WebNovels

Chapter 4 - BAB 4 – Janji Pernikahan

Hari itu datang lebih cepat dari yang Rania duga.

Di pelaminan, lampu-lampu gantung berkelap-kelip seperti bintang. Musik instrumen lembut mengalun mengiringi suasana, dan aroma bunga melati menguar di udara. Semua terasa indah... terlalu indah untuk sebuah pernikahan yang katanya "tanpa cinta."

Rania berdiri di belakang tirai ruang rias, mengenakan gaun pengantin berwarna putih gading. Bunga melati terselip rapi di sanggulnya. Matanya menatap pantulan dirinya di cermin cantik, anggun, tapi... kosong.

"Deg-degan?" tanya Alya, sahabat kantornya yang sekaligus jadi bridesmaid hari itu.

"Banget," jawab Rania pelan.

"Kamu masih bisa mundur, lho. Ini hidup kamu, Ran. Bukan skrip sinetron."

Rania menoleh. "Terlambat. Kita udah sampai titik ini."Lalu dia tersenyum kecil. "Lagipula, ini bukan drama. Ini realita. Dan aku milih jalan ini."

Sementara itu, di sisi lain ruangan...

Dimas berdiri di depan cermin dengan jas hitam pas badan. Kemeja putih dan dasi abu-abu melengkapi penampilannya yang, menurut adik perempuannya, "lebih ganteng dari biasanya."

Namun yang ada di kepala Dimas bukan soal penampilan. Tapi soal Rania.Sahabatnya. Calon istrinya. Teman yang pernah ia temani menangis karena ujian matematika. Teman yang tahu betapa kacaunya hidupnya setelah ayahnya meninggal. Teman... yang kini akan jadi istrinya dalam hitungan menit.

"Mas," panggil Ibu Dimas pelan dari balik pintu. "Kamu udah siap?"

Dimas menarik napas panjang. "Insya Allah."

"Kalau kamu masih ragu, bilang sekarang. Jangan karena tanggung, kamu korbankan perasaan Rania."

Dimas membuka pintu dan menatap ibunya. "Aku nggak ragu, Bu. Aku mungkin belum bisa bilang aku cinta... tapi aku tahu, aku akan jagain dia seumur hidupku."

Akad nikah berlangsung sederhana tapi khidmat.Ayah Rania sendiri yang menjadi wali.

Dimas duduk bersila, tangannya mantap menjabat tangan ayah Rania.Suaranya tenang saat melafalkan ijab kabul:

"Saya terima nikahnya Rania Ardelia binti Syamsul Bahri dengan mas kawin seperangkat alat salat dan logam mulia 10 gram, tunai."

"SAH!" seru para saksi serempak.Tepuk tangan dan isak tangis kecil mewarnai ruangan. Rania menunduk, matanya berkaca-kaca. Bukan karena sedih. Tapi karena realita pernikahan itu kini benar-benar nyata.

Malam harinya, di kamar hotel tempat mereka menginap setelah resepsi...

Rania duduk di tepi ranjang, membuka heels pelan-pelan. Gaun pengantin sudah ia ganti dengan piyama satin putih. Rambutnya digerai. Matanya tampak lelah tapi tetap cantik.

Dimas muncul dari kamar mandi dengan kaus putih dan celana training. Ia terlihat canggung, meskipun mereka sudah mengenal satu sama lain seumur hidup.

Mereka saling tatap. Lalu tertawa.

"Lucu ya," kata Dimas. "Biasanya kita nonton film Marvel bareng... sekarang kita duduk di kamar pengantin."

Rania tertawa pelan. "Dan biasanya kita rebutan bantal. Sekarang harusnya rebutan pelukan?"

Dimas mendekat lalu duduk di ujung ranjang.Wajahnya mendadak serius. "Ran... sebelum semuanya jadi semakin rumit, aku cuma mau bilang satu hal."

Rania menatapnya. "Apa?"

"Aku tahu kita mulai semua ini dari kesepakatan. Bukan cinta. Tapi mulai malam ini... kamu istriku. Dan aku akan memperlakukan kamu sebagai itu. Bukan cuma sahabat. Tapi juga pasangan hidup."

Rania menunduk. Hatinya bergetar pelan. Kalimat itu sederhana, tapi terasa sangat dalam.Dimas melanjutkan:

"Tapi aku juga janji. Aku nggak akan maksa kamu untuk berubah. Aku tetap mau kita nyaman. Kalau kamu butuh waktu... aku akan tunggu."

Rania tersenyum, menatap laki-laki yang kini sah menjadi suaminya.

"Terima kasih, Mas."

Dimas mengulurkan tangan. "Mau tos dulu, istri sahabatku?"

Rania tertawa, menepuk tangannya pelan. "Tos dulu... suami cadangan yang berubah jadi tetap."

Malam itu, mereka tidur bersebelahan dengan jarak satu bantal, dan hati yang mulai tak lagi menolak untuk saling mendekat.

More Chapters