WebNovels

Chapter 3 - Bab 3 ( Alkein - Ruhosi)

Bab 3: Bayangan dan Lahirnya Cahaya

Hening menyelimuti belantara tergelap di benua Ardhalem, tempat yang tak terjamah sinar matahari selama berabad lamanya. Daun-daun bergoyang tertiup angin sunyi, dan udara berbau basah bercampur lumut purba. Di sinilah, di sebuah gua dalam rerimbunan akar pohon raksasa, Ruhosi kecil memulai babak baru kehidupannya.

Namun sebelumnya—ia bukan siapa-siapa.

Delapan Tahun Lalu

Langit merah saga di ufuk barat. Hujan badai mengguyur dataran tinggi Vhalum saat sosok berjubah gelap berjalan tergesa di antara bebatuan tajam, menggendong bayi yang menangis pelan. Wajah si pembawa bayi tak tampak, tertutup tudung panjang dan sorotan sorot mata yang menyimpan luka serta tekad pahit.

Bayi itu—Ruhosi—anak hasil perpaduan darah terlarang: cahaya, kegelapan, manusia, dan setengah elf. Dalam dunia Alkein, darah seperti ini adalah ancaman bagi keseimbangan ras, ramalan purba menyebutnya sebagai "yang tidak seharusnya ada".

"Maafkan aku…" lirih si pembawa bayi ( ibu ruhosi), menyelipkan kalung bersimbol cahaya dan kegelapan di antara selimut bayi. "Kau akan hidup… meski bukan denganku."

Ia meletakkan Ruhosi di pelataran batu di tengah rimba bayangan, lalu lenyap dalam gelombang kabut hitam.

Saat baru lahir, Ruhosi tidak menangis. Sebaliknya, matanya terbuka lebar, menatap gelapnya dimensi tempat ia dibuang. Tubuh kecilnya tidak seperti bayi biasa—terlihat retakan-retakan tipis di kulitnya, memancarkan aura hitam yang berputar pelan seperti asap, seakan-akan tubuh itu berusaha menyembunyikan sesuatu jauh di dalamnya.

Ia ditemukan oleh Ras Bayangan. Mereka tidak menyambutnya sebagai anak, melainkan sebagai "pecahan keanehan dunia" yang pantas diawasi. Mereka memberinya tempat tinggal sederhana , mengawasinya selama bertahun-tahun, dan mengirim beberapa guru untuk mengajarinya bertahan hidup, mengendalikan kekuatan, dan memahami dunia Alkein yang kejam.

Tahun-tahun berlalu. Ruhosi tidak seperti anak lainnya. Pada usia 5 tahun, ia sudah bisa berburu binatang liar di hutan bayangan. Pada usia 6 tahun, ia mengalahkan makhluk buas yang biasa membunuh petarung ras bayangan dewasa. Tapi yang paling mencolok bukan kekuatannya—melainkan matanya.

Mata kirinya menyala hijau seperti nyala roh abadi. Mata kanannya terbelah dua: sisi atas putih seperti es abadi, dan sisi bawah hitam legam seperti lubang tanpa dasar. Banyak dari Ras Bayangan yang takut menatap matanya terlalu lama, karena mereka sering melihat kilasan-kilasan masa lalu mereka sendiri yang tidak ingin mereka ingat.

Namun di balik semua itu, Ruhosi tetap anak kecil. Ia punya rasa penasaran, rasa bosan, bahkan kekonyolan yang sulit ditebak. Ia sering mengecat monster tidur dengan lumpur, mengikat ekor makhluk hutan satu sama lain, atau duduk di atas pohon sambil menjatuhkan buah ke kepala makhluk yang lewat.

Pada usia hampir 8 tahun, Ruhosi merasa... kosong. Dunia tempat ia hidup terlalu sempit. Ras Bayangan yang merawatnya mulai kehilangan kepercayaan—mereka merasa kekuatan Ruhosi terlalu besar untuk dikendalikan. Dan pada suatu malam, tetua Ras Bayangan memberinya sebuah kalung kecil yang misterius, tidak berkilau, tapi terasa sangat berat secara batin.

