---
Hayashi Ren perlahan membuka matanya. Cahaya lembut matahari terbenam menyambut pandangannya, membuatnya kehilangan arah.
Ia menatap langit-langit ruangan yang tinggi, dihiasi ornamen-ornamen mewah yang ia yakin hanya pernah ia lihat di majalah desain interior. Saat ia menggerakkan tubuhnya, ia merasakan kelembutan seprai satin yang membungkusnya.
"Di mana aku?" gumam Ren dengan suara serak.
Ia mencoba mengingat hal terakhir yang ia lakukan—tumpukan laporan, tenggat waktu yang menghimpit, lembur yang tak ada habisnya. Tubuhnya kelelahan, napasnya pendek, dan kemudian... kegelapan. Ingatannya berhenti di situ. Ia yakin ia telah mencapai batasnya, bahwa tubuhnya telah menyerah di bawah tekanan pekerjaan.
"Seharusnya aku... mati," bisiknya.
Namun kenyataan ini terasa terlalu nyata. Ia menyentuh wajahnya, merasakan kulit yang halus, lebih segar dari biasanya.
Ketika ia melihat tangannya, ada yang terasa aneh. Tangannya lebih bersih, lebih muda—bukan tangan pekerja kantoran yang terbiasa mengetik terus-menerus.
Ren mencoba bangkit dari tempat tidur, tetapi tubuhnya terasa ringan dan asing. Ia berdiri perlahan, menghadap cermin besar di sudut ruangan. Apa yang dilihatnya membuatnya tersentak kaget.
"Ini... bukan aku."
Wajah yang balas menatapnya tampak tampan dan muda, dengan kulit mulus, rambut hitam yang disisir rapi ke belakang, dan mata tajam yang menusuk.
Ini bukan wajah yang ia kenal sebagai wajahnya sendiri.
Ren memegangi kepalanya, dan jari-jarinya merasakan sesuatu yang aneh—kain kasar melilit sebagian kepala dan dahinya.
Ia mencondongkan tubuh lebih dekat, mengamati bayangannya. Sebuah perban melilit bagian atas kepalanya, menutupi luka atau cedera yang tak ia ingat pernah ia alami.
"Apa yang sebenarnya terjadi padaku?" gumamnya, suaranya nyaris tak terdengar dalam kesunyian ruangan.
Ketukan pelan memecah lamunannya. Sebelum ia sempat menjawab, pintu terbuka, memperlihatkan seorang pria paruh baya berseragam pelayan formal.
"Yukito-sama, saya senang melihat Anda sudah bangun. Namun, Anda harus tetap di tempat tidur dan beristirahat," kata pria itu dengan suara berat dan berwibawa. Ia membungkuk hormat. Namanya Sebastian.
"Yukito?" Ren tertegun. Ia menatap pelayan itu, lalu kembali menatap bayangannya di cermin.
"Siapa...?" bisiknya, cukup keras untuk didengar pelayan itu.
Sebastian tampak agak bingung, tetapi segera tersenyum sopan. "Tentu saja, Tuan. Anda Kambe Yukito, adik dari Tuan Kambe Daisuke. Anda mengalami kecelakaan—jatuh dari tangga—dan seperti yang dikatakan dokter, ingatan Anda mungkin terpengaruh. Tapi jangan khawatir, kami akan memastikan Anda dirawat dengan baik."
Ren duduk diam sejenak, mencoba mencerna kata-kata pelayan itu. Nama Kambe Yukito terdengar asing,tetapi sesuatu di dalam pