WebNovels

Chapter 4 - Bab 4

Malam belum terlalu larut, tapi suasana di gudang pusat terasa lebih dingin dari biasanya. Lampu sorot menyinari sebagian ruang besar, meninggalkan sudut-sudut gelap yang membuat siapa pun enggan berdiri terlalu lama di sana. Di tengah ruangan, meja besar dipenuhi peta wilayah, dokumen pengiriman, dan catatan transaksi yang tidak pernah tercatat secara resmi.

‎Chio berdiri di ujung meja, membalik satu per satu laporan dengan alis sedikit mengernyit.

‎"Pengiriman ke barat gagal dua kali dalam satu minggu," katanya pelan.

‎Bas, yang duduk di kursi dengan kaki, mengangguk pelan. "Ada yang bermain di jalur tengah. Barang kita dicegat sebelum masuk ke tangan distributor."

‎Chio mengangkat pandangan. "Dicegat oleh siapa?"

‎"Belum jelas. Bisa dari kelompok Reo, atau bisa juga orang dalam. Terlalu rapi untuk kerjaan amatir."

‎Chio terdiam sejenak, lalu memanggil salah satu anak buahnya. "Panggil Teo dan Dio ke sini. Sekarang."

‎Pria itu langsung bergerak cepat keluar ruangan. Suasana di dalam semakin berat.

‎Bas melirik Chio. "Kau pikir ada yang bocor dari dalam?"

‎"Kalau benar begitu, berarti mereka sudah lebih dekat dari yang kita kira."

‎Tak lama kemudian, dua pria masuk: **Teo**, yang bertugas mengatur rute pengiriman, dan **Dio**, tangan kanan Bas untuk pengawasan lapangan.

‎"Kalian tahu kenapa kalian dipanggil," kata Chio tanpa basa-basi.

‎Keduanya mengangguk. Wajah mereka tegang.

‎"Barang yang hilang minggu lalu. Siapa yang terakhir pegang distribusinya?" tanya Chio.

‎"Saya," jawab Dio, cepat. "Tapi saya pastikan jalur aman sebelum pengiriman dimulai."

‎Teo menimpali, "Rute tengah seharusnya steril. Kita sudah bayar orang dalam untuk hal itu."

‎Chio mendekat, berdiri hanya beberapa langkah dari keduanya. "Berarti salah satu dari kalian berbohong. Atau kalian dibohongi dan tidak menyadarinya. Mana yang lebih buruk?"

‎Teo menunduk. Dio menggenggam tangannya erat.

‎"Berikan saya dua hari," kata Dio akhirnya. "Saya akan selidiki orang-orang saya. Kalau ada yang main dua kaki, saya yang akan bereskan."

‎Chio menatapnya lama. "Dua hari. Tidak lebih."

‎Ia memberi isyarat agar keduanya keluar. Bas menunggu sampai pintu tertutup.

‎"Kalau ternyata benar orang dalam?" tanya Bas perlahan.

‎"Kita habisi dia, dan orang yang membayarnya," jawab Chio dingin. "Tapi sebelum itu, aku ingin tahu siapa yang cukup berani menyentuh pengiriman kita."

‎Bas tersenyum miring. "Mungkin kau terlalu lama main aman. Sekarang musuhmu merasa kau mulai lunak."

‎Chio memutar tubuh, berjalan menuju rak senjata di pojok ruangan. Ia membuka salah satu laci rahasia dan mengambil pistol yang terlihat hampir seperti baru.

‎"Kalau mereka mengira aku lunak… mereka belum cukup mengenal siapa aku."

‎---

‎Malam itu, Chio memutuskan untuk tidak kembali ke apartemennya. Ia menghabiskan waktu di markas, menyisir ulang rute, memeriksa ulang setiap nama yang terlibat dalam pengiriman terakhir. Tidak ada yang bisa dipercayai sepenuhnya.

‎Di sela keheningan, pikirannya sempat melayang. Bayangan Nina berdiri di halte, tersenyum canggung di bawah payungnya, entah mengapa terus muncul.

‎Bukan saatnya.

‎Ia memaksa pikirannya kembali ke meja. Dunia ini tidak memberi ruang untuk lengah, apalagi bagi seseorang sepertinya. Satu kesalahan, dan semua yang dibangunnya selama bertahun-tahun akan hancur.

‎Ketukan pelan di pintu memecah kesunyian. Salah satu pengintai masuk dengan ekspresi serius.

‎"Kami menemukan kendaraan yang digunakan dalam penyergapan minggu lalu. Ditinggalkan di dekat perbatasan timur."

‎Chio bangkit berdiri. "Siapkan tim. Kita berangkat malam ini."

‎Ia menyambar jas hitamnya, wajahnya kembali tanpa ekspresi.

‎Kalau ada yang mencoba menyentuh wilayahnya, maka mereka harus siap untuk menanggung akibatnya.

