Siang itu, arena Istana Timur bagaikan mulut raksasa yang menahan lapar terlalu lama.
Obor-obor yang biasanya gagah kini tampak gelisah, nyalanya bergetar seperti sedang menyembunyikan ketakutan.
Bayangan panjang menari-nari di lantai batu merah, memelintir bentuk mereka menjadi makhluk-makhluk asing yang seakan mengintip dari balik terang.
Di tengah lingkaran itu, tubuh kecil Raiman bersimbah debu dan darah. Ia berlutut dengan lengan gemetar, napas terpecah menjadi serpihan-serpihan sakit yang menggigit dadanya. Setiap helaan nafas seperti menyedot pisau tajam ke paru-paru.
Di hadapannya, berdiri Jagatwara. prajurit terkuat Kerajaan Timur, legenda hidup yang menaklukkan tiga kerajaan hanya dengan kekuatan lengannya sendiri.
Tubuhnya dua kali tinggi manusia biasa,
otot-ototnya sekeras batu yang dituangkan api. Kulit kelamnya tampak seperti arang yang selalu panas, dan dari setiap geraknya, angin berdesing ketakutan.
Jagatwara mengangkat gada raksasanya yang dipenuhi duri-duri besi berwarna hitam pekat.
“Wis rampung, bocah…” suaranya dalam, pecah, seperti suara gunung retak.
Raiman mencoba berdiri. Lututnya goyah. Air liur bercampur darah menetes dari bibirnya. Ia ingin bangkit—bukan demi harga diri, melainkan demi sesuatu yang jauh lebih dalam,
yaitu rasa tak terima terhadap dunia yang merenggut semua darinya.
Namun tubuhnya tidak mendengarkan.
Dan di lantai, bayangannya tampak menunduk, seakan kehilangan harapan.
Penonton berteriak-teriak seperti kawanan iblis yang menagih korban.
“Hajar!” “Remukna balunge!” “Bocah iki mung sampah!”
Jagatwara maju selangkah, lalu menghantamkan gada.
DEEEEGHHH!!!
Tubuh Raiman terpental lima meter.
Ia menghantam tanah keras, tulangnya berbunyi seperti bambu patah. Dan cairan merah muncrat dari mulutnya.
Penonton bersorak.
Di singgasana tinggi, Raja Timur berdiri dengan dagu terangkat dan senyum kecil yang licin.
“Cukup. Bocah iki ora pantes mati cepet. Simpen. Dadi sandera.”
Raiman tidak mendengar apa pun lagi.
Dunia memudar menjadi merah gelap.
Sesaat sebelum ia pingsan, ia melihat bayangannya bergerak… namun tanpa bentuk.
Seperti makhluk lain yang sedang menunggu pintu dibuka.
Dan malam itu, seluruh dunia percaya satu hal:
Raiman sudah tamat.
Kerajaan Timur selalu dingin pada malam hari, tetapi malam itu… anginnya membeku.
Obor di lorong tahanan mulai redup,
lalu berkedip-kedip seperti sedang dicekik sesuatu yang tidak terlihat.
Di ruang kecil tempat Raiman dilemparkan tanpa belas kasih, tubuh bocah itu tergeletak tak bergerak. Nafasnya mengerang lirih...
pelan sekali, seolah nyawanya hanya seutas benang yang ditarik dari dua arah.
Cekrek. Cekrek.
Bayangannya di lantai tiba-tiba memanjang.
Bergerak.
Berdiri.
Seakan terlepas dari tubuh Raiman.
Dari dalam bayangan itu muncul suara…berat, dan basah seperti tanah berlumpur yang dibelah paksa:
“Waktumu… wis teka.”
Dada Raiman berdenyut keras. Satu denyutan. Dua. Tiga. Denyutan itu tumbuh menjadi dentuman. Sesuatu menghantam dari dalam kulitnya sendiri.
Lalu muncul cahaya berwarna emas menyala
lalu bercampur dengan bayangan hitamnya ,
Terlalu terang dan terlalu gelap dalam waktu bersamaan.
“A… apa yang terjadi…?” gumam Raiman, suaranya terpotong-potong.
Aji itu bangun.
Aji Tumbal Kencana.
Bukan warisan darah.
Bukan pusaka leluhur.
Itu adalah kekuatan terkutuk yang Raiman dapatkan dari Perjanjian Iblis Gunung Kembang perjanjian yang memintanya menyerahkan masa depan keturunannya sebagai tumbal, demi kekuatan yang bahkan para dewa enggan menyentuhnya.
Aji itu hanya bangun dalam satu keadaan:
saat pemiliknya didorong ke ambang kematian dan duka yang tak bisa ditampung tubuh manusia.
Tubuh Raiman melengkung. Tulang belakangnya berderak.
Clesh! Clesh!
Seperti sesuatu sedang merobek dirinya dari dalam.
Bayangan itu menyatu dengan cahaya. Kulitnya menghitam . Matanya berubah menjadi dua cincin kuning pekat ,
mata kuning yang tampak bukan dari dunia manusia.
Saat ia membuka mata…
Seluruh istana bergetar seperti makhluk hidup yang ketakutan.
----_-
Dua prajurit yang berjaga di luar pintu tahanan mendengar dentuman.
“Bocah iku tangi..?”
