WebNovels

Chapter 15 - chapter 15

Malam itu, langit tidak mengenakan warna hitam seperti malam-malam sebelumnya.

Ia merah.gelap. seperti darah yang sedang naik dari perut bumi, menyingkapkan murka yang selama ini ditahan.

Para penjaga gerbang luar Istana Gunung Kembang awalnya hanya saling pandang.

Mereka berusaha meyakinkan diri sendiri bahwa semua itu hanyalah awan badai.

atau fenomena alam.

lalu tanah bergetar.

Sangat pelan ..seperti tarikan napas seseorang yang sedang menahan amarah.

Lalu getaran itu bertambah.

Semakin kuat.

Semakin berat.

Dum…

dum…

dum…

Bukan gempa.

Bukan badai.

Bukan juga makhluk gaib.

Itu suara langkah pasukan.

Langkah ratusan, mungkin ribuan.

Teratur, ritmis.

Seperti jantung raksasa yang berjalan menuju istana.

 

Prajurit pertama yang menyadari bahaya itu tidak pernah sempat memperingatkan yang lain.

Tubuhnya terbelah ke samping

mulai dari bahu kanan hingga pinggang.

Belahan itu begitu rapi hingga seolah pedang yang mengirisnya terbuat dari cahaya merah yang menyala.

Darahnya bahkan belum sempat menetes ke tanah.

Ia menguap, menghilang dalam panas yang menyertainya.

Dari balik kabut merah yang menggantung di udara, barisan prajurit Kerajaan Timur muncul satu per satu.

Mereka memakai zirah hitam kemerahan, seakan ditempa dari batu bara yang masih menyala.

Mata mereka merah seperti bara api.

Tombak panjang yang mereka bawa bergerigi seperti rahang buaya yang baru diasah.

Mereka bukan sebuah pasukan.

Mereka adalah algojo yang telah melumat tujuh negeri sebelumnya.

Dan malam itu, Gunung Kembang menjadi korban berikutnya.

 

Tumenggung Wiradipa, dengan wajah pucat tapi mata tegas, menghunus keris pusakanya yang memancarkan cahaya emas lembut.

“jogo gerbang..! Aja nganti mlebu!”

Teriakannya terdengar, namun tidak cukup cepat.

Gerbang luar yang terbuat dari jati kuno berlapis baja dihantam oleh satu sosok.

Hanya satu...

Tubuhnya dua kali lebih besar dari manusia.

Kulitnya putih pucat seperti tulang kering.

Matanya merah pekat.

Jubah hitam panjangnya bergoyang-goyang, seperti ditiup angin kematian.

Seseorang di antara prajurit Gunung Kembang berteriak dengan suara pecah:

“Brahmana Mayangkara! Panglima Kerajaan Timur!”

Sosok itu mengangkat satu tangan ke udara.

Angin terbelah.

Udara memekik, seakan dipaksa tunduk.

Lalu...

BADABAAAAMMM..!

Gerbang istana hancur berantakan.

Tiga puluh prajurit yang menjaga di depannya terlempar seperti daun kering.

Tubuh mereka tidak sekadar patah.

Beberapa terpelintir begitu parah hingga tidak lagi menyerupai manusia.

Beberapa tercabik, sebagian tubuhnya hilang.

Jeritan mengisi udara.

Brahmana Mayangkara menatap kehancuran itu dengan senyum tipis.

Bibirnya setipis bilah pisau.

“Kerajaan kecil,” gumamnya datar.

“Saatnya kalian lenyap.”

 

Prajurit Gunung Kembang melawan dengan seluruh kekuatan yang mereka punya.

Namun perlawanan mereka ibarat ranting melawan badai.

Prajurit Timur bergerak seperti petir yang diberi tubuh.

Tombak mereka menari, meninggalkan garis merah menyala di udara setiap kali ditebaskan.

Ki Gadinglaras berusaha menutup jalur penyerbuan dengan aji Penutup Bumi.

Ia menghentakkan tangan ke lantai.

BOOOM!

Tanah naik, membentuk dinding.

Namun salah satu prajurit Timur tertawa pendek, merapal mantra:

“WREDHA-DARA… MURCA..!”

Asap hitam memancar, memakan tanah itu seperti makhluk lapar,

lalu melumat tubuh Ki Gadinglaras.

Sesepuh itu hilang tanpa sempat menjerit.

Tumenggung Wiradipa berjuang seperti macan.

Ia berhasil menumbangkan tiga musuh.

Namun Brahmana Mayangkara hanya menggerakkan satu jari.

Tumenggung terlempar menghantam dinding, tengkoraknya pecah.

lalu terkapar lemah tanpa sukma.

 

Di selasar barat, Raiman ,bocah kecil berusia tiga belas tahun. berdiri mematung.

Ia menyaksikan istana tempat ia dibesarkan runtuh.

Jeritan memecah udara.

