WebNovels

Chapter 20 - chapter 20

Toko emas itu kini berdiri seperti makam yang lupa diberi nisan.

Plafonnya retak dan berdebu,

lampu-lampu gantung yang dulu memantulkan kilau emas kini menggantung lesu, mati tanpa daya.

Debu menumpuk setebal jari di atas etalase kaca yang dahulu selalu dibersihkan setiap pagi oleh para karyawan.

Etalase itu pernah menjadi cermin cahaya: pantulan emas, berlian, dan wajah-wajah pelanggan yang datang dengan harapan, ketakutan, dan rencana masa depan.

Dulu, tempat ini tidak pernah mengalami hari yang benar-benar sepi.

Bunyi pintu otomatis cling cling menandai keluar-masuknya orang-orang yang mempercayakan tabungan seumur hidup pada seorang pemilik yang terkenal ramah.

Di balik semua kesibukan itu, ada Adipati Soesilo—dengan tawa ringannya, sapaan halusnya, dan kebiasaannya mengetuk etalase sambil mengucap:

“Rezeki kui kyk emas, kudu dirumat, dudu mung digugah-gugah.”

Kalimat itu dulu menjadi prinsip hidupnya.

Sekarang, hanya hening yang tersisa.

Hening yang begitu tebal hingga seolah bisa menyentuhnya.

Tidak ada manusia.

Tidak ada emas.

Tidak ada waktu.

Sinar matahari sore yang menerobos lewat kaca jendela yang buram jatuh seperti garis-garis pucat di lantai yang kusam.

Bau khas toko emas..

.campuran pendingin ruangan, karpet baru, dan parfum ruangan mahal..

telah lama menghilang. Yang tersisa hanyalah aroma lembap dari bangunan tua yang dibiarkan mati perlahan.

Toko itu tampak seperti tubuh tanpa jiwa.

Seperti seseorang yang meninggal dalam diam, tanpa tangisan dan tanpa upacara.

 

Kehilangan Adipati Soesilo menjadi misteri nasional yang membengkak seperti gelembung gosip yang siap meledak.

Berita “hilangnya sultan muda Semarang” menghiasi televisi nasional selama berminggu-minggu.

Media sosial ramai dengan spekulasi, teori konspirasi, hingga tuduhan sembarangan.

Lima bulan sudah ia menghilang tanpa satu pun jejak digital.

Tidak ada rekaman CCTV yang menunjukkan langkah terakhirnya.

Tidak ada transaksi bank.

Tidak ada log masuk WhatsApp.

Tidak ada pencarian Google Maps.

Tidak ada riwayat aplikasi e-wallet.

Ponselnya mati total pada detik yang sama ia hilang.

Sinyalnya menghilang begitu saja, seolah diseruput keluar dari jaringan.

Ketika polisi memeriksa GPS kendaraan, catatannya kosong. Seperti mobil yang tidak pernah menyala. Seperti ponsel yang tidak pernah dibawa.

Para penyidik berulang kali dipanggil wartawan, tapi jawaban mereka selalu sama: angkat bahu.

Mereka menyebut ini sebagai:

“Iki kasus sing ora nduwé garis wiwitan.”

Kasus yang bahkan titik mulainya tidak pernah ditemukan.

Mereka tidak tahu harus mencari dari mana.

Mereka tidak tahu apa yang sebenarnya hilang.

Dan mereka tidak tahu bahwa dunia manusia tidak sedang berurusan dengan manusia.

 

Rumor mulai berubah menjadi badai.

Di warung kopi, seorang bapak-bapak berbisik sambil menyeruput kopi hitam:

> “kabare , Adipati mlayu nang luar negeri. jarene ditinggal caloné… wonge lagi patah hati”

Di grup WhatsApp keluarga yang penuh stiker dan spam doa-doa, rumor lain muncul:

> “Ah dudu kuwi. Adipati kuwi bangkrut. Utangé nggunung. Mulaé mlayu.”

Di TikTok, komentar pedas yang lebih laris dari fakta muncul:

“. Sok sugih, sok dermawan…

paling , ketiban adzab kae.”

Netizen menjadi hakim, jaksa, sekaligus algojo.

Namun tidak satu pun yang tahu bahwa yang hilang bukan hanya tubuh Adipati…

tapi jiwanya.

 

Sementara manusia sibuk berdebat

, Adipati berada di tempat yang tidak pernah mampu dibayangkan siapa pun.

