WebNovels

Chapter 9 - chapter 9

Arena masih bergemuruh, tapi kini bukan hanya dari batu yang pecah atau debu yang beterbangan. Gemuruh itu berasal dari napas yang tertahan, dari energi yang menekan udara, bahkan dari getaran hati yang hampir patah. Debu dan serpihan batu beterbangan, tapi di tengah pusaran itu, satu tubuh berdiri—terluka, kelelahan, tapi masih berusaha mempertahankan diri.

Adipati menatap Arbiter, atau lebih tepatnya, dua Arbiter yang menunggunya. Aura emas yang biasanya membungkus kuat seperti tameng ,kini meredup, lalu darah emas menetes dari tangannya, dan Fragmen Jiwa yang ia kumpulkan satu per satu hilang, lenyap ditelan tekanan kekuatan lawan.

Setiap serangan Arbiter menembus bukan hanya tubuhnya, tapi pikirannya, memaksa Adipati merasakan setiap ketakutan dan kelemahan yang pernah ia sembunyikan.

“iki ora biasa …” bisiknya dalam hati, dengan napas tersengal.

Arbiter terakhir menghantamnya dari udara, tubuh Adipati terpental keras ke jurang kecil yang terbuka di arena. Tulangnya berderak, dan darah emas mengotori tebing batu. Ia tersungkur, berlutut di atas tanah yang pecah, aura emasnya meredup hingga hampir lenyap. Di dadanya, simbol mulai retak pertanda bahwa pertarungan ini lebih dari sekadar fisik. Ini adalah pengadilan jiwanya sendiri.

“[Fragmen Jiwa – Terancam Hilang]”

Jantungnya berdegup lambat. Fragmen Jiwa yang tersisa terasa ditarik ke jurang kegelapan, seolah pasir yang terhisap angin. Tubuhnya terasa ringan, terlalu ringan.

Ia jatuh ke dalam kegelapan tanpa dasar, dan rasa kehilangan hampir menelannya. Dalam tatapan Arbiter yang tak kenal ampun, Adipati menutup mata.

“tulung hambamu Gusti.."

Dan kekalahan itu nyata. Tubuhnya ambruk, darah emas menyebar, dan Fragmen Jiwa yang tersisa tercerai-berai.

Bayangan pengikutnya lenyap satu per satu. Adipati nyaris sirna, tersedot ke kegelapan seperti debu yang ditiup angin.

Namun, saat semua tampak hilang… sebuah bisikan lembut menembus kegelapan, menembus hingga tulang:

“tangi , bocah terkutuk…”

Sebuah cahaya hijau keemasan menembus jurang.

Tubuh Adipati bergetar, tapi bukan karena serangan..

ini adalah nafas yang diberikan paksa, seolah ada seseorang meniupkan kehidupan kembali ke jiwanya. Dari bayangan itu, sosok muncul perlahan. Wujudnya samar, melengkung, seperti naga yang menetes dari bayangan malam. Mata hijau menyala, sisiknya berkilau lembut, dan tubuhnya melingkar di udara, membentuk pelindung di sekitar Adipati.

“nyawa Siro ora biso ilang. Ora saiki.”

Satu hembusan, dan darah emas Adipati mengalir kembali. Tubuhnya terangkat sedikit dari tanah, Fragmen Jiwa yang hilang menempel perlahan di aura tubuhnya.

“[Respirasi Jiwa .. Bantuan Terselubung]”

Nafas ini bukan sembarang napas. Seperti ada jiwa lain yang menyatu dengan jiwanya, memberi energi instan, meski sementara saja.

Adipati membuka mata perlahan. Pandangan yang sebelumnya redup kini kembali bersinar, meski masih menyisakan rasa sakit di setiap uratnya.

Kesadaran baru muncul. Adipati merasakan batas antara hidup dan mati menipis. Ia tahu, jika bantuan ini tidak datang tepat waktu,

ia akan sirna..tidak hanya kehilangan tubuh, tapi juga jiwanya akan hilang selamanya dari dunia dan alam ghaib arena jiwa..

“Sapa kowe… kenopo kowe nulung ingsun..?” bisiknya, dengan suara lemah.

NYI Blorong menatapnya, senyum tipis menghias bibirnya, hampir seperti bisikan angin malam:

“Ana wektu kanggo mati… lan ana wektu kanggo bangkit. Saiki durung wayahe.”

Tubuh Adipati bergetar hebat. Aura emasnya kembali, meski tidak sekuat sebelumnya. Tapi ada yang berbeda...

fragmen energi yang tersisa terasa menyatu dengan kekuatan lain, sesuatu yang bukan hanya dari tubuhnya sendiri.