Darah mengalir di lantai batu, mengalir mengikuti parit menuju halaman depan.

Ia seharusnya lari.

Seharusnya bersembunyi.

Namun ada sesuatu dalam tubuhnya yang berdenyut…

Sebuah getaran yang sudah lama ia rasakan tetapi tidak ia mengerti.

Makhluk gelap dalam dirinya… bangun.

Ia ingin keluar.

Ia ingin bertarung melawan para algojo.

tapi Bayangan Raiman di lantai bergerak-gerak, seakan hidup.

Seakan menunggu pintu dibuka.

Dan Raiman kini belum tahu caranya.

Tiba-tiba

BRUK!

Seseorang menubruknya dan mendorongnya ke bawah meja.

“Raiman! MENDHEK KENE!”

Emban tua yang dulu sering menyuapinya nasi lembek menariknya ke sudut ruangan.

Namun pintu ruangan didobrak.

Prajurit Timur masuk.

hanya dengan Satu hempasan tangan...emban itu terkapar.

Kepalanya menghantam pilar, matanya kosong.

Raiman tak menjerit.

Hanya menunduk.

Bayangannya bergerak liar, tapi tidak menolong.

Prajurit itu mendekat, menatap pakaian bangsawan yang Raiman pakai.

“Pewaris,” kata algojo itu datar.

“Jangan bunuh. Raja menginginkan dia.”

--

Raiman digiring keluar bersama beberapa tawanan.

Namun tidak ada satu pun keluarga istana.

Semua sudah mati.

Gunung Kembang, yang selama ini ia kenal sebagai rumah…

sekarang hanya lautan api dan tubuh-tubuh tak dikenal.

Di depan gerbang yang sudah hancur,

Brahmana Mayangkara menunggu.

Ia menatap Raiman lama, sebelum tersenyum kecil.

“Anak ini lain,” ucapnya.

“Aurane peteng… bakal énak kanggo sesaji.”

Istana Gunung Kembang terbakar di belakang mereka.

Raiman tidak menoleh.

Namun bayangannya menoleh.

Dan bayangan itu..tersenyum.

_-_-_-

Hari-hari berikutnya adalah neraka tak berujung.

Tawanan dipaksa berjalan tanpa henti.

Siapa yang jatuh ..dibunuh.

Siapa yang menolak makan..dibunuh.

Siapa yang menangis dibungkam selamanya.

Raiman tidak pernah dipukul.

Tidak pernah ditendang.

Karena ia bukan manusia di mata mereka.

Ia barang berharga.

Darah bangsawan.

Calon persembahan.

Beberapa hari kemudian, rombongan itu tiba di Kerajaan Timur.

Benteng-benteng besar berdiri seperti gigi raksasa.

Rumah batu hitam memenuhi kota.

Udara pekat dengan asap.

Seperti mimpi buruk yang diberi bumbu aura mencekam,

--

Raiman dilempar ke tengah arena pada hari pertamanya di istana.

Penonton menyambutnya dengan sorakan kasar.

“Bocah iki bakal dipangan!”

“Endi bantenge? Endi singone..?”

“Hahahaha!”

Gerbang di depan Raiman terbuka.

Seekor banteng hitam raksasa keluar.

Tanduknya panjang, matanya merah, napasnya panas.

Banteng itu menyeruduk.

Namun tepat ketika matanya bertemu mata Raiman…

banteng itu berhenti.

Gemuruh penonton terhenti sesaat.

Saat berikutnya, banteng itu…

berlutut.

Penonton menjadi ribut.

Penjaga panik.

Raja Timur...yang duduk di kursi batu hitam mengernyit dalam diam.

“Teruske!”

Ia mengangkat tangan.

“uculne titah singo..!”

Gerbang kedua mendecit terbuka.

Singa besar melompat keluar, bulunya penuh luka, taringnya sebesar pisau.

Namun singa itu tidak menerkam.

Ia merangkak maju, mencium tangan Raiman… lalu berguling seperti anak kucing.

Arena bergemuruh.

“Jimat OPO iku ?!”

“Anak iki sekti..?!”

“orak masuk nalar manungsan..!”

Raja Timur bangkit.

Jubah besinya berkilat, suaranya berat bagai gemuruh.

“Bocah…”

Raiman mendongak.

Bayangannya bergerak lebih cepat daripada tubuhnya.

“…yen siro biso ngalahké prajuritku sing paling sakti…”

Sorot mata Raja menajam, penuh ancaman sekaligus rasa ingin tahu.

“…siro bakal tak anggep dadi mantuku.”

Arena hening.

Para bangsawan terbelalak.

Karena prajurit yang dimaksud Raja…

bukan manusia.

Bukan pula makhluk biasa.

Ia legenda hidup dari Timur.

Dan Raiman hanyalah seorang bocah

berumur 13 tahun..

bersambung...

More Chapters