‎Gudang tua di pinggiran kawasan industri kosong malam itu. Dindingnya berlumut, lampunya menggantung setengah mati, dan bau besi bercampur oli menguar di setiap sudut.

‎Tiga pria berlutut di tengah ruangan, tangan mereka diikat ke belakang. Wajah mereka babak belur, baju penuh noda darah dan tanah. Di belakang mereka berdiri empat orang anak buah Chio, berjaga diam, senjata siap jika dibutuhkan.

‎Chio masuk dengan langkah pelan tapi pasti. Jasnya tetap rapi, rambutnya masih tersisir. Ia bukan sosok yang akan kau duga berjalan ke ruangan ini untuk menghakimi seseorang. Tapi semua yang ada di sana—bahkan yang tak punya hati—merasakan hawa dingin saat pria itu muncul.

‎Bas mengikuti di belakang, memegang map yang sudah dipenuhi bukti dan foto-foto.

‎"Yang di tengah," kata Bas, membuka map. "Namanya Yasa. Salah satu anak buah Dio. Kita temukan di CCTV saat pengiriman kedua dicegat. Dia kabur beberapa menit sebelum serangan. Mengaku ke toilet, tapi rekamannya bilang lain."

‎Chio menatap ke arah Yasa.

‎"Dan dua lainnya?"

‎"Orang yang membantunya menyabotase distribusi. Salah satunya diam-diam berkomunikasi dengan kelompok Reo. Kita tangkap mereka saat hendak melintasi batas kota."

‎Chio berhenti beberapa langkah dari mereka. Ia tidak bicara. Hanya menatap.

‎Yasa menggigil. "Bos, saya… saya bisa jelaskan—"

‎Suara pistol memecah udara. Pria di sebelah kanan Yasa ambruk seketika, darah muncrat membasahi lantai. Teriakan langsung pecah.

‎Chio menurunkan pistolnya perlahan. "Satu orang bicara, dua lainnya diam. Satu pengkhianat, dua pendamping. Aku hanya butuh satu contoh."

‎Yasa bergetar hebat. Pria di sampingnya menangis. Darah masih menggenang dari tubuh yang mulai dingin di lantai.

‎"Aku beri waktu lima menit. Jelaskan semua. Siapa yang menyuruhmu, jalur mana yang dibocorkan, dan berapa yang kau ambil."

‎Yasa menangis. "Saya... saya cuma jalankan perintah, Bos. Saya butuh uang, anak saya sakit. Orang Reo datang—mereka tawari saya dua kali lipat dari upah biasa. Saya pikir… saya pikir ini bisa cepat. Mereka bilang tak akan melukai siapa-siapa."

‎Chio mendekat perlahan. "Dan kau percaya kata-kata musuhku lebih dari aturan yang kujaga?"

‎Yasa menunduk, air matanya bercucuran. "Saya salah… saya tahu saya salah. Tapi saya mohon... jangan habisi saya…"

‎Chio mengamati wajah pria itu sejenak. Lalu ia menoleh pada Bas. "Ambil nama-nama yang disebut. Lacak sampai ke akarnya."

‎Bas mengangguk. "Akan segera aku urus."

‎Chio kembali menatap Yasa. "Kalau kau bisa mengkhianatiku demi uang, apa jaminannya kau tak akan menjual informasi lagi jika mereka tawarkan lebih banyak?"

‎"Tidak… saya tidak akan—"

‎*Tiga tembakan.* Satu di dada. Satu di perut. Satu di kepala.

‎Tubuh Yasa ambruk menimpa genangan darah rekannya. Pria yang tersisa jatuh terduduk, wajahnya pucat pasi.

‎Chio menyeka pistolnya dengan kain hitam. Lalu menatap pria terakhir.

‎"Buka ikatannya. Kirim dia kembali ke Reo. Pastikan dia melihat dua mayat ini dikubur bersama kakinya sendiri."

‎Anak buahnya langsung mengangguk dan menyeret pria itu pergi.

‎Setelah semua selesai, Chio berdiri sendiri di tengah gudang yang mulai penuh aroma kematian. Ia tidak gemetar. Tidak mual. Tidak marah. Ia hanya diam—tenang—seperti biasa.

‎Bas kembali mendekat. "Tidak ada yang akan berani coba lagi dalam waktu dekat."

‎"Berikan mereka waktu," ujar Chio dingin. "Pasti akan ada yang cukup bodoh untuk berpikir aku sedang melemah."

‎Ia berbalik, berjalan keluar dari gudang yang kini lebih pantas disebut kuburan. Malam masih panjang. Dan kekuasaan… harus tetap dijaga dengan rasa takut.

‎Karena bagi Chio, **kesetiaan bukan soal janji—tapi soal siapa yang tetap hidup setelah malam berakhir.

More Chapters