Di alam gaib...

tempat langit retak seperti kaca pecah, tempat angin membawa bisikan leluhur, tempat tanah berubah-ubah bentuk seperti bernapas..

ia menjalani waktu yang sama sekali berbeda.

Lima bulan di dunia manusia setara lima puluh tahun di sana.

Setara setengah abad penderitaan yang terputus dari dunia nyata.

Tubuhnya menua dengan cara yang aneh. Rambutnya memanjang seperti tidak pernah dipotong selama puluhan tahun.

Wajahnya menanggung garis-garis lelah yang tidak pernah dimiliki pemuda tiga puluh dua tahun.

Sorot matanya dalam, pekat, dan membawa bekas dari malam-malam panjang tanpa tidur.

Setiap malam ada suara yang memanggilnya suara dari kabut, dari tanah, dari langit yang retak:

“Kowe durung rampung ke., … durung rampung…”

Ritual penebusan jiwa itu tidak mengenal belas kasihan.

Tidak mengenal jeda.

Tidak mengenal ampun.

Bayangan leluhur berkeliaran mengikuti langkahnya, mengingatkan dosa yang bukan miliknya, mengingatkan utang leluhur yang harus ia bayar hanya karena ia mewarisi darah mereka.

Di tempat itu, waktu tidak berjalan lurus.

Terkadang satu jam terasa seperti seabad.

Kadang sepuluh tahun berlalu hanya dalam satu kedipan.

Setiap langkah adalah hukuman.

Setiap napas adalah beban warisan.

Setiap malam adalah penjara.

Dan di sela-sela penderitaan panjangnya, ia selalu teringat satu hal:

rumahnya kosong.

tokonya mati.

namanya dibicarakan dengan cara yang salah.

 

Hanya Satu hal yang tidak pernah diketahui siapa pun di dunia manusia:

seluruh emas dan uang di toko itu menghilang bersama dirinya.

Tidak ada pencurian.

Tidak ada pengalihan rekening.

Tidak ada penjualan diam-diam.

Semuanya tersedot ke dalam pusaran gaib yang membuka dirinya pada malam Adipati dijemput.

Tidak ada maling yang mampu mengambil emas sebanyak itu tanpa meninggalkan sidik jari.

Tidak ada manusia yang mampu menghilangkan uang tanpa meninggalkan transaksi.

Karena semuanya…

mengikuti tuannya.

Dan ini alasan terbesar mengapa polisi tidak pernah menemukan apa pun.

Bagaimana mungkin mereka menemukan sesuatu yang tidak lagi berada di dunia manusia?

 

Rumah Adipati di Semarang kini berubah menjadi legenda kecil yang menyeramkan. Bukan hanya karena ia hilang, tetapi karena rumah itu seperti menolak ditinggalkan.

Pintu kayu mulai mengelupas.

Jendela kusam oleh debu.

Halaman dipenuhi daun-daun kering.

Namun sandal-sandal tuanya masih tersusun rapi di depan pintu, seolah pemiliknya hanya keluar sebentar membeli rokok.

tak seorangpun berani masuk, meski pintunya tidak pernah dikunci.

Bukan karena takut pencuri..

tapi karena kata orang, rumah itu tidak benar-benar kosong.

Di kompleks, bisikan kecil menyebar seperti angin dingin:

> “Ojo sembrono mlebu omahé, yo… wong omongé, Adipati kuwi dudu ilang… dijupuk demit ..”

Ada yang mengaku melihat bayangan berjalan di balik tirai.

Ada yang mendengar langkah kaki.

Ada yang bersumpah melihat pintu belakang terbuka sendiri.

Tak satu pun tahu kebenaran.

Karena tak satu pun mampu membayangkannya.

 

Sementara itu, di alam gaib yang bergelombang seperti mimpi buruk yang tidak pernah selesai, Adipati menatap langit retak yang memancarkan cahaya hijau keemasan..warna yang sama dengan aura leluhur yang menahannya di sana.

Ia menghembuskan napas panjang, lebih mirip keluhan daripada harapan.

Dan ia bertanya pada dirinya sendiri, lirih, nyaris patah..

“kapan aku isa mulih ...?

Pertanyaan yang menggantung di udara.

Tidak dijawab.

Tidak ditolak.

Hanya dibiarkan membusuk di antara waktu yang tidak pernah bersahabat.

More Chapters