WebNovels

Chapter 11 - chapter 11

Angin yang keluar lorong arena tiba-tiba berubah..

lebih dingin, lebih berat, seolah ada sesuatu yang merayap di balik udara.

Lorong itu selalu tampak sempit dan panjang,

tetapi malam ini terasa seperti tenggorokan makhluk raksasa yang siap menelan siapa pun yang lewat.

Adipati berhenti. Langkahnya membeku. Bulu kuduknya meremang, seperti ditarik paksa oleh tangan tak terlihat.

Ia baru saja keluar dari pertarungan paling brutal dalam hidupnya.

Tubuhnya penuh luka, Fragmen Jiwa-nya tinggal serpihan kecil, dan napas NYI Blorong yang menolongnya tadi sudah mulai memudar dari rongga dadanya.

Tapi rasa takut yang merayap sekarang… jauh lebih parah daripada nyeri di setiap ototnya.

Bisikan itu datang bukan dari depan. Bukan dari samping. Bukan dari belakang.

Bisikan itu datang dari… dalam.

Suara yang tidak menggunakan mulut untuk berbicara.

Suara yang langsung menggores ke dalam saraf-saraf paling halus di tengkuknya, dan merangkak masuk ke sumsum tulang

“Siro pikir iki wis rampung…?”

Adipati menoleh cepat...terlalu cepat untuk tubuh yang baru saja babak belur.

Lehernya sampai terasa nyeri.

Tapi ia tidak peduli. Refleksnya menang oleh rasa ngeri yang tiba-tiba menggulung dari tulang belakang hingga naik hingga tenggorokan.

Tak ada siapa pun.

Hanya reruntuhan arena, debu yang masih melayang seperti abu kremasi ritual kuno, dan cahaya keemasan dari celah runtuhan yang perlahan padam, satu demi satu, seolah cahaya itu disedot oleh sesuatu.

Namun Adipati tahu..

itu bukan halusinasi.

Suara itu punya tekanan...

Dan yang paling menakutkan, suara itu menyebutnya seperti seseorang yang sudah lama mengenalnya.

Fragmen Jiwa di tubuhnya tiba-tiba bergetar. Getaran itu bukan sekadar resonansi energi,

tapi seperti ketakutan instingtif, seperti seekor hewan kecil yang merasakan predator mendekat sebelum ia melihatnya.

Adipati menelan ludah. Tenggorokannya kering seperti pasir.

“Sopo Kowe..?” suaranya keluar seperti bisikan serak, padahal ia berniat berteriak.

Keheningan menjawabnya. Keheningan yang bukan kosong, tapi keheningan berat, padat, seperti ada sesuatu..

atau seseorang yang sedang memperhatikannya dari balik udara.

Lantai di bawah kakinya bergetar pelan. Sangat halus.

Seolah ada langkah-langkah ringan ,

terlalu ringan untuk manusia yang berjalan mendekat. Namun tidak ada suara.

Getaran berhenti.

Udara menegang.

Adipati mengepalkan tangan. Meski energinya tinggal sisa-sisa,

ia siap. Atau setidaknya mencoba meyakinkan dirinya bahwa ia siap.

Tiba-tiba, bayangan memanjang di dinding

tanpa ada sosok mahluk,

Bayangan itu seperti selembar kain hitam basah yang diseret dari jauh. Ia merayap di sepanjang dinding lorong, memanjang, memutar, lalu naik dan turun seperti binatang hidup.

Bayangan itu berhenti tepat di belakang Adipati.

Adipati membeku. Tubuhnya seolah terpaku oleh rasa dingin yang tiba-tiba merayap dari tumit lalu ke tengkuk.

"Aku wis ngenteni kowe…”

Suara itu berbeda.

Dalamnya bukan sekadar gema. Tapi seperti suara yang berasal dari ruang kosong yang lebih tua dari dunia, lebih hening daripada kuburan yang dilupakan.

Adipati menoleh—pelan… pelan… hatinya seperti hendak melompat keluar dari dada.

Tidak ada sosok.

Namun udara di depannya terbelah.

