WebNovels

Chapter 3 - Bab 3

‎Hujan belum berhenti sejak sore. Jalanan aspal di daerah selatan kota dipenuhi genangan air dan lumpur, membentuk pantulan kelabu dari lampu jalan yang suram. Deretan bangunan tua dan bengkel-bengkel terbengkalai membuat kawasan ini seperti kota mati, meski justru di sinilah denyut pasar gelap berdenyut paling kuat.

‎Sebuah mobil hitam berhenti perlahan di depan gudang yang tampak tak terawat. Dua anak buah Chio turun lebih dulu, memeriksa sekeliling, lalu membuka pintu untuknya.

‎Chio keluar, mengenakan jas hitam dan sarung tangan kulit. Wajahnya tenang, tapi mata tajamnya mengamati setiap sudut jalan.

‎"Di dalam sudah menunggu," lapor salah satu orangnya, sambil menunduk sedikit.

‎Chio tidak menjawab. Ia hanya berjalan masuk ke dalam gudang, disambut aroma besi karat dan tembakau basi. Di dalam, sekelompok pria sudah berkumpul, berdiri kaku. Di antara mereka, berdiri seorang pria kekar berjaket denim lusuh, dengan bekas luka bakar di lehernya.

‎Pria itu adalah **Reo**, pengendali wilayah selatan yang sempat membangkang dan mengedarkan barang di luar kesepakatan.

‎"Chio," sapa Reo, nada suaranya seolah ramah, tapi penuh waspada. "Tidak menyangka kau akan datang sendiri ke sini."

‎Chio berhenti tiga langkah dari Reo. Tatapannya tajam, tak menyiratkan niat basa-basi.

‎"Aku datang karena peringatan tidak cukup."

‎Suasana mendadak menegang. Beberapa anak buah Reo mulai menggeser posisi, seolah siap pada situasi terburuk.

‎Reo menyilangkan tangan di dada. "Kami hanya mencoba bertahan. Kau tahu sendiri wilayah selatan tidak pernah jadi prioritas distribusimu."

‎Chio mendekat setengah langkah. "Bertahan tidak berarti mencuri jalur edarku. Aku tidak melarang siapa pun hidup. Tapi aku tidak akan membiarkan siapa pun mengambil apa yang bukan miliknya."

‎Reo tertawa kecil, tapi tawanya terdengar hambar. "Kau berbicara seolah kota ini milikmu."

‎Chio menatap lurus ke mata Reo. "Karena memang begitu."

‎Hening. Hanya suara air yang menetes dari langit-langit gudang dan dengung lampu neon yang terdengar. Anak buah di sisi kanan Chio bergerak pelan ke arah pintu belakang, memblokir satu-satunya jalan keluar.

‎Chio menurunkan sarung tangannya perlahan, lalu menyelipkan kedua tangan ke saku mantel.

‎"Ini bukan tawaran, Reo. Aku datang hanya untuk mengatakan: berhenti. Atau aku akan membuat semua ini berhenti untukmu."

‎Mata Reo menyipit. "Kau kira aku takut?"

‎"Aku tahu kau cukup cerdas untuk tidak ingin mayat-mayat di gudang ini jadi tajuk berita besok pagi."

‎Reo menahan napas. Selama ini dia berpikir Chio hanyalah bayang-bayang dari jaringan besar. Tapi malam ini, dia tahu—bayangan itu bisa datang sendiri dan menghantam langsung ke leher siapa saja.

‎Beberapa detik yang panjang berlalu.

‎Akhirnya, Reo menghela napas berat dan memberi isyarat kepada anak buahnya untuk menurunkan senjata mereka yang setengah tersembunyi.

‎"Baik," katanya pelan. "Kami akan mundur. Tapi wilayah ini butuh barang. Kalau kau tidak bisa atur jalurnya dengan baik, orang-orang akan kembali cari celah."

‎Chio menoleh sebentar pada salah satu orangnya, lalu kembali menatap Reo.

‎"Aku akan atur. Tapi mulai malam ini, jalur selatan kembali berada di bawah tanganku. Tidak ada distribusi tanpa perintahku. Dan siapa pun yang mencoba mengambil alih, akan berurusan langsung denganku. Satu kali pelanggaran, tidak akan ada peringatan kedua."

‎Reo mengangguk perlahan, meski sorot matanya belum sepenuhnya tunduk.

‎Chio lalu berbalik, berjalan keluar dari gudang tanpa terburu-buru, seolah sudah yakin tak akan ada peluru yang datang dari belakang. Hujan masih turun. Ia menaiki mobilnya kembali, pintu ditutup rapat di belakangnya.

‎Di dalam mobil, Bas menunggu dengan laporan singkat.

‎"Semuanya lancar. Jalur utara dan timur sudah bersih."

‎Chio menatap jendela, melihat bayangan samar dirinya sendiri di kaca.

‎"Jalur selatan juga akan kembali tenang."

‎Bas menoleh ke arah Chio. "Kalau Reza mencoba bermain lagi?"

‎"Dia tidak akan sempat," jawab Chio datar.

‎Mobil melaju menembus hujan dan kabut malam, membawa serta bayangan seorang pria yang tak pernah ragu untuk mengotori tangannya demi menjaga kekuasaan yang tak boleh disentuh.

‎Dan entah kenapa, di sela-sela sunyi pikirannya, wajah seorang wanita—dengan rambut dikuncir dan mata yang lelah—sempat melintas.

‎Sekilas saja. Tapi cukup untuk mengganggu sedikit ketenangannya.

Langit sore mendung, dan hujan mulai turun perlahan. Trotoar basah, orang-orang berlarian mencari tempat berteduh, dan udara dingin menyelinap di sela-sela kerah jas Nina saat ia menunggu bus di halte kecil di depan taman kota.

‎Hari ini melelahkan. Kantor dipenuhi rapat, permintaan mendadak dari divisi lain, dan email yang datang terus menerus. Nina hanya ingin pulang, menyeduh teh hangat, dan membungkus diri dalam selimut.

‎Bus tak kunjung datang. Ia menengadah, membiarkan beberapa tetes hujan jatuh di wajahnya.

‎"Tidak bawa payung?"

‎Sebuah suara tenang, dalam, datang dari samping.

‎Nina menoleh dan butuh beberapa detik sebelum mengenali pria itu.

‎"Oh… kamu." Bibirnya tersenyum kecil, agak canggung.

‎Chio berdiri di sampingnya, mengenakan jas gelap dan payung hitam besar di tangannya. Rambutnya sedikit basah, tapi ia tampak tenang, seperti biasa. Tidak tersenyum, tidak juga dingin. Hanya… netral.

‎"Sepertinya kita sering bertemu," lanjut Nina sambil tertawa kecil.

‎Chio mengangguk. "Kebetulan."

‎Mereka berdiri berdampingan dalam keheningan, hanya suara hujan dan kendaraan berlalu yang mengisi udara.

‎Chio memiringkan payungnya sedikit, membuat bagian hujan tak lagi mengenai sisi Nina.

‎Nina melirik. "Terima kasih."

‎"Tidak masalah."

‎Ia mencoba menebak. Pria ini bukan tipe yang banyak bicara. Ia tampak… asing dari keramaian. Tapi tidak berbahaya. Hanya seseorang yang mungkin lebih suka diam.

‎"Kamu tinggal di sekitar sini?" tanya Nina, mencoba sedikit basa-basi.

‎"Kadang-kadang ke daerah sini."

‎Jawaban itu menggantung. Tidak jelas, tapi cukup sopan. Nina tidak melanjutkan. Dia tidak merasa perlu tahu lebih banyak.

‎Chio sesekali melirik ke arahnya. Wanita itu tetap terlihat sama seperti sebelumnya—sederhana, sedikit lelah, tapi memiliki semacam ketenangan yang tidak bisa dijelaskan.

‎Dan yang terpenting… dia tidak tahu siapa dirinya. Dan tidak mencoba mencari tahu.

‎Itu membuatnya tetap berdiri di sana.

‎Nina kembali menatap ke jalan. "Kamu orang yang cukup misterius, ya."

‎Chio menoleh pelan. "Kenapa?"

‎"Entahlah. Muncul tiba-tiba. Diam. Tapi selalu pas. Seperti… bagian dari suasana."

‎Chio tidak menjawab. Hanya mengangguk kecil.

‎Bus akhirnya datang. Lampunya menyilaukan trotoar, dan suara remnya memecah keheningan mereka.

‎Nina melangkah lebih dulu. "Terima kasih untuk payungnya."

‎Chio hanya mengangguk.

‎Sebelum naik ke bus, Nina sempat menoleh. "Mungkin kita akan bertemu lagi. Atau tidak."

‎"Kalau kebetulan membawa kita ke arah yang sama," balas Chio pelan.

‎Pintu bus menutup. Chio berdiri di tempatnya, masih memegang payung yang kini kembali penuh hujan. Ia tidak bergerak selama beberapa saat, menatap bus yang menjauh, lalu berbalik dan berjalan menyusuri trotoar.

‎Di bawah mantel gelap dan langit yang kelabu, hanya ia yang tahu siapa dirinya. Dan hanya dia yang memilih… untuk tetap jadi bayangan bagi gadis itu.

‎Untuk saat ini.

More Chapters