Kamis pagi, matahari menyelinap lewat celah tirai jendela kamar apartemen. Rania sudah bangun lebih dulu, berdiri di depan cermin sambil merapikan rambutnya yang dikuncir rapi. Ia mengenakan blouse putih dengan celana kerja high-waist terlihat simpel tapi profesional.
Dimas yang masih setengah sadar membuka mata perlahan, menoleh ke arahnya.
"Kamu cantik banget pagi ini," gumamnya pelan, suaranya masih berat karena baru bangun.
Rania menoleh dan tersenyum. "Lembur hari ini. Harus ke meeting sama klien baru bareng Arvin."
Mata Dimas menyipit. "Arvin? Arvin yang mana?"
"Yang divisi marketing, anak baru. Yang kemarin sempat barengan kita pas makan siang, inget nggak?"
"Oh. Yang rambutnya kayak anak boyband Korea itu?"
Rania tertawa. "Iya, itu."
Dimas tidak ikut tertawa. Ia hanya mengangguk, lalu berguling ke sisi tempat tidur.
Entah kenapa, hatinya terasa aneh. Seperti ada duri kecil yang tertancap.Dan duri itu bernama... Arvin.
Di kantor, Rania sedang berdiri di depan meja kerja, membuka presentasi PowerPoint saat Arvin datang membawa dua gelas kopi.
"Pagi, Bu Rania. Flat white tanpa gula. Favorite, kan?"
Rania kaget. "Kamu inget?"
Arvin tertawa. "Ya harus. Project kita bareng seminggu, masa gak tahu selera partner kerja?"
Rania menerimanya dengan senyum simpul. "Thanks, Arvin."
Tiba-tiba ponselnya berbunyi.
📲 [Dimas]: "Udah sampe kantor? Arvin udah dateng?"📲 [Rania]: "Udah. Ini lagi prepare meeting bareng dia. Why?"📲 [Dimas]: "Nggak. Nanya aja."
Tapi di apartemen, Dimas memandangi layar ponselnya lebih dari lima menit."Nanya aja," katanya, menirukan pesan yang ia ketik. Tapi kenyataannya, pikirannya mulai kacau.
Siapa sih Arvin sebenarnya?Kenapa dia tahu kopi kesukaan Rania?
Dan kenapa hatinya merasa seperti... diprovokasi?
Sore hari, Rania pulang dengan ekspresi lelah tapi puas. Ia membuka pintu dan mendapati Dimas sedang di dapur, memasak mie instan sambil mengenakan apron bertuliskan "King of the Kitchen."
"Kamu masak?" tanya Rania sambil menaruh tas.
"Cuma mie, nggak usah seneng dulu," jawab Dimas datar.
Rania menatapnya heran. "Kenapa? Mukamu kayak abis ditolak KPR."
"Nggak apa-apa."
Rania mendekat, duduk di meja dapur. "Mas, ada yang salah?"
Dimas menyendok kuah ke mangkuk sambil menghindari tatapan.
"Arvin itu suka kamu ya?"
Rania terdiam. Tak menyangka Dimas akan langsung menembak ke inti.
"Dia baik," jawab Rania hati-hati. "Tapi dia tahu aku udah nikah."
Dimas mendengus. "Tahu, tapi tetep aja ngasih kopi tiap pagi."
"Mas..." Rania menatapnya lembut. "Kamu cemburu?"
Dimas tidak menjawab. Hanya meletakkan mangkuk di depan Rania, lalu duduk di seberangnya.
"Enggak. Aku cuma nggak suka ada cowok yang lebih tahu kopi kesukaan istriku daripada aku."
Rania terkesiap. "Mas, kamu baru sadar aku suka flat white tanpa gula sekarang?"
"Hey, selama ini kamu minumnya cappuccino sama aku!"
Mereka sama-sama tertawa. Tegangan mulai mencair, tapi hati Rania justru makin hangat.
Setelah beberapa saat, Dimas berkata pelan, "Aku nggak suka perasaan ini, Ran. Bukan karena aku takut kehilangan kamu ke Arvin. Tapi karena... aku baru sadar... aku nggak pernah siap kalau kamu jatuh cinta ke orang lain."
Rania menatap Dimas, dan untuk pertama kalinya ia melihat ekspresi rapuh di wajah sahabatnya.Tanpa kata, Rania menyentuh tangan Dimas di meja.
"Aku belum jatuh cinta ke siapa-siapa, Mas. Tapi... aku mulai takut kalau suatu hari aku jatuh cinta ke kamu."
Malam itu, mereka tidak bicara lebih banyak.Tapi untuk pertama kalinya, mereka tidur dengan jarak yang lebih dekat dari biasanya.
Dan di ruang sunyi, dua hati yang dulu saling menjaga batas... mulai menghapus garisnya sendiri.