Tepat saat Belial hendak menyentuhkan tangannya pada Plasma Spark, saat Zagi hendak mendaratkan pukulan fatal pada Noa, dan saat Arishem hendak melepaskan genosida...
Semuanya berhenti.
Bukan jeda waktu. Ini adalah penghentian total eksistensi. Sinar energi membeku di udara. Pikiran berhenti di tengah kalimat. Gerakan lenyap. Seluruh perang kolosal itu menjadi diorama bisu yang mengerikan, sebuah foto tiga dimensi dari sebuah tragedi.
Satu-satunya yang masih bisa bergerak, berpikir, dan merasakan adalah The Void Sovereign. Ia terlempar keluar dari Nexus, berdiri di tengah medan perang yang membeku. Ini bukan perbuatannya. Kekuatan ini... lebih tua, lebih fundamental.
Di hadapannya, dari ketiadaan, empat sosok muncul. Mereka bukan fisik, melainkan jendela menuju konsep tak terbatas.
Sosok pertama adalah siluet manusia raksasa yang di dalamnya berputar galaksi dan bintang yang tak terhitung jumlahnya. Eternity, perwujudan ruang dan waktu.
Di sisinya, sosok wanita yang serupa, memancarkan potensi dan kemungkinan tak terbatas dari ruang. Tak terbatas.
Sosok ketiga adalah yang paling dikenal oleh semua makhluk hidup: jubah hitam, tulang belulang, dan tatapan hampa yang menjanjikan akhir dari segalanya. Kematian.
Dan yang terakhir, yang paling menakutkan, adalah kekosongan itu sendiri. Sebuah lubang dalam realitas yang menelan cahaya dan harapan, bayangan di mana tidak ada yang bisa ada. Terlupakan.
Empat pilar kosmik Marvel telah datang. Bukan untuk berperang. Tapi untuk mengadakan pertemuan.