WebNovels

Chapter 8 - chapter 8

Arena kembali berdetak—pelan, berat, seperti lonceng perang yang dipukul dari dua arah dunia. Getarannya merambat ke tanah, lalu menjalar ke udara, dan akhirnya masuk ke tulang Adipati, membuat tubuhnya terasa dingin dan panas dalam waktu bersamaan.

Retakan mulai menyebar ke mana-mana. Lantai yang tadinya utuh kini terpecah menjadi pulau-pulau kecil yang terangkat seperti lempeng batu yang diberi kehidupan. Di bawah sana, cahaya merah beriak, bukan seperti lava, tapi seperti laut makhluk hidup yang bergerak mengikuti napas seseorang yang sedang terbangun.

Adipati berdiri di tengah-tenga, napasnya teratur. Di sekeliling tubuhnya, simbol emas muncul satu per satu, berputar seperti roda kuno yang digerakkan angin purba. Darah Raiman di dalam tubuhnya berdenyut—lebih berat daripada sebelumnya, seolah setiap tetesnya membawa sisa-sisa suara leluhur yang memanggil dari jauh.

"> [Arena Jiwa – Gelombang Ketiga Diaktifkan]

Tingkat Bahaya: Tidak Terkalkulasi

Pengawas: Sang Penimbang Jiwa

Syarat bertahan: ???"

Tulisan itu muncul, seperti dipaksa keluar oleh kekuatan yang bahkan sistem itu sendiri tampak enggan menampilkannya. Adipati mengernyit.

“‘Syarat bertahan: ???’… Iki opo, guyon?”

Belum sempat ia selesai menggerutu, tekanan udara berubah. Bayangan para pengikutnya bergoyang, seperti ditekan oleh energi berat yang menahan langkah mereka.

Bahkan Penghancur Tulang Api Lv.3, makhluk besar yang sebelumnya meraung menantang alam, kini mundur setapak sambil memelototkan mata api biru yang menyusut oleh rasa gentar.

Ada sesuatu… sesuatu yang selama ini hanya mengamati dari balik kabut. Kini ia muncul ke permukaan.

 

Kini Sang Penimbang Jiwa membuka sayap hitamnya.dengan Ujung bulu tampak seperti serpihan malam yang dipatahkan, sementara matanya memancarkan cahaya ungu yang menyayat ruang. Begitu ia menurunkan sabit api gelapnya, udara bergetar seolah terjepit.

“Sira wis tangi, bocah getih Raiman… Saiki wektune kowe weruh tatanan sing luwih dhuwur.”

Ia menggambarkan sebuah lingkaran raksasa di udara. Lingkaran itu membeku, seperti kaca yang dibuat dari bayangan. Dari dalam retakannya, tiga sosok berjubah keluar perlahan—tinggi, dingin, dan tanpa wajah. Hanya dua titik cahaya merah kecil di balik kerudung hitam mereka.

" [Tiga Arbiter Jiwa – Suku Raksasapada]

Level: ???

Status: Hakim Gelombang Ketiga"

Adipati merasa tengkuknya menegang. Bukan takut—tapi lebih mirip naluri yang berteriak bahwa tubuhnya berada terlalu dekat dengan batas hidup dan mati. Darah emasnya berputar, seperti logam panas yang mencari bentuk baru.

> “Adipati,” suara leluhur seketika muncul di nadi dan tulangnya.

“Iki dudu peperangan kanggo nyawa, nanging pangadilan jiwa. Saben gerakmu dicathet.”

Adipati meneguk ludah.

“Terus… nek salah? Opo akibaté?”

Leluhur itu hanya tertawa lirih—tawa yang membuat bulu kuduk berdiri.

> “Yen salah… lenyap saksampurnané.”

 

Salah satu Arbiter mengangkat tangan di dengan gerakan pelan seperti seseorang yang memutuskan hidup seseorang hanya dengan menunjuk.

Arena langsung meledak menjadi badai kaca, batu, dan cahaya merah.

Adipati hampir tak sempat mengangkat tangan ketika sebuah bayangan raksasa muncul dari kakinya.

Penghancur Tulang Api Lv.3 menegakkan tubuhnya, menahan badai itu dengan punggung besar penuh retakan. Suara tulangnya yang patah terdengar menyakitkan.

Dalam hitungan detik, makhluk itu pecah menjadi abu.

" [Pengikut Jiwa Gugur]"

Adipati tertegun. Itu bukan pertarungan. itu lebih mirip pembantaian oleh aura sepihak.

“T-tekanan aura tok… bisa ngancurké level 3?”

Arbiter kedua melangkah maju. Udara melengkung seperti dilumat oleh kekuatan yang tak punya bentuk.

Lingkaran hitam muncul di tanah.

Tarikan itu bukan seperti hisapan.

Tapi Lebih mirip… sesuatu yang sedang mencabut udara paksa dari dunia lain.

“Jebakan vakum jiwa…” gumam Adipati lirih.

Urat emas di tangannya memanas.

"> “Nereseping Jiwo… aktif.”

Cahaya emas meledak dari tubuhnya, menekan tarikan hitam itu hingga udara bergetar keras seperti gong dipukul.

Arbiter pertama mendadak menghilang dan muncul tepat di depan wajah Adipati.

Refleksnya bergerak lebih dulu daripada pikirannya.

Enam bayangan pengikut melompat dari belakangnya, memadat menjadi tubuh berwujud yang menghantam Arbiter dari samping.

Benturan itu membuat Arbiter terhuyung… tapi hanya sebentar.

Adipati mengusap sudut bibirnya yang berdarah.

“Dadi ngono… ora iso ngawur. Kudu taktik.”

 

Arbiter kedua mengacungkan tongkatnya ke langit.

Lingkaran merah raksasa muncul, lalu pecah menjadi hujan cahaya yang jatuh seperti anak panah neraka.

“PAYUNG!” teriak Adipati.

17 pengikutnya bergerak hampir bersamaan, membentuk kubah di atasnya. Cahaya merah menghantam tubuh mereka.

Satu per satu, mereka pecah menjadi abu.

> [Pengikut Gugur: 6]

[Pengikut Gugur: 8]

[Pengikut Gugur: 11]

Adipati memejam mata—frustrasi, marah, sedih, bercampur tanpa bisa dibedakan.

“Njancuk… gelombang iki elek tenan.”

Saat cahaya terakhir berhenti jatuh, hanya empat pengikut yang tersisa. Arena menjadi sunyi. Debu dan cahaya berputar pelan, seakan sedang menatap Adipati yang terengah dan berdarah.

Ia melihat ketiga Arbiter itu.

Tak satu pun terluka.

Adipati menarik napas panjang.

> “Yen iki pangadilan… mongko aku sing bakal mutusne pilihan.”

 

Sang Penimbang Jiwa akhirnya turun satu langkah..

Sayap hitamnya yang mengembang membuat pulau-pulau batu di arena pecah sekaligus. Debu emas jatuh seperti hujan cahaya. Adipati nyaris tidak bisa berdiri karena tekanan itu.

Namun darahnya… berubah.

Aksara di kulitnya menyatu, membentuk simbol panjang yang menyala di dada. Darah emasnya bergolak seperti logam yang dipanaskan sampai titik batas.

"> [Mode Jiwa Raiman – Tahap 1]

Atribut naik berkali lipat.

Aksara Darah: Sira-Agni terbuka.

Durasi: 90 detik."*

Arbiter pertama menyerang lebih cepat dari sebelumnya.

Adipati tersenyum kecil.

“Wis wayahe…”

Ia melompat—lebih cepat dari cahaya emas yang menyambar di belakangnya. Tinju emasnya menghantam dada Arbiter, menciptakan suara seperti seribu gong yang dipukul serempak.

Arbiter terlempar sampai memecahkan pilar batu.

Arena hening sejenak.

"> [Arbiter: Tubuh Material Hancur]

Inti Jiwa Terlepas."

Adipati mengangkat tangan.

“Serap.”

Inti jiwa itu meledak menjadi cahaya merah keemasan dan masuk ke dalam dadanya.

> [Fragmen Jiwa +120]

Aksara Darah tumbuh.

"_"

Arena itu kembali bergetar hebat—kali ini bukan sekadar retakan yang merambat, tetapi seperti seluruh dunia sedang menarik napas terakhir sebelum meledak.

Gumpalan cahaya merah di bawah jurang memusat, berputar seperti pusaran raksasa yang menelan cahaya lain di sekitarnya.

Lalu…ada sesuatu tiba-tiba muncul dari kegelapan,

Bukan wajah, bukan makhluk, bukan roh.

Sebuah mata tunggal yang sebesar pulau, memecah kegelapan dari kedalaman.

Tatapannya tidak mengarah pada tubuh Adipati ,melainkan menembus jauh, seakan menyelami inti jiwanya.

Waktu seakan berhenti.

Angin tak lagi bergerak.

Debu yang melayang membeku di udara.

Para pengikut Adipati tak berani menghela napas.

Ketika cahaya merah berkedip, tulisan besar terbentuk di udara, membakar kabut seperti api yang menelan minyak:

"[Gelombang Ketiga – PENIMBANGAN UTAMA]

Syarat: Pertaruhkan seluruh jiwa.

Resiko Kegagalan = lenyap dari seluruh lapisan keberadaan."

Adipati menatap tulisan itu tanpa berkedip.

Untuk sesaat, jantungnya terasa menolak ritme tubuh...

seolah darah Raiman di dalamnya mencoba takut akan sesuatu.

Namun bukannya gentar, bibirnya kini melengkung.

Pelan...

Dingin...

Seakan ia baru saja mendengar tantangan yang sudah lama ditunggu.

Aksara-aksara Jawa bertinta emas yang menempel di kulitnya kini mulai bergerak

aksara itu ,tidak lagi seperti goresan, tetapi seperti roda kuno yang digerakkan oleh kekuatan yang terlalu tua untuk disebut jenisnya.

Cahaya mereka menari, berkumpul di sekitar dada, membentuk pusaran halus yang berputar mengikuti napasnya.

Adipati mengangkat wajah.

Sedangkan Tatapan mata raksasa itu— bukan bertemu dengan matanya sendiri.

Ia tahu.

Gelombang ini berbeda dari apa pun yang pernah ia hadapi.

Gelombang ini tidak sekadar menilai kekuatan…

tapi menimbang seluruh jiwanya.

Tekanan itu menghujam seperti gunung runtuh.

Namun ia tetap berdiri tegak.

Semburat senyum kembali muncul di bibirnya.

Lalu, dengan suara serendah desir badai yang baru lahir, ia berbisik:

“Yen ngono… ayo diwiwiti.”

Dan pada detik itu juga, seluruh arena seperti menahan nafas..

seolah dunia sedang memutuskan apakah ini akan menjadi akhir sebuah kisah…

atau awal dari takdir yang belum pernah ditulis siapa pun.

More Chapters