“Ah, paling ngelantur.”
Pintu kayu berderit.
Raiman keluar.
Namun yang keluar itu tidak tampak seperti seorang bocah.
Itu lebih mirip sesuatu yang berdiri memakai tubuh bocah.
Prajurit pertama membuka mulut untuk berteriak, tapi bayangan Raiman bergerak lebih cepat daripada suara.
Cekrekkk!!
Leher prajurit itu terpotong rapi. cairan merah memancar seperti airengalir.
Prajurit kedua merapal mantra gegabah.
Namun sebelum huruf terakhir keluar dari bibirnya, tangan Raiman sudah menyentuh dadanya.
Sekali sentuh.
GRUAAKK!!
Tubuh prajurit itu terbelah menjadi dua bagian tidak simetris.
Raiman tak berkedip.
Mata kuningnya tak menampakkan amarah. Yang tersisa hanyalah kehampaan dingin.
Ia melangkah ke lorong panjang.
Bayangannya mengikuti, merayap seperti makhluk kelaparan yang baru diberi kebebasan.
_-_-_-&+
Ketika alarm dipukul, semuanya sudah terlambat.
Belasan prajurit menerjang dari gerbang dalam.
“Pagebluk..!”
“. ana juru Pati ..! anak iblis .!”
“pateni sak durunge ono korban!”
Namun Raiman sudah berada di tengah-tengah mereka.
Pedang menebas tubuhnya,
namun besi itu patah sebelum menyentuh kulitnya.
Tombak menusuk
namun tombak itu seperti menembus air.
Segala yang disentuh bayangannya menghitam. Kulit prajurit layu, daging rapuh, tulang retak tanpa suara.
Dua puluh prajurit tumbang.
Lalu tiga puluh.
Lima puluh.
Serastus.
Setengah pasukan penjaga istana yang bertugas malam itu roboh dalam waktu yang hanya sekejap mata.
Lorong-lorong dipenuhi jeritan.
Darah mengalir mengikuti alur batu, mengalir seperti sungai kecil merah gelap.
Arena tempat Raiman hampir mati beberapa jam sebelumnya berubah menjadi kuburan terbuka bagi penyerang barisan demi barisan.
“Makhluk opo… Iki .?!”
“dudu bocah! Dudu menungso..!”
“mlayu..!!”
Namun tak satu pun prajurit sempat berlari cukup jauh.
sedangkan raja yang sedang berada
Di kamar pribadinya yang megah,
terbangun oleh suara retak yang aneh
suara tulang, bukan suara kayu. Udara diselimuti aura panas dan bau besi terbakar.
“opo maneh iki…” gumamnya.
Namun saat bayangan besar merambat masuk ke dinding kamarnya, ia tahu jawabannya.
Pintu kamarnya pecah, berhamburan seperti kertas.
Raiman masuk.
Mata kuning itu memantulkan seluruh ruangan.
Raja Timur menahan napas.
Tangannya meraih keris emas yang tergantung di pinggang, senjata pusaka yang bahkan prajurit tertangguh segan menyentuhnya.
“Kowe bocah iblis...!!?”
Suaranya bergetar.
Raiman tidak menjawab.
Bayangannya mengembang seperti kabut neraka, menelan cahaya obor.
Raja menyerangnya dengan tebasan cepat, penuh mantra dan kekuatan yang pernah menumbangkan kerajaan.
Namun tangan Raiman menangkap bilah itu.
KREKKK!!
Keris emasnya pecah seperti kaca tipis.
“Ora… ora mungkin…!”
Raiman menutup jarak.
Satu pukulan ke dada.
DUAAAR!!
Tubuh Raja terpental, menghantam tiga pilar batu dan jatuh berlutut. Paru-parunya seperti disobek, cairan merah mengalir dari mulutnya.
Ia mencoba berdiri. tapi Gagal.
Ia merangkak dengan sisa tenaga.
Dan untuk pertama kali dalam hidupnya,
Raja Timur merasakan apa yang selama ini tidak pernah ia izinkan menyentuh jiwanya:
rasa takut.
“Ampun… ampun, raden…! Ojo mateni aku!”
Raiman berhenti satu langkah di hadapannya.
Raja gemetar, kepala menunduk menyentuh lantai.
“Aku… aku, bakal menehi saperempat kekuwatanku marang kowe…
Tak warisne… tak serahke kerajaanku…
Nanging… ojo mateni aku…”
Napasnya tersengal.
“Lan… lan putriku…
Tak jodohke karo kowe…
Putri siji-sijine…
Dadi garwane… dadi kelangenanmu…”
Ruangan sunyi.
Hening.
Hanya suara napas Raja yang patah-patah.
Bayangan Raiman berhenti bergerak,
Lalu perlahan, Raiman menurunkan tangannya.
Keputusan itu sederhana. Tanpa emosi.
Ia membiarkan Raja hidup.
Untuk sekarang.
Karena malam itu, satu hal terjadi tanpa disadari siapa pun.
Kerajaan Timur baru saja menyerahkan lehernya kepada tuan yang baru.
Dan dunia di luar dinding hitam itu belum tahu…
bahwa langkah kecil malam itu
akan mengguncang tujuh negeri,
merobek masa depan,
dan melahirkan perang
yang belum pernah disaksikan sejarah mana pun.
