WebNovels

Chapter 2 - Bab 2

Pagi itu, kantor asuransi tempat Nina bekerja sudah mulai dipenuhi dengan aktivitas biasa. Suara telepon berdenting, dering notifikasi email, dan obrolan ringan antar karyawan menjadi latar belakang yang tak pernah berubah.

Nina melangkah masuk dengan langkah yang sedikit berat. Kopi hitam yang ia minum dari termos di tangan belum cukup untuk mengusir rasa kantuk dan beban di pundaknya. Sejak pertemuan singkat di kafe itu, pikirannya sulit fokus sepenuhnya pada pekerjaan.

Di meja kerjanya, tumpukan dokumen menanti untuk diolah. Laporan klaim, data pelanggan, dan revisi anggaran yang harus dikirim sebelum akhir minggu. Semua tugas itu seolah berputar tanpa akhir.

Tak lama, Rani, sahabat dan rekan sekantornya, mendekat dengan senyum cerahnya yang selalu mampu mengubah suasana hati Nina.

"Hai, Nin! Kamu keliatan capek banget, nih. Kerjaan lagi banyak ya?" tanya Rani sambil menaruh sebuah mug kopi panas di meja Nina.

Nina tersenyum lelah. "Iya, sih. Deadline makin mepet, dan laporan ini bikin kepala aku mumet."

Rani duduk di kursi sebelahnya, membuka laptopnya, dan mulai mengerjakan tugasnya sendiri. "Kamu harus istirahat juga, lho. Jangan sampai burnout."

"Makasih, Ran. Aku tahu, tapi susah banget kalau semua serba mendesak kayak gini."

Sejenak, mereka terdiam, tenggelam dalam hiruk-pikuk kantor yang terus berjalan.

Namun, di balik kesibukan itu, Nina masih sering melamun, mengenang pria misterius di kafe yang entah mengapa membekas di pikirannya.

Di tengah-tengah pekerjaannya, suara dering telepon mengagetkan Nina.

"Halo, ini Nina?" suara itu terdengar familiar tapi asing.

"Ya, benar. Ada yang bisa saya bantu?"

"Oh, maaf, salah sambung."

Nina menutup telepon dengan rasa penasaran yang makin dalam.

Siang hari berlalu dengan cepat. Nina dan Rani makan siang bersama di kantin kantor, membicarakan hal-hal ringan agar pikiran Nina tidak terlalu penuh.

"Kalau kamu sibuk banget, coba deh ambil waktu buat jalan-jalan sebentar, atau sekedar duduk di taman," saran Rani sambil menggigit saladnya.

Nina mengangguk. "Iya, aku juga pengen. Kadang aku merasa hidup ini cuma berputar di kantor dan rumah."

Rani tersenyum, lalu mengalihkan pembicaraan ke topik lain agar Nina tidak terlalu tenggelam dalam pikiran.

Setelah makan siang, Nina kembali ke meja kerjanya. Namun, rasa gelisah makin menjadi-jadi. Setiap kali matanya tertuju pada jam dinding, pikirannya melayang ke wajah pria di kafe—tatapan matanya yang dingin tapi penuh rahasia.

Pekerjaan terasa semakin berat. Laporan-laporan yang seharusnya bisa selesai cepat, kini terasa seperti gunung yang harus didaki.

Menjelang sore, bos mereka, Pak Harry , datang dengan ekspresi serius.

"Nina, aku butuh laporan revisi ini selesai hari ini juga. Jangan sampai ada kesalahan," katanya tegas.

Nina mengangguk, berusaha menyembunyikan rasa lelahnya.

Setelah Pak Harry pergi, Rani menepuk bahu Nina. "Tenang, kamu pasti bisa. Aku bantu kalau perlu."

Nina tersenyum tipis, merasa sedikit terbantu.

Ketika hari mulai gelap, kantor perlahan kosong. Nina menata dokumen terakhir dan mematikan komputernya. Rani sudah lebih dulu pergi, mengajak Nina untuk ikut pulang bersama.

Di luar kantor, udara malam terasa dingin. Nina menarik jaketnya lebih rapat, berjalan bersama Rani di trotoar yang mulai sepi.

"Kadang aku iri sama orang yang hidupnya simpel," ujar Nina pelan.

Rani menoleh, tersenyum. "Nanti kamu juga bisa seperti itu. Tapi untuk sekarang, nikmati prosesnya."

Mereka berhenti di halte bus. Lampu jalan memantulkan bayangan mereka di aspal yang basah.

Nina mengeluarkan ponsel, scroll layar tanpa tujuan. Perasaannya campur aduk

Rani memperhatikan ekspresi Nina. "Ada apa, Nin?"

Nina menggeleng. "Ah, nggak ada apa-apa. Cuma... ada sesuatu yang aneh belakangan ini."

