Hening menyelimuti gudang tua yang sudah lama ditinggalkan. Di tengah ruang gelap itu, dua pria duduk di atas peti kayu besar, wajah mereka tegang. Mereka adalah Hamar dan Lut—dua anak buah Vino yang diam-diam telah lama menyimpan ketidakpuasan.
Hamar memainkan korek api di tangannya. "Aku tidak yakin soal ini, Lut. Kalau Reo tau kita ketemu orang-orangnya Chio, kita selesai."
Lut mendengus. "Kita juga akan selesai kalau tetap ikut orang yang makin gila setiap hari. Kau lihat sendiri, kan? Tiga tempat hancur dalam sekejap. Dan Vino…? Cuma bisa nyalahin semua orang kecuali dirinya sendiri."
Langkah kaki bergema dari sudut gudang.
Pras muncul dari balik gelap, mengenakan jaket hitam dan topi. Ia tidak membawa senjata yang terlihat, tapi auranya cukup untuk membuat keduanya menegang.
"Tenang. Aku tidak datang untuk menghabisi kalian," ucap Pras datar.
Ia berhenti beberapa meter dari mereka. "Kami tahu kalian punya masalah. Gaji kalian ditunda, beban kerja dobel, dan yang paling parah—kalian dijadikan kambing hitam kalau ada pengiriman yang bocor."
Hamar menelan ludah. "Kau tahu terlalu banyak."
Pras menatap mereka dalam-dalam. "Aku tahu cukup untuk membuat pilihan kalian sederhana: hancur bersama Reo, atau bertahan dengan kami."
Lut menghela napas. "Kau mau kami jadi mata-mata?"
Pras menggeleng. "Bukan. Kami sudah tahu rencana kalian dari jauh-jauh hari. Tapi yang kami butuh adalah waktu. Sedikit gangguan kecil yang bisa membuat Reo berpikir kalian berkhianat… dan mengeksekusi kalian sendiri."
Keduanya saling pandang.
"Dan sebagai gantinya?" tanya Hamar.
"Kalian hilang. Kami sediakan identitas baru. Kota baru. Mulai dari nol. Hidup."
Diam. Lalu anggukan kecil. Perjanjian setuju. Dalam dunia seperti ini, kesempatan hidup adalah mata uang yang paling berharga.
Dua hari kemudian, Rel berdiri di tengah ruang pertemuan sempit. Laporan demi laporan disodorkan ke tangannya. Jalur pengiriman dari arah lain bocor—lagi. Senjata pesanan dari luar negeri hilang di pelabuhan—lagi.
Dan yang membuatnya mendidih: dua anak buah kepercayaannya, Hamar dan Lut, tidak muncul selama dua hari. Hilang tanpa jejak.
"Aku tidak percaya ini kebetulan!" teriaknya, membanting meja.
Vino melangkah mundur. "Tapi mereka tidak pernah menunjukkan tanda-tanda…"
"Diam!" potong Reo. "Kau bilang itu juga minggu lalu!"
Ia berjalan maju-mundur, napasnya berat. "Kita dikurung dalam permainan yang tidak kita mulai. Dan aku mulai sadar... ini bukan lagi soal wilayah. Ini soal kehancuran total. Dia ingin menghapus kita dari peta."
"Lalu?" Vino menatapnya. "Apa kita biarkan semua ini terjadi? Kita tidak bisa terus bertahan."
Reo menatap Vino, dingin. "Cari mereka. Kalau masih hidup—habisi. Kalau sudah mati—kuburkan dua kali."
Sementara itu, di tempat yang jauh lebih tenang—ruang bawah tanah dengan dinding beton dan pencahayaan hangat—Chio duduk di meja panjang bersama Pras dan Bas. Di depannya ada laptop yang menampilkan gambar satelit dan laporan digital.
"Reo mulai panik," ujar Pras.
Bas menambahkan, "Orang-orangnya mulai mempertanyakan kepemimpinannya. Dan dua orang yang kita bantu kabur itu sudah dalam perjalanan keluar kota."
Chio menyilangkan jari-jarinya. "Pecahkan pusatnya dulu. Kita sudah rusak jaringannya. Sekarang rusak keyakinannya."
Ia menunjuk peta digital.
"Di sinilah titik selanjutnya—pabrik sintetis kecil mereka di daerah sini . Produksi skala kecil tapi punya nilai tinggi. Rel bergantung pada itu untuk mempertahankan uang kas mingguan."
"Sudah kuatur orang untuk menyusup," kata Pras. "Kita bisa hancurkan pabrik itu dari dalam. Atau… kita jebak dia untuk datang ke sana sendiri."
Chio mengangguk pelan. "Bagus. Aku ingin dia merasa semuanya aman... sebelum kita runtuhkan semuanya sekaligus."
Bas menyeringai. "Seperti mencabut jembatan saat mereka berjalan di tengah-tengahnya."
Malam itu, Reo menerima pesan dari nomor tidak dikenal.
> *"tempat A aman. Mereka tidak tahu tempat ini. Produksi berjalan normal."*
Ia memandang pesan itu lama, lalu menghela napas lega untuk pertama kalinya dalam seminggu. Akhirnya satu tempat yang selamat.
Ia tak tahu, pesan itu dikirim oleh orang yang sudah lama tidak lagi bekerja untuknya.
Dua belas jam kemudian, pabrik itu meledak dalam kobaran api yang terlihat dari jarak dua kilometer. Tidak ada korban jiwa—karena sudah kosong. Tapi bangunan itu luluh lantak.
