WebNovels

Chapter 17 - chapter 17

Fajar belum juga menyentuh horizon ketika Istana Timur terasa seperti bangkai raksasa yang baru saja kehilangan jiwanya.

Keheningan yang menyelimuti

 ruangan-ruangannya bukanseperti keheningan biasa

ia seperti napas terakhir dari makhluk tua yang enggan mati, namun tak sanggup lagi melawan waktu.

Dari celah-celah koridor , angin merayap pelan membawa aroma aneh.

Bukan hanya darah yang mengering,

bukan sekedar besi terbakar atau debu reruntuhan.

Ada sesuatu yang lain..

bau tanah basah dari dunia asing,

 aroma yang hanya muncul di kaki Gunung Kembang setiap kali roh dipanggil dengan paksa, oleh perjanjian gelap yang dibuka kembali.

Di ruangan singgasana yang hancur , dan berserakan mayat, Raiman duduk diam.

Ia tidak duduk di singgasana emas yang remuk.

Tidak pula berdiri dengan gagah seperti pahlawan dalam kisah perang.

Ia hanya duduk di anak tangga pertama, bersandar pada pilar batu yang terpenggal.

Tubuhnya tampak seperti bocah yang kelelahan setelah berlari terlalu jauh…

namun bayangannya menceritakan kisah lain.

Bayangan itu tidak pernah diam.

Ia bergerak sendiri..melengkung, memanjang, lalu menyusut menjadi bentuk yang tak pernah tetap.

Kadang tampak seperti makhluk tanpa tulang yang merayap mencari celah,

 kadang seperti rahang yang hendak mengunyah dinding batu.

Dan di belakangnya,

Raja Timur masih berlutut.

Kepalanya menunduk, kedua siku bertumpu di lantai yang basah oleh darah...

Ia tidak berani mengangkat wajah.

Bahkan napasnya pun ia tahan, takut suara sekecil serpihan pun mengusik sesuatu yang tidak boleh diusik.

Raja baru saja menyerahkan kehormatan, takhta, dan masa depan putrinya kepada bocah yang beberapa jam lalu hampir mati di arena.

Namun sekarang, di hadapan mata kuning yang berkilat dingin itu, Raiman bukan lagi bocah.

Ia adalah sesuatu yang lain.

“Kowe ngerti akibat saka omonganmu wingi?”

Suara Raiman keluar pelan, tenang, namun memotong udara seperti belati yang baru diasah.

Raja mengangguk gemetar.

“Inggih… inggih… aku tepati...Putriku dadi garwa panjenengan… keraton iki tunduk marang panjenengan. Nanging…”

“Nanging..?”

Raiman hanya memiringkan kepala sedikit.

Gerakan sekecil itu saja membuat Raja membeku seperti batu yang dibekukan musim dingin.

“Nanging… ana siji perkara sing kudu kowe ngerti, radenGusti Raiman…”

Nada Raja putus-putus.

Ia menelan ludah, bibirnya yang pecah tampak bergetar.

“Putriku… ora koyo sing liyane. Dheweke nduweni kutukan,

kutukan lawas sing digawe leluhur kanggo nyegel sawijining ramalan…”

Raiman diam.

Bayangannya berhenti bergerak sejenak, seperti ikut mendengarkan.

“Ramalan opo..?”

Raja mengusap keringat dingin dari pelipisnya.

“Ramalan sing nyebut yen wong sing nggawa cahya lan peteng bebarengan… bakal ngancurke pitung nagara lan nyeret langit tiba ing bumi.”

Ruangan langsung terasa lebih dingin.

Nyala obor mengecil, seperti ketakutan mendengar kata-kata itu.

Raiman memandang Raja dalam-dalam.

“Lan panjenengan mikir ingsun mboten ngertos..?”

Raja terpaku.

Ia mengangkat wajah, terkejut bukan main.

“Gunung Kembang ora nggawe perjanjian karo sembarang menungsa,” kata Raiman pelan.

“Iblis-iblise milih sing wis dicathet ing garis takdire.”

Seketika wajah Raja memucat tanpa warna.

Ia baru menyadari sesuatu..

bahwa makhluk yang berdiri di hadapannya bukan sekadar membawa kekuatan terkutuk.

Setiap napas Raiman…

setiap denyut hidup yang tersisa padanya…

sudah menjadi bagian dari ramalan.

Ia bukan ancaman bagi satu kerajaan saja.

Ia adalah bagian dari kehancuran.

Bagian dari sesuatu yang lebih besar dari ambisi, perang, atau politik negeri mana pun.

 

Sementara itu, jauh di kedalaman istana, di ruangan yang hanya boleh dimasuki keluarga kerajaan, seorang gadis duduk di tepi ranjangnya.

Putri Ayuningrum.

Satu-satunya pewaris Kerajaan Timur.

Ia mengenakan selendang biru muda, lembut seperti kabut pagi.

Rambut hitamnya terurai panjang, nyaris menyentuh lantai batu.

Dan matanya…

…putih sepenuhnya.

Tanpa iris.

Tanpa pupil.

Ia bukan buta.

Matanya telah melihat sesuatu yang bahkan gurunya sendiri tak sanggup melihat,

garis-garis nasib yang tidak boleh dibaca manusia.

Di telapak tangannya, ada bentuk akar-akar emas tipis bergerak pelan, berdenyut seolah mengikuti irama detak jantung seseorang yang jauh di luar sana.

Ia merasakannya.

Sesuatu yang bangkit.

Sesuatu yang seharusnya tidak terbangun sampai dua abad lagi.

“Aji Tumbal Kencana…”

Bisikannya sangat pelan, hampir seperti desahan angin.

“Lan sing nduweni ajian iku… wis teka.”

Tubuh Putri bergetar.

Bukan karena ketakutan..

ia sudah dididik sejak kecil bahwa hidupnya tidak akan panjang, bahwa takdirnya tidak akan seperti wanita kebanyakan.

Sejak kecil ia terus-menerus diberi satu peringatan,

Gadis dalam ramalan akan menjadi pengunci atau pemicu.

Dan pasangan hidupnya akan menentukan nasib tujuh negeri.

Ia memejamkan mata sebentar.

Di dalam kepalanya, nama itu berulang-ulang bergaung seperti gema di gua purba.

“Raiman…”

Ia menghembuskan napas panjang.

Nama itu terasa seperti sudah lama terukir di tulang-belulangnya.

“Sak iki… wektu wis mlaku maneh.”

 

Raiman akhirnya berdiri.

Tubuhnya tampak kecil, namun bayangannya melebar seperti sayap hitam yang hampir memenuhi dinding..

“kancani aku,”

katanya datar.

“Kito kudu ketemu putrimu saiki.”

Raja tersentak, nyaris terjatuh.

“S… saiki?”

Raiman tidak menjawab.

Ia hanya berjalan.

Langkahnya lambat, namun setiap jejak yang ia tinggalkan membuat lantai bergetar pelan..

seolah ada makhluk besar yang mengikuti dari bawah tanah.

Pintu menuju ruang dalam terbuka dengan sendirinya..

Angin dingin menyeruak keluar.

Dari kejauhan, suara gamelan bergema.

Namun nadanya tidak manusiawi.

Terlalu pelan, terlalu tua, terlalu menyerupai suara tulang beradu.

Raiman berhenti di persimpangan lorong.

Bayangannya merayap ke dinding, membentuk mulut besar dengan ratusan gigi bergerigi.

“Dheweke ngerti aku teka,” bisik Raiman.

Raja hanya mampu menelan napas.

Karena raja sudah mengetahui..

bahwa putrinya selalu tahu kapan garis takdir bergeser.

Putrinya telah menunggu momen yang seharusnya baru datang ratusan tahun lagi.

Dan malam itu, lorong gelap berbau lembab itu terasa hidup.

Roh-roh penunggu istana berlari bersembunyi seperti anak kecil ketakutan...

Malam itu, dua garis takdir yang seharusnya tidak pernah bertemu lebih cepat dari waktunya,

akan bertabrakan.

Pertemuan yang akan

 membuka rahasia Gunung Kembang

 membangunkan iblis-iblis yang menjadi bagian dari perjanjian Raiman

 dan memicu perang besar tujuh negeri

_-_-_+_-_+-

Raiman melangkah memasuki lorong panjang menuju kamar putri.

Bayangannya bergerak mendahului, merayap di dinding seperti pemburu yang tak sabar.

Dan ketika ia semakin dekat…

Di ujung lorong, pintu emas terbuka pelan.

Cahaya putih lembut keluar dari celahnya, seperti sinar rembulan yang jatuh ke kolam hitam.

Putri Ayuningrum berdiri di ambang pintu.

Diam.

Tenang.

Mata putihnya menatap tepat ke tempat Raiman yang sedang berdiri.

meski lorong itu hampir sepenuhnya gelap.

“Raiman,” ucapnya pelan.

Nada suaranya…

seolah ia sudah mengenal bocah itu seumur hidupnya.

Raiman berhenti.

Untuk pertama kalinya sejak aji itu bangkit, gerakannya terhenti sepenuhnya.

Bayangan di belakangnya seperti ditarik oleh sesuatu yang tak terlihat..

menyusut, kemudian memanjang lagi, seperti sedang menimbang.

Putri tersenyum tipis.

Senyum yang tidak membawa hangat, namun juga tidak membawa ancaman.

Senyum milik seseorang yang tahu bahwa dirinya adalah bagian dari teka-teki yang jauh lebih besar.

“.“Wektu wis teka,” pangandika.

“Pralambang iki… wiwit obah manèh.”

Dan dengan ucapan itu, malam yang gelap berubah menjadi awal dari hari yang tidak pernah tercatat dalam sejarah mana pun..

hari ketika takdir dua makhluk terkutuk bersinggungan,

akan mengubah dunia tanpa bisa ditarik kembali.

More Chapters