WebNovels

Chapter 7 - Bab 9 (Alkein-Ruhosi)

Bab 9 – Bisikan Lensa dan Negeri Para Pengukir Angin

Ruhosi keluar dari wilayah Ras Kabut Hijau dengan perasaan campur aduk antara lega dan sedikit pusing. Lensa Kabut yang baru diterimanya terasa dingin ketika disentuh, namun saat ia coba menempelkannya ke mata, dunia di sekitarnya tampak… lebih ramai. Bukan ramai oleh makhluk, tapi oleh jejak-jejak energi, aura samar berwarna-warni yang melayang di udara, menempel di pepohonan, dan berdenyut lemah dari dalam tanah.

"Whoaa… jadi ini gunanya?" gumamnya takjub, memutar-mutar kepalanya seperti anak kucing melihat benang wol. "Dunia jadi kayak pasar malam, tapi isinya hantu warna-warni!"

Ia menyimpan Lensa Kabut itu di kantung kulitnya dengan hati-hati. Perutnya mulai bernyanyi keroncongan. "Oke, Lensa keren, pengalaman jiwa juga oke. Tapi sekarang… makanan!"

Perjalanan membawanya menurun dari perbukitan berkabut menuju sebuah dataran luas yang kering, dihiasi batu-batu raksasa yang bentuknya aneh, seolah dipahat oleh angin selama ribuan tahun. Angin di sini memang berbeda. Bukan sekadar berhembus, tapi seperti memiliki irama dan kekuatan, kadang mendorongnya dari belakang, kadang menampar wajahnya dengan debu.

"Tempat apa lagi ini? Kayaknya seru kalau bisa main layangan raksasa di sini," celetuk Ruhosi, sambil berusaha menjaga keseimbangan agar tidak terdorong angin kencang yang tiba-tiba datang.

Saat itulah, Lensa Kabut di kantungnya bergetar samar. Penasaran, Ruhosi mengeluarkannya dan menempelkannya lagi ke mata. Pemandangan berubah drastis. Angin yang tadinya tak terlihat, kini tampak seperti sungai-sungai energi berwarna biru muda dan perak, meliuk-liuk di antara bebatuan, membentuk pola-pola rumit. Dan di kejauhan, di atas salah satu batu tertinggi, ia melihat sebuah pusaran angin yang jauh lebih besar dan terkonsentrasi, memancarkan cahaya keemasan.

"Itu… apa ya? Kayak… jantungnya angin?"

Tanpa pikir panjang, didorong rasa penasaran khas dirinya, Ruhosi mulai berlari menuju pusaran cahaya itu. Semakin dekat, ia merasakan tekanan angin semakin kuat. Retakan-retakan di tubuhnya mulai mengeluarkan asap hitam lebih banyak, seolah merespons energi di sekitarnya.

Tiba-tiba, beberapa sosok melesat dari balik bebatuan. Mereka bergerak secepat angin itu sendiri, tubuh mereka ramping dan dibalut pakaian dari kulit berwarna cokelat muda yang berkibar-kibar. Wajah mereka tertutup kain, hanya menyisakan mata yang tajam berwarna kuning seperti mata elang. Di tangan mereka, tergenggam bilah-bilah tipis yang tampak seperti perpanjangan dari angin itu sendiri.

"Berhenti, Anak Asing!" salah satu dari mereka berseru, suaranya terbawa angin namun terdengar jelas. "Kau memasuki Wilayah Angin Terukir! Tidak sembarang orang boleh mendekati Pusaran Suci!"

Ruhosi, bukannya takut, malah nyengir lebar. "Wilayah Angin Terukir? Nama yang keren! Aku Ruhosi. Kalian pasti para Pengukir Angin, ya? Soalnya kalian kayaknya akrab banget sama angin."

Para Pengukir Angin itu tampak sedikit bingung dengan respons santai Ruhosi. Mereka saling pandang sejenak.