"Kalung ini... kami tidak tahu dari mana asalnya. Tapi ia muncul bersamaan denganmu waktu kau ditemukan. Mungkin... takdirmu lebih besar dari yang kami bayangkan."

Kini

Ruhosi, hampir sembilan tahun usianya. Bocah kurus berambut hitam gelap dan ada beberapa helai berwarna putih bercahaya itu sedang memegang tombak kayu yang nyaris patah. Di hadapannya berdiri seekor monster purba, Kalidra, reptil berleher panjang dengan mata biru terang. Tapi yang aneh: bocah itu… tersenyum.

"Hah? Ini kelihatan seru!" soraknya.

Dengan kelincahan tak lazim untuk anak seusianya, Ruhosi berlari, berguling, dan melompat, menusukkan tombak ke kaki Kalidra. Meski tak melukai parah, gerakan itu cukup memancing kemarahan.

"RUAAAAAARGHH!"

Kalidra meraung, menghantamkan ekornya ke tanah. Tapi Ruhosi sudah tidak ada di sana—ia sudah di atas punggungnya, tertawa sambil mencabut belati tumpul.

"Waktu makan sore!"

Ras Bayangan

Tidak jauh dari sana, sekelompok makhluk berjubah hitam mengamati dari kejauhan. Mereka adalah Ras Bayangan, makhluk tanpa bentuk tetap yang hidup dalam kehampaan antara cahaya dan kegelapan. Mereka menemukan Ruhosi delapan tahun lalu, dan sejak itu… merawatnya.

Salah satunya, bernama Velmra, wanita tua dengan suara gemerisik dedaunan mati, berkata lirih, "Anak itu… tubuhnya tidak cocok dengan energi kegelapan, tapi juga tidak sepenuhnya menolak cahaya."

"Dia bukan dari kita… tapi dia juga bukan dari mereka," ujar satu bayangan lain, Sarn.

"Biarkan dia tumbuh… Dunia akan mengujinya lebih keras dari kita."

Penyusupan Misteri

Malam itu, setelah Ruhosi berhasil menyeret sebagian daging Kalidra ke perkemahan, sebuah sosok asing mengintai dari kejauhan. Matanya merah menyala, tubuhnya ramping dibalut pelat hitam yang tak bersuara. Ia mencatat.

"Subjek Ruhosi. Masih hidup. Perkembangan cepat… terlalu cepat."

Lalu ia menghilang ke celah dimensi.

Pencarian Jati Diri Dimulai

Ruhosi menatap langit. Ia tidak tahu siapa orang tuanya. Ia tidak tahu kenapa ia diasingkan. Tapi hatinya membisikkan sesuatu: ada dunia yang lebih luas, lebih berbahaya, lebih menyenangkan dari hutan ini.

"Aku… mau lihat semuanya!" gumamnya.

Malam itu, Ruhosi menyimpan belati tumpulnya, dan untuk pertama kalinya menatap ke luar rimba bayangan dengan rasa ingin tahu tak terbendung.

Di dalam hatinya… sesuatu bergetar.

Suara lembut dari celotehan binatang malam merambat pelan di antara akar pohon raksasa, saat dua makhluk bayangan menyibak kabut tebal dan menemukan sosok kecil tergolek diam dalam selimut lusuh.

"Ini… bayi?"

Velmra, sosok tertua di antara Ras Bayangan yang tinggal di Rimba Kiamar, mendekat perlahan. Ia tahu bahwa anak ini bukan dari ras mereka, namun jiwanya tidak bergolak, tidak membakar seperti anak ras cahaya, dan tidak membeku seperti anak dari kegelapan. Ada harmoni yang asing di dalam tubuh kecil itu.

"Mahluk seperti ini... tak seharusnya hidup. Tapi dia sudah ada," gumam Velmra.

Sarn, sosok bayangan yang lain, tampak ragu. "Kalau kita membesarkannya, mungkin suatu hari dia akan menghancurkan kita semua."

