WebNovels

Chapter 1 - Teman Tapi Menikah

BAB 1 – Awal yang Tak Terduga 

Hujan Jakarta selalu membawa kenangan. Bau aspal basah dan rintik-rintik yang menari di kaca jendela membuat suasana terasa lebih sunyi dari biasanya. Di dalam sebuah kafe berinterior hangat bernama Kopikini, seorang perempuan duduk termenung, mengaduk-aduk cappuccino-nya yang sudah dingin sejak sepuluh menit lalu.

Namanya Rania Ardelia. 27 tahun. Mandiri, keras kepala, dan baru saja dijodohkan.

"Maaf lama, macetnya parah banget," suara laki-laki terdengar dari belakangnya.

Rania menoleh. Seorang pria dengan hoodie abu-abu dan celana jeans lusuh menarik kursi di depannya. Rambutnya agak berantakan, tapi senyumannya... selalu hangat seperti dulu.

"Mas Dimas," gumam Rania lega.

Dimas Pradipta. Sahabat Rania sejak mereka masih suka rebutan es lilin di depan sekolah.Sekarang dia jadi fotografer lepas yang kadang lebih sering keliling kota daripada pulang ke rumahnya sendiri.

Dimas menaruh kameranya di samping kursi. "Kenapa mukamu kayak abis ditinggal nikah?"

Rania hanya mengangkat alis. "Nggak jauh beda, sih."

Dimas berhenti sejenak, lalu menyipitkan mata. "Tunggu, jangan bilang... dijodohin?"

Rania mengangguk pelan sambil meneguk sisa kopinya. "Kata Mama, ini 'kesempatan emas.' Anak temen arisan mereka, katanya kerja di luar negeri, mapan, sholeh, tinggi, ganteng—ya, you name it."

Dimas mendecak. "Cuma kurang satu: kamu nggak kenal dia."

"Exactly."

Hening sejenak. Dimas menatap keluar jendela, menonton tetesan air hujan turun membasahi trotoar.

"Kamu nolak dong?" tanyanya kemudian.

Rania menghela napas. "Udah. Tapi Mama bilang umur aku udah 'kepalang tanggung.' Kalau ditolak sekarang, belum tentu dapat yang lebih baik nanti."

Dimas mendesah panjang, lalu bersandar di kursinya. "Kenapa orang tua suka mikir hidup anak itu kayak pasar saham ya? Harus investasi sekarang biar nggak rugi nanti."

Rania tertawa kecil. Tapi tawanya hambar. Matanya kosong.

"Aku capek, Mas. Hidup aku udah cukup rumit. Karier, kerjaan, lembur, deadline... dan sekarang disuruh nikah sama orang yang bahkan nggak aku kenal?"

Dimas menatapnya. Lama. Lalu tiba-tiba tersenyum kecil.

"Kalau gitu... gimana kalau kamu nikah sama aku aja?"

Rania menoleh cepat. "Hah?"

Dimas mengangkat bahu seolah itu ide paling masuk akal di dunia. "Aku serius. Kenapa nggak? Kita udah sahabatan belasan tahun. Kamu tahu aku, aku tahu kamu. Kita pernah lihat versi terburuk satu sama lain."

Rania menatapnya tak percaya. "Kamu mabuk ya?"

"Aku belum minum kopi. Tapi serius, Ran. Kalau kamu terpaksa nikah sama orang yang nggak kamu kenal... mending sama aku aja."

"Kita sahabat, Mas. Nikah itu bukan main-main."

Dimas mencondongkan tubuhnya, menatap Rania dengan ekspresi yang belum pernah Rania lihat sebelumnya. Serius... dan sedikit rapuh.

"Aku tahu, Ran. Justru karena itu. Aku nggak mau kamu nikah cuma karena disuruh. Aku mau kamu nikah karena kamu nyaman, karena kamu tahu kamu aman."

Suasana kafe mendadak terasa senyap. Bising hujan terdengar lebih jelas. Rania menatap wajah Dimas—wajah yang selama ini hanya ia lihat sebagai "teman." Tapi kali ini... rasanya berbeda.

"Dan kalau ternyata... kita gagal?" suara Rania pelan.

Dimas tersenyum, menenangkan. "Kita udah gagal banyak hal bersama, Ran. Tapi satu hal yang selalu kita pegang kita nggak ninggalin satu sama lain."

Rania terdiam. Tangannya meremas cangkir yang sudah dingin. Di luar sana, hujan mulai mereda. Tapi di dalam hatinya... badai baru saja dimulai.

Dan ia tahu, hidupnya tidak akan sama lagi setelah malam itu.

More Chapters