kekuatan mentah; ini tentang persepsi.

Pertarungan itu sulit dan membuat frustrasi, tetapi mereka berhasil. Setelah iblis terakhir dihancurkan oleh pukulan Tangan Tuhan yang dipandu oleh arahan Rian, ketiganya berdiri terengah-engah di tengah hamparan pasir yang kini kembali sunyi.

Gene menatap Rian, kali ini tanpa cemoohan. "Oke," akunya dengan enggan. "Bola kristal rusakmu itu ternyata berguna juga."

Saat debu pertempuran mereda, mereka melihatnya di kejauhan. Kali ini nyata. Sebuah bangunan besar yang berkilauan di bawah matahari terbenam, memancarkan cahaya dan suara yang norak bahkan dari jarak berkilo-kilometer.

Kasino El Dorado.

Mereka telah tiba. Dan mereka tahu, berkat penyambutan barusan, bahwa sang pemilik rumah sudah tahu mereka akan datang.

More Chapters