"Dan kalau kita biarkan mati, mungkin dunia akan kehilangan harapan terakhirnya," jawab Velmra dengan nada berat.

Akhirnya, mereka memutuskan: Ruhosi akan dirawat.

Tahun Pertama

Ruhosi tumbuh pelan-pelan. Ras Bayangan tak memiliki bentuk fisik penuh, namun mereka bisa menyelimuti benda dan menggunakan kekuatan ilusi untuk menciptakan tangan, suara, atau wajah. Sehari-hari, Ruhosi disusui oleh seekor makhluk hutan peliharaan Ras Bayangan, dan diberi makanan dari tanaman liar yang telah diolah secara spiritual agar cocok untuk bayi berdarah campuran.

Ia tumbuh kuat, meskipun sering sakit. Aura tubuhnya berubah-ubah, kadang terang bagai sinar fajar, kadang kelam seperti malam tanpa bintang. Tak ada yang tahu apa artinya.

Tahun Ketiga

"Anak ini terlalu aktif," keluh Sarn, saat Ruhosi kecil berlari telanjang sambil mengejar kupu-kupu bercahaya ungu.

Velmra tertawa kecil. "Sudah waktunya dia belajar."

Hari itu, pelatihan dimulai.

Di usia tiga tahun, Ruhosi belajar mengenali tanaman beracun dan obat, cara menghindari jejak monster, dan mengenali getaran tanah jika ada makhluk besar mendekat. Ia juga diajarkan cara bertahan di cuaca ekstrem, dari dingin malam berkabut sampai hujan asam dari langit kelam Rimba Kiamar.

Ras Bayangan tak menggunakan senjata fisik, jadi mereka tak mengajarkan pedang atau busur. Namun, mereka ahli dalam mengajar naluri, keheningan, serta membaca aura makhluk hidup. Pelatihan Ruhosi sangat unik—menggunakan metode ilusi dan pengalaman langsung.

Tahun Kelima

Pada suatu malam, saat Ruhosi sedang tidur di bawah dahan pohon keramat, Velmra duduk di sampingnya dan membisikkan sesuatu ke telinganya.

"Dunia luar tidak seindah yang kau bayangkan, Nak. Tapi... bila kau kuat, dunia bisa kau buat menjadi indah."

Esok paginya, Ruhosi dibangunkan oleh suara auman. Seekor Gorvak—beruang bayangan bermata dua—menerjang perkemahan. Alih-alih ditolong, Ruhosi dibiarkan menghadapi situasi sendiri.

Ia menangis… lalu marah. Dan untuk pertama kalinya, aura tubuhnya menyala tak terkendali. Sebuah ledakan kecil dari energi tidak dikenal melempar Gorvak mundur sejauh sepuluh langkah.

Velmra melihat dari balik semak. "Dia mulai terbangun."

Tahun Ketuju

Ruhosi kini sudah terbiasa berburu sendiri. Ia tahu kapan harus menyerang, kapan harus menunggu. Ia mulai merasa nyaman berada sendirian di tengah hutan yang menyimpan ratusan ancaman. Tapi yang paling mencolok adalah: ia mulai bertanya.

"Aku ini siapa?"

"Kenapa tidak ada yang seperti aku?"

"Kenapa aku tidak bisa jadi bayangan seperti kalian?"

Velmra menjawab dengan tenang, "Karena kamu adalah jawaban bagi pertanyaan yang lebih besar dari itu semua."

Menuju Usia Sembilan

Ruhosi sudah bisa mengalahkan predator kelas menengah di hutan itu. Ia tahu cara menciptakan senjata sederhana dari tulang, cara memancing suara untuk mengalihkan perhatian monster, dan bahkan mulai bereksperimen dengan "perasaan" dalam tubuhnya yang kadang menyalakan nyala energi tak dikenal.

Namun semakin kuat dia menjadi… semakin banyak sosok misterius mengawasi dari balik dimensi lain.

More Chapters