WebNovels

Chapter 11 - Bab 11: Selamat Datang di Rumah Judi Iblis

Kasino El Dorado adalah sebuah penghinaan terhadap keindahan gurun yang sunyi. Dari dekat, tempat itu lebih norak dari yang Rian bayangkan. Lampu-lampu neon berkedip dalam pola yang memusingkan, membentuk gambar dadu dan kartu remi raksasa. Musik yang keras dan ceria terdengar dari dalam, sebuah kontras yang mengerikan dengan keheningan gurun di belakang mereka. Dua patung emas raksasa berbentuk Elvis sendiri—dalam pose yang sangat tidak menarik—mengapit pintu masuk utama.

"Tempat ini benar-benar norak," komentar Gene, menyuarakan pikiran Rian. "Aku hampir tidak mau menghancurkannya."

"Pintu depan dijaga ketat," kata Olivia, mengamati dari balik sebuah bukit pasir. "Dua penjaga besar di pintu, dan aku yakin ada lebih banyak lagi di dalam. Kita tidak bisa masuk begitu saja."

"Jadi kita menyelinap?" tanya Rian.

"Tepat," jawab Olivia. "Menurut catatanku, kasino sebesar ini butuh banyak pasokan. Makanan, minuman, hadiah murahan... Pasti ada pintu masuk layanan di belakang."

Mereka mengitari bangunan itu, tetap berada di bayang-bayang. Benar saja, di bagian belakang terdapat sebuah dok pemuatan yang kotor, beberapa tempat sampah besar, dan sebuah pintu baja tanpa hiasan. Hanya ada satu penjaga di sana—seorang pria kekar dengan rompi kulit yang tampak bosan.

"Aku urus ini," kata Gene dengan seringai, mulai meregangkan Tangan Tuhannya.

"Tidak," potong Rian dengan cepat. "Jangan ada pukulan, jangan ada cahaya keemasan. Kita butuh dia pingsan, bukan terbang menabrak dinding dan memicu alarm." Ia menatap Gene. "Biarkan aku yang coba."

Gene dan Olivia saling berpandangan, lalu mengangguk. Rian menarik napas dalam-dalam. Ia berjalan keluar dari persembunyian, bertingkah seperti turis mabuk yang tersesat.

"Hei ... kawan," panggil Rian, suaranya dibuat serak. "Saya ... aku cari toilet. Apa... apa ini toiletnya?"

Penjaga itu menatap Rian dengan jijik. "Ini area staf, bodoh. Enyahlah sebelum kupatahkan kakimu."

"Ayolah ... aku benar-benar kebelet," rengek Rian sambil terhuyung-huyung mendekat.

Saat penjaga itu melangkah maju untuk mendorongnya, Rian bergerak. Ia tidak memukul. Ia hanya menabrakkan bahunya ke dada penjaga itu—sebuah gerakan yang tampak seperti kecelakaan mabuk—dan pada saat yang sama, ia memukul bagian belakang leher penjaga itu dengan telapak tangannya. Pukulannya dikendalikan, hanya menggunakan sedikit dari kekuatannya.

Penjaga itu mendengus kaget, matanya membelalak, lalu ia merosot ke tanah, pingsan. Tidak ada suara keras, tidak ada keributan.

Gene menatap Rian dengan ekspresi terkejut yang langka. "Tidak buruk, anak aneh. Tidak buruk sama sekali."

Olivia dengan cepat membuka pintu dan mereka menyelinap masuk.

Bagian dalam kasino sama kacaunya dengan bagian luar. Mereka berada di koridor layanan yang remang-remang, berbau minyak goreng dan disinfektan murah. Suara denting mesin slot dan tawa orang-orang terdengar dari balik dinding.

"Oke, kita di dalam," bisik Olivia. "Elvis biasanya berada di griya tawangnya, lantai paling atas. Kita harus mencari lift layanan atau tangga."

Mereka mulai bergerak menyusuri koridor, indra Rian menjadi sistem peringatan dini mereka. Pendengarannya yang tajam bisa menangkap percakapan di balik pintu tertutup, membantunya membedakan antara staf manusia biasa dan mereka yang suaranya memiliki desisan aneh khas iblis.

"Di depan ada dua orang, kurasa mereka iblis. Belok kiri di persimpangan berikutnya," bisik Rian.

Mereka bergerak seperti hantu melewati jantung operasional kasino. Saat mereka melewati dapur, Rian melihat pemandangan yang membuatnya mual. Koki utama, seorang pria besar dengan empat lengan, sedang memotong sesuatu yang jelas bukan daging sapi, sementara para pelayan dengan mata reptil membawa nampan berisi minuman yang mengeluarkan asap berwarna aneh.

Akhirnya, mereka menemukan sebuah lift barang di ujung koridor. Saat mereka mendekat, pintu lift terbuka. Seorang pelayan wanita dengan senyum terlalu lebar dan mata yang sepenuhnya hitam melangkah keluar.

Wanita itu membeku saat melihat mereka. Senyumnya lenyap, digantikan oleh seringai keji. Mulutnya terbuka lebih lebar dari yang seharusnya, memperlihatkan deretan gigi seperti jarum.

"Penyusup!" pekiknya dengan suara melengking yang tidak manusiawi.

Sebelum ia bisa membuat keributan lebih lanjut, Olivia sudah bergerak. Ia tidak menggunakan pistolnya—terlalu berisik. Sebaliknya, ia melesat maju dan menghantamkan gagang pisaunya ke pelipis iblis itu. Makhluk itu jatuh tanpa suara.

"Kita harus cepat," desis Olivia, menarik tubuh itu ke dalam bayangan. "Alarmnya sudah berbunyi."

Mereka masuk ke dalam lift. Gene menekan tombol dengan simbol mahkota—lantai paling atas. Lift itu mulai naik dengan derit yang menegangkan.

"Jadi, apa rencananya saat kita sampai di atas?" tanya Rian, jantungnya berdebar kencang.

Gene menyeringai, Tangan Tuhannya mulai bersinar dengan cahaya keemasan yang kuat di dalam ruang lift yang sempit.

"Rencananya?" katanya. "Aku akan menendang pintu, menghajar si gendut itu, dan kita pergi dari sini sebelum makan malam."

Rian menatap Olivia, yang hanya bisa menghela napas pasrah. Rencana yang penuh kehalusan dan taktik sudah berakhir. Babak berikutnya akan penuh dengan kekacauan. Pintu lift berdentang, menandakan mereka telah tiba.

More Chapters