Pagi harinya, Reo menerima foto lewat email. Gambar dirinya sedang duduk di bar, dikelilingi anak buahnya. Sudut pengambilan menunjukkan jelas: seseorang sedang memata-matai dari dekat.
Judul email itu hanya satu kalimat:
**"Langkahmu terlalu lambat."**
Di tempat lain, Chio menatap foto yang sama—dari sisi lain. Ia tahu Reo sekarang sedang merasa dunia mengepungnya.
"Biarkan dia berpikir dia diawasi dari segala sisi," gumam Chio. "Ketika musuh merasa mata selalu mengawasinya, dia akan mulai menghancurkan dirinya sendiri… bahkan tanpa kita menyentuhnya lagi."
Hujan turun deras sejak pagi, membasahi trotoar dan jendela-jendela kaca kantor tempat Nina bekerja. Jalanan Kota terlihat lebih lambat dari biasanya—seperti waktu sengaja diperlambat agar semua orang bisa diam sejenak, mengamati dan meresapi.
Nina duduk di balik meja kerjanya di lantai tujuh, menatap layar monitor yang penuh dengan spreadsheet dan notulen rapat. Di meja kecil sebelahnya, ada mug kopi setengah penuh dan sepotong roti yang sejak pagi belum sempat disentuh.
"Kamu kenapa, Nin? Dari tadi bengong aja." suara itu datang dari Rani, sahabat sekaligus rekan sekantornya yang duduk tak jauh dari sana.
Nina tersenyum samar. "Enggak. Cuma lagi… kosong aja."
"Lagi mikirin si cowok minimarket itu ya?"
Nina menoleh cepat. "Hah? Nggak lah!"
Rani menaikkan alis. " kamu pikir aku nggak tahu kamu senyum sendiri tiap kali nyebut-nyebut 'pria misterius' itu?"
Nina tertawa kecil, lalu mengalihkan pandangan ke luar jendela. "Dia bukan siapa-siapa, Ran. Kita cuma kebetulan ketemu. Dua kali."
"Dan dua-duanya berkesan," goda Rani.
Nina menghela napas. Ia tidak tahu mengapa, tapi bayangan pria asing itu—yang entah kenapa tampak sangat tenang meski hanya membeli air mineral—selalu mampir di pikirannya. Bahkan saat mereka tidak bicara banyak di café beberapa waktu lalu, ada sesuatu dari cara pria itu memandang sekeliling... seakan ia menyimpan dunia lain di balik tatapannya.
"Kadang, Ran… aku merasa dia bukan orang biasa."
Rani menyipitkan mata. "Jangan bilang kamu mikir dia agen rahasia? Mafia? Atau alien?"
Nina tertawa. "Kamu kebanyakan nonton film ."
"Ya, siapa tahu kan? Pria misterius, jarang bicara, muncul di waktu yang enggak biasa… ciri khas sekali."
"Tapi serius," lanjut Nina pelan. "Dia punya aura… seperti seseorang yang... memikul beban besar. Tapi tetap tenang. Aku… nggak tahu kenapa aku bisa mikir sejauh itu. Mungkin aku yang aneh."
Rani menatapnya sebentar, lalu tersenyum. "Nin, kamu bukan aneh. Kamu cuma... penasaran. Dan itu manusiawi."
Nina hanya tersenyum samar. Tapi jauh di dalam dirinya, ada satu hal yang ia hindari untuk pikirkan terlalu dalam: **kehadiran pria itu membekas lebih dari seharusnya.**
Waktu makan siang, mereka memilih ke café kecil di bawah kantor. Tempat itu tidak ramai, hanya beberapa pekerja yang duduk dengan laptop dan kopi. Di sudut, radio kecil memutar lagu lama, menciptakan suasana nyaman di tengah hujan yang mengguyur tanpa henti.
Nina duduk sambil mengaduk kopi. Pandangannya kembali menerawang.
"Hey," Rani menyentil pelan. "Kalau kamu beneran penasaran, kenapa enggak cari tahu? Siapa tahu dia emang sering ke café tempat kalian ketemu itu."
Nina tertawa kecil. "Aku enggak segila itu, Ran."
"Ya udah, biar aku aja yang cari."
"Rani!"
Mereka tertawa bersama.
Namun di tengah tawa itu, ada satu hal yang tak mereka sadari—seorang pria berjaket hitam masuk ke café itu. Ia hanya memesan kopi lalu duduk di pojok, tak jauh dari tempat mereka.
Bukan Chio.
Tapi seseorang dari dunia Chio.
Malam harinya, saat Nina pulang dan menunggu taxi di depan gedung kantornya, hujan masih belum berhenti. Ia memeluk jaketnya erat-erat, melihat air hujan yang turun seperti tirai tak berujung.
Dari kejauhan, sebuah motor melintas. Helm pengendaranya gelap, jaket denimnya basah oleh hujan. Motor itu melambat sejenak… seperti memperhatikan Nina… lalu melaju lagi tanpa berhenti.
Nina tak menyadari itu sepenuhnya.
Tapi di ujung jalan, di bawah lampu jalan yang redup, Chio berhenti sejenak. Ia menatap ke arah gedung yang baru saja ia lewati.
**Ia tahu Nina ada di sana.**
Bukan karena ia mengikuti. Tapi karena **Pras** diam-diam memberitahu Chio bahwa **seseorang dari kelompok Reo terlihat berada di café dekat kantor Nina**. Dan itu cukup alasan untuk membuat Chio memastikan sendiri.
Karena entah kenapa… ada sesuatu dalam diri Nina yang Chio belum mengerti. Tapi ingin ia jaga tetap utuh.
Chio menatap hujan sebentar, lalu melaju kembali, menyatu lagi dengan bayangan kota.