Retak—krek—seperti kaca yang dipukul dari dalam.

Retakan itu memanjang, merayap seperti akar-akar ke atas langit-langit, ke bawah lantai, dan ke samping dinding, sampai-sampai Adipati merasa lorong itu berubah bentuk.

Dari retakan itu merembes keluar cahaya hitam—gelap yang memantulkan cahaya seperti minyak di permukaan air. Gelap yang tampak hidup. Gelap yang seperti sedang menatap balik.

Sebuah tangan kurus keluar dari celah itu, tulangnya panjang, kulitnya pucat abu-abu seperti daging yang terlalu lama direndam air mati.

Lalu suara itu menggema lagi, lebih padat, lebih dingin.

“Perjanjian Leluhurmu wis waktune ditagih.”

Jantung Adipati seolah berhenti.

“P-perjanjian? Leluhur?” dadanya naik-turun cepat. “Ditagih…?”

Celah gelap itu melebar. Kini tampak sebagian wajah...

wajah yang tidak bisa dipastikan bentuknya. Tidak sepenuhnya manusia, tidak sepenuhnya iblis, dan tidak sepenuhnya roh. Ada lipatan-lipatan halus yang bergerak sendiri, mata berwarna putih pudar yang menembus seperti sinar bulan yang sakit, dan senyum yang terlalu panjang untuk disebut manusiawi.

Mata makhluk itu menatap Adipati.

Tatapannya bukan seperti seseorang menilai lawan.

Tatapannya seperti seseorang membaca buku yang pernah ia tulis sendiri.

“Kuwi janji sing sejati. Janji sing nggawe kowe bisa urip, bisa nduwe Fragmen Jiwa, lan bisa ngrasakke kekuatan .”

Adipati mundur setengah langkah, kaki terasa kaku. “Fragmen Jiwa-ku… bukan dari arena? Bukan dari latihanku?”

Makhluk itu tersenyum.

Senyum panjang dan perlahan, seperti retakan yang mengembang di tengah malam.

“Ora, bocah. Kuwi warisan. Utang… sing kudu dibayar.”

Retakan itu berhenti melebar..

Udara membeku. Tidak sekadar dingin

beku.

Napas Adipati keluar sebagai embun tipis.

Makhluk itu menjulur lebih jauh. Ujung jarinya dingin, runcing, terlalu panjang..

menyentuh dada Adipati, dan tepat di titik di mana Fragmen Jiwa-nya berdenyut.

Sentuhan itu seperti menyentuh logam yang disimpan di ruang hampa selama ribuan tahun.

Fragmen Jiwa-nya meledak bergetar, seperti hendak melarikan diri dari tubuhnya.

“Tiga Arbiter mung pemanasan. Sing dikarepke yaiku sing ana ing njero awakmu.”

Adipati mencoba meronta, tetapi tubuhnya seperti dipaku oleh tekanan tak terlihat. Tenggorokannya tersedak tanpa disentuh.

Makhluk itu mendekatkan wajahnya..

yang retak, bergelombang, dan bergerak

hingga celahnya hampir menyentuh pipi Adipati.

Nafasnya bukan udara, tapi seperti desir dingin dari tempat kosong.

> “Aku bakal bali… nalika rembulan ketiga murup. Wektu iku… utangmu kudu dilunasi.”

Celah itu menutup tiba-tiba.

Plak..!!

Segalanya kembali normal secepat mimpi buruk yang hilang saat bangun tidur.

Namun bau dinginnya tetap.

Bayangan di dinding kembali mengikuti sumbernya. Debu berhenti berputar. Udara kembali terasa berat tapi… hidup.

Adipati terjatuh berlutut. Tangannya gemetar. Napasnya tercekat seperti habis berlari jauh. Dunia terasa terlalu sunyi.

Sebelum ia sempat memproses apa yang baru saja terjadi...

bahkan,sebelum ia bisa bertanya, menolak, atau sekadar marah..

Sebuah tangan menyentuh bahunya.

Tangan dingin. Tapi bukan dingin kematian. Dingin… ular.

NYI Blorong muncul di sampingnya. Namun kali ini, wajahnya bukan wajah menggoda, bukan wajah misterius bermakna ganda, bukan wajah roh yang sedang bermain dengan manusia.

Ini adalah wajah ketakutan.

Ketakutan murni.

Matanya menyipit, sisiknya bergetar pelan. Nafasnya berat, seperti sedang menahan sesuatu untuk tidak keluar.

“…Adipati,” bisiknya, “kowe kudu lunga. Saiki.”

Adipati menatapnya..gelisah, bingung, takut. “ono OPO..?”

NYI Blorong tidak langsung menjawab. Tatapannya tidak ke Adipati… melainkan ke celah gelap dibalik lorong.

Tubuhnya gemetar. Roh sekelas dirinya

makhluk kuno yang ditakuti banyak bangsa

jin.

“Sebab sing metu mau… dudu roh biasa. Dudu iblis. Dudu leluhur.”

Ia menelan pahit. Lidahnya seperti kelu.

“Iku Pengawas Kontrak.”

Adipati merasakan hawa dingin menyapu punggungnya sampai naik ke leher.

"Pengawas… Kontrak?"

Makhluk itu bahkan dari namanya saja sudah terdengar salah.

“S-siapa… mereka?” suara Adipati pecah.

NYI Blorong perlahan mengalihkan pandangan, wajahnya pucat.

“Makhluk sing mung muncul nek duniamu lagi mlebu tahap sing luwih peteng. Tahap sing ora biso kowe delok saiki.”

Tatapannya kembali pada Adipati.

Dan kali ini, untuk pertama kalinya, NYI Blorong menunjukkan ketakutan yang tidak bisa disembunyikan.

“iki mungkin bakal dadi Ahir uripku..” suara Adipati lirih.

NYI Blorong tersenyum tipis—senyum sedih, bukan senyum kemenangan.

“Ora. Usah hawatir,Kuwi mung ketukan lawang pertama.”

Angin kembali bergerak, tapi kali ini dinginnya menusuk sampai tulang, seperti tangan tak terlihat yang mencoba meraih tengkuk Adipati.

Aroma tanah basah bercampur sesuatu yang lebih tua… lebih busuk… seperti bau kain kafan yang baru dibuka setelah puluhan tahun.

Lorong di depannya menganga tanpa ujung, gelap pekat seperti rongga mulut makhluk yang hendak menelan.

Adipati menahan napas.

Namun tiba-tiba udara di sekelilingnya berubah..lebih berat, lebih padat..seakan ada sosok lain yang baru saja masuk ke ruang yang sama.

Dari kegelapan, terdengar suara…

bukan langkah, bukan gesekan..

melainkan suara aneh yang bergetar seperti orang yang tenggorokannya sudah lapuk dimakan tanah.

Suara itu tidak memanggil namanya.

Suara itu menyebutkan garis keturunannya.

"Adipati bin… dari … sampai ..canggah Raiman…”

Adipati membeku.

Ia bahkan tak sempat heran bagaimana suara itu tahu nama leluhur yang bahkan jarang disebut keluarganya.

Gumaman itu makin dekat.

Makin jelas. seperti seseorang yang sedang tersenyum dalam gelap..

“Utang… keluargamu… durung lunas.”

Seketika lorong di depan mengerut sendiri

bayangan itu memanjang, menekuk, berubah menjadi siluet jari-jari kurus yang merayap ke arahnya.

Adipati mundur, terpeleset, dan saat ia menoleh untuk lari..

Ia melihatnya.

Bukan makhluk.

Bukan bayangan.

Tapi wajah seorang lelaki tua

menempel setengah tubuh di dinding,

kedua matanya kosong, dan mulutnya bergetar mengucap sesuatu yang membuat darah Adipati berhenti mengalir:

“Perjanjian iku… durung lunas..”

Sebelum Adipati bisa berteriak, semua lampu padam.

Gelap total.

Hanya satu suara yang tersisa:

suara ketukan… dari dalam dinding.

More Chapters