Ia menatap Arbiter di kejauhan, kalah tapi tidak sepenuhnya lenyap. Kekalahan ini membawa rasa sakit, pengalaman, dan pemahaman baru: bahwa jiwa bisa diselamatkan oleh keberanian orang lain atau entitas misterius, tapi harganya adalah kerentanan luar biasa.

> “Yen mengkono… aku durung rampung…”

Arena kembali bergetar, kali ini bukan karena Arbiter, tapi karena kekuatan hidup dan mati yang menunggu untuk diuji.

NYI Blorong menunduk, sisiknya berkilau lembut. Ia menatap Adipati:

> “Bangkit… nanging ilingo. Saben napas sing tak pasrahake, mung pepaes. Yen kowe wani, kabeh bakal owah. Yen ora… kowe bakal ilang.”

Adipati merasakan beban baru di dadanya. Bukan hanya kekalahan, tapi juga hutang nyawa dan tanggung jawab terhadap Fragmen Jiwa yang diselamatkan.

Ia menelan ludah, merasakan rasa sakit yang bukan hanya fisik, tapi juga emosional,

sebuah rasa bersalah karena harus bergantung pada kekuatan lain untuk tetap hidup.

Dari kegelapan, Arbiter ketiga melangkah maju. Mata merahnya menyala tajam, penuh amarah dan penilaian. Gelombang ketiga belum selesai. Sekarang taruhannya adalah jiwa yang telah diselamatkan oleh tangan lain.

Adipati menegakkan tubuhnya. Tangan gemetar, tapi matanya menyalakan tekad baru. Nafasnya berat, tapi ada semacam keberanian yang baru lahir dari rasa takutnya. Ia tahu, kekuatan yang diberikan NYI Blorong sementara saja. Jika ia tidak bertindak cepat, dirinya bisa kehilangan semuanya...

“Yen mengkono… ayo diteruske…”

Ia mulai merasakan ritme baru, sebuah koordinasi antara energi dalam tubuhnya dan napas bantuan yang diberikan.

Tubuhnya belum pulih sepenuhnya, tapi pikirannya lebih tajam. Ia mulai memperhatikan pola Arbiter,

setiap gerakan, setiap serangan, bahkan cara mereka menarik energi dari arena.

Pertarungan selanjutnya bukan sekadar adu pukul atau ledakan kekuatan. Ini adalah adu strategi, intuisi, dan keberanian. Adipati tahu, waktu terbatas. Setiap napas dari NYI Blorong seperti hitungan mundur.

dan kini Ia harus menggunakan kekuatan itu secara efisien, karena begitu napas itu habis, ia akan kembali di ambang kehancuran.

Debu beterbangan, api dari serangan sebelumnya masih membakar beberapa bagian arena.

Di tepi jurang, serpihan batu berguling, menandakan bahwa arena ini bukan hanya panggung pertarungan.

ini adalah makhluk hidup, menyatu dengan energi Arbiter dan Fragmen Jiwa yang tertinggal.

Adipati melangkah perlahan, setiap langkah menimbulkan getaran halus di tanah. Aura emasnya mulai berkedip, bergabung dengan cahaya hijau keemasan dari bantuan NYI Blorong.

Sebuah simfoni energi terbentuk di sekelilingnya, samar namun terasa kuat.

Ia menatap Arbiter yang menunggu di kejauhan.

Lawannya belum menyerang, tapi mata merah itu seperti pisau, menembus hingga ke inti jiwa.

Adipati tahu, ini bukan hanya pertarungan fisik. Ini ujian siapa yang benar-benar mampu bertahan, siapa yang mampu memanfaatkan rasa sakit dan bantuan orang lain menjadi kekuatan sejati.

Dan pada saat itu, sebuah tekad lahir dalam dirinya. Ia mungkin lemah, tapi setiap fragmen yang ia selamatkan adalah pengingat bahwa ia masih memiliki tujuan, masih memiliki alasan untuk bangkit, dan yang terpenting...

Kini ia masih memiliki kesempatan untuk membalikkan nasib.

“Aku… ora bakal nyerah… aku WIS bangkit..!”

Seluruh penonton Arena menahan napas. Debu berputar, cahaya hijau dan emas menari di udara. Arbiter menggeram, bersiap melancarkan serangan ketiga. Adipati menatap mata merah itu dengan mata yang kini bersinar, bukan hanya dengan keberanian, tapi juga dengan tekad yang lahir dari kerapuhan dan kesadaran bahwa hidup bisa diberikan kembali… namun selalu dengan harga.

Kini Debu mulai berputar, dan api menyala terang di tengah sorotan mata merah Arbiter…

Dan pertarungan itu menanti,

lebih ganas daripada sebelumnya.

More Chapters