Gudang tua di pinggiran kota . tampak tak terawat dari luar—pintu besi berkarat, dinding cat yang mengelupas, dan papan nama pabrik fiktif yang sengaja dibiarkan setengah runtuh. Tapi siapa pun yang cukup bodoh untuk masuk tanpa izin, mungkin takkan pernah keluar hidup-hidup.

Di dalamnya, kesibukan berjalan dalam senyap. Kardus-kardus besar berjejer rapi, namun bukan berisi barang dagangan biasa. Di balik lapisan plastik dan karung-karung berlabel sabun cuci, puluhan paket narkoba tertata, siap dikirim ke berbagai titik distribusi di kota.

Di tengah gudang, **Chio** berdiri dengan tangan di saku Hoodie hitamnya. Matanya mengamati satu per satu gerakan anak buahnya, tanpa suara. Dingin. Terukur. Tatapannya cukup untuk membuat siapa pun bekerja dua kali lebih cepat.

Di sampingnya berdiri seorang pria bernama **Bas** sang tangan kanan Chio.

"Pengiriman ke Selatan udah beres Besok malam, giliran barat," lapor Bas sambil mengunyah permen karet.

Chio tidak menjawab langsung. Ia melirik ke arah salah satu kru yang tampak ragu memindahkan kotak.

"Kenapa dia gemetar?" tanya Chio pelan, hampir tanpa emosi.

Bas melirik. "Anak baru. Masih bau keringat. Mau aku suruh keluar?"

Chio tak menjawab. Ia melangkah mendekat ke si pemuda yang gemetar itu. Langkahnya pelan, tapi menimbulkan ketegangan lebih dari teriakan mana pun.

"Siapa namamu?" tanya Chio, suaranya tenang.

"R… Rio." jawab pemuda itu dengan suara hampir tak terdengar.

Chio menatapnya beberapa detik. Lalu mengambil satu bungkusan kecil dari kardus, melemparkannya ke tangan Rio.

"Kalau barang ini jatuh di tangan yang salah, kita semua mati. Kau ngerti itu?"

Rio mengangguk cepat, wajahnya pucat.

Chio mendekat "Ini bukan tempat untuk orang yang setengah hati. Kau takut?"

Rio menelan ludah. "Nggak, Saya siap."

Chio tersenyum tipis, tapi senyuman itu tidak membawa kehangatan.

"Bagus. Kalau sampai kau buat kesalahan... Bas yang akan kasih pelajaran."

Bas terkekeh pelan.

Setelah itu, Chio berbalik, kembali ke meja utama yang dipenuhi peta kota, foto udara, dan catatan kode. Ia duduk, membuka map berisi daftar lokasi dan nama-nama yang tidak pernah masuk ke sistem resmi mana pun.

Bas mengikuti, lalu duduk di sampingnya. "ngomong ngomong , tadi siang aku melihat mu di kafe."

Chio tidak menoleh. "Dan?"

" kau sedang mengobrol dengan seorang wanita. Pegawai kantoran. Jarang-jarang aku melihat seperti itu."

Chio masih memandangi peta. "Kau ngawasi ku sekarang?"

Bas mengangkat tangan seolah tak bersalah. "Nggak,Cuma... penasaran. soal kau tidak pernah seperti itu . Bukan gaya mu sekali."

Chio menutup map pelan, lalu menatap Bas dengan tajam.

"Dia cuma orang biasa."

Bas mengangguk, tapi matanya mengamati Chio. Ia tahu bosnya ini terlalu dingin untuk sekadar "ngobrol iseng." Kalau dia menyempatkan diri berbicara dengan seseorang... pasti ada sesuatu.

"Kalau wanita itu jadi masalah—"

"Dia bukan masalah," potong Chio tegas. "Dan jangan ikut campur."

Bas mengangkat bahu. "Siap."

Hening kembali mengisi ruangan. Suara kipas tua berdengung, menyatu dengan langkah-langkah kaki para kru yang sedang memindahkan paket. Di luar, malam mulai turun, menyelimuti kota dengan ketenangan palsu.

Chio berdiri, melirik arlojinya. "Aku akan ke lokasi Selatan besok. Kau pimpin di sini."

Bas mengangguk. "kau yakin turun sendiri? Itu daerah yang baru aja berantem sama kita."

Chio menarik napas pendek. "Justru karena itu aku harus datang sendiri. Biar mereka ingat siapa yang punya kota ini."

Mata Chio menajam. Tidak ada senyum. Tidak ada ragu.

Di balik ketenangan wajahnya, Chio tahu—dia bukan cuma penguasa wilayah. Dia simbol ketakutan. Dan dia harus tetap seperti itu… sampai kapan pun.

More Chapters