WebNovels

Chapter 9 - Bab 9: Peta, Rencana, dan Pertanyaan Sulit

Keheningan yang ditinggalkan oleh wahyu Olivia terasa lebih berat daripada malam gurun itu sendiri. Elvis. Salah satu dari Empat Deva. Nama itu mengubah segalanya. Ancaman mereka bukan lagi sekelompok monster acak; sekarang ancaman itu memiliki wajah—wajah gemuk dengan setelan norak dan kekuasaan untuk memusnahkan iblis lain hanya dengan sentikan jari.

Gene adalah yang pertama bereaksi, sesuai dengan karakternya. Ia melompat berdiri, Tangan Tuhannya bersinar lebih terang karena adrenalin. "Bagus. Akhirnya ada target yang pantas. Di mana dia? Aku akan menghajarnya sekarang juga."

"Tunggu, Gene!" Olivia memotong dengan tajam, suaranya menghentikan langkah Gene. Ia membuka tasnya dan mengeluarkan sebuah gulungan perkamen yang sudah usang. "Kita tidak bisa langsung menyerbu salah satu dari Four Devas. Itu namanya bunuh diri, bahkan untukmu."

Ia membentangkan perkamen itu di atas tanah. Itu adalah sebuah peta wilayah yang digambar tangan, penuh dengan catatan dan simbol-simbol aneh. "Visi Rian adalah petunjuk, bukan undangan untuk mati."

"Aku tidak tahu di mana tempat itu," kata Rian, suaranya masih sedikit goyah. "Hanya ... kilasan. Ruangan merah, banyak emas... suasananya terasa... lengket dan palsu."

Olivia mengetukkan jarinya pada sebuah titik di peta. "Mewah, norak, dan palsu," gumamnya. "Hanya ada satu tempat di wilayah ini yang cocok dengan deskripsi itu." Ia menatap kedua rekannya. "Kasino El Dorado. Itu adalah markas kekuasaan Elvis."

Sebuah kasino. Di tengah-tengah gurun pasca-apokaliptik. Entah kenapa, Rian tidak terkejut dengan absurditas itu.

Gene menyeringai lebar. "Sebuah kasino? Sempurna. Aku suka sedikit judi."

"Ini bukan tempat untuk main-main, Gene," Olivia memperingatkan. "Menurut catatan klan-ku, tempat itu adalah benteng. Dindingnya dijaga oleh-paling loyalnya, dan di dalamnya penuh dengan iblis yang menyamar sebagai staf dan tamu. Elvis sendiri jarang menunjukkan kekuatan penuhnya; dia lebih suka menggunakan tipu daya dan antek-anteknya."

Rencana gila Gene untuk langsung menyerbu tampak semakin buruk. Tatapannya kemudian beralih ke Rian, kali ini dengan intensitas yang berbeda. Bukan lagi sekadar melihat tameng manusia, tapi sebuah alat yang berharga.

"Kau," kata Gene blak-blakan. "Bisa kau lakukan itu lagi? Melihat ke dalam api dan tunjukkan padaku di mana iblis-iblis lain bersembunyi?"

Tekanan dari pertanyaan itu membuat Rian merasa tidak nyaman. "Saya ... aku tidak tahu bagaimana caranya," jawabnya jujur, menatap tangannya sendiri. "Itu terjadi begitu saja. Aku tidak bisa mengendalikannya."

Gene mendecakkan lidahnya karena kesal. "Hebat. Jadi kita punya bola kristal yang rusak."

"Ini kekuatan baru baginya, Gene. Beri dia waktu," bela Olivia, nadanya lebih lembut saat berbicara pada Rian. "Untuk saat ini, kita punya petunjuk. Kita tahu di mana Elvis berada. Itu sudah lebih dari yang kita miliki pagi ini."

Kehadiran Olivia sebagai penengah meredakan ketegangan. Gene, meskipun masih tidak sabar, tampaknya menerima logika itu. Mereka tidak akan pergi malam ini. Mereka butuh istirahat, dan yang lebih penting, mereka butuh rencana yang lebih baik daripada sekadar "menendang pintu depan".

Saat Gene kembali berjaga di mulut gua dan Olivia sibuk membuat catatan di petanya, Rian mengambil waktu untuk merenung. Ia menatap tangannya—tangan yang sama yang dulu hanya ia gunakan untuk mengetik di keyboard dan memegang stik game. Sekarang, tangan ini bisa menahan pisau daging dan mematahkan tulang. Pikirannya, yang dulu dipenuhi oleh strategi game, kini bisa melihat visi tentang iblis kuat.

Ia bukan lagi Rian yang sama yang tertidur di depan laptopnya. Ketakutan itu masih ada, bersarang di perutnya seperti bongkahan es. Tapi di samping rasa takut itu, ada sesuatu yang lain yang mulai tumbuh: sebuah tujuan. Ia melirik Olivia yang sedang berkonsentrasi di bawah cahaya api, lalu ke siluet Gene yang berjaga di mulut gua. Melindungi mereka, bertarung bersama mereka... entah kenapa terasa benar. Terasa lebih nyata daripada seluruh hidupnya sebelumnya.

Fajar mulai menyingsing, mewarnai langit timur dengan sapuan warna kelabu dan merah muda. Api unggun mereka telah menjadi tumpukan bara. Kelelahan telah berganti menjadi antisipasi yang tegang.

Olivia melipat petanya dan memasukkannya kembali ke dalam tas. Gene meregangkan tubuhnya, tulang-tulangnya berderak. Tangan Tuhannya bersinar lembut di cahaya pagi.

Rian berdiri. Ia mungkin masih merasa seperti penipu dengan kekuatan pinjaman, tapi ia tidak akan lagi hanya menjadi penumpang dalam perjalanan ini. Ia adalah bagian dari tim.

"Baiklah," kata Gene dengan seringai khasnya, memecah keheningan fajar. "Ayo kita pergi mengganggu pesta si gendut itu."

Mereka bertiga melangkah keluar dari gua, meninggalkan keamanan sementara mereka di belakang. Di hadapan mereka terbentang gurun luas, dan di suatu tempat di baliknya, sebuah kasino penuh iblis menunggu mereka. Perjalanan menuju El Dorado telah dimulai.

More Chapters