"Kau tidak takut?" tanya sosok yang tadi berseru, pemimpin mereka, terlihat dari corak ukiran di kain penutup wajahnya yang lebih rumit.

"Takut? Buat apa? Kalau kalian mau main, ayo! Tapi kalau kalian punya makanan, bagi-bagi dong. Aku lapar banget, nih!" Ruhosi menepuk-nepuk perutnya.

Pemimpin Pengukir Angin itu maju selangkah. "Kami adalah penjaga keseimbangan angin di dataran ini. Pusaran Suci adalah sumber kehidupan kami. Hanya mereka yang memiliki 'Napas Angin' yang boleh mendekat."

"Napas Angin?" Ruhosi memiringkan kepalanya. "Gimana cara dapetinnya? Apa harus minum angin sampai kembung?"

Para Pengukir Angin lainnya hampir tertawa, tapi pemimpin mereka tetap serius. "Napas Angin adalah kemampuan untuk menyatu dengan irama angin, bukan melawannya. Jika kau memaksa mendekati Pusaran Suci tanpa itu, kau akan terkoyak."

Ruhosi terdiam sejenak, menatap Pusaran Suci di kejauhan yang tampak begitu memikat melalui Lensa Kabut. Lalu, ia menatap para Pengukir Angin.

"Hmm… gimana kalau kita buat kesepakatan?" usul Ruhosi. "Aku penasaran banget sama Pusaran itu. Kalian ajari aku sedikit soal Napas Angin, nanti kalau aku berhasil, aku traktir kalian… yah, kalau aku nemu makanan enak nanti."

Pemimpin Pengukir Angin itu tertegun. Anak ini benar-benar aneh. Di matanya, tidak ada ketakutan, hanya rasa ingin tahu yang meluap-luap dan sedikit kekonyolan yang membingungkan.

"Mengajarimu?" ia bergumam, lebih pada dirinya sendiri. "Belum pernah ada orang luar yang meminta untuk diajari."

Salah satu Pengukir Angin yang lebih muda berbisik, "Tetua Kaivan, mungkin… ini pertanda? Ingat ramalan tentang 'Jiwa Pengembara yang membawa perubahan'?"

Tetua Kaivan menatap Ruhosi lekat-lekat. Retakan di kulit anak itu, asap hitam yang samar, dan mata yang memancarkan energi campuran. Ia merasakan sesuatu yang berbeda dari anak ini.

"Baiklah, Anak Asing bernama Ruhosi," kata Tetua Kaivan akhirnya. "Kami akan mengujimu. Jika kau bisa melewati tiga ujian angin kami, kami akan mempertimbangkan untuk mengajarimu dasar-dasar Napas Angin. Tapi jika gagal…"

Ruhosi menyeringai. "Gagal itu kan cuma berhasil yang tertunda! Oke, aku siap! Ujiannya apa? Lomba lari lawan angin? Atau lomba bersiul paling keras biar anginnya datang?"

Tetua Kaivan menggelengkan kepalanya, ada senyum tipis yang nyaris tak terlihat di balik kain penutup wajahnya. "Ujian pertama… adalah menari bersama angin fajar. Tanpa perlawanan, tanpa rasa takut."

Ruhosi mengangguk semangat. "Menari? Asyik! Semoga anginnya punya selera musik yang bagus!"

Dan di bawah langit Alkein yang mulai memerah saga, Ruhosi bersiap menghadapi ujian pertamanya di Negeri Para Pengukir Angin, tidak menyadari bahwa setiap langkah dan setiap pilihan yang ia ambil terus diamati oleh mata-mata dari dimensi lain, dan bahwa Pusaran Suci itu menyimpan lebih dari sekadar kekuatan angin.

Dari kejauhan, sosok berjubah ungu dengan mata kristal biru gelap itu tersenyum tipis dari celah dimensi yang tak terlihat.

> "Pengukir Angin… Pilihan yang menarik, Ruhosi. Angin selalu membawa kabar, dan mungkin… kabar tentang salah satu fragmen itu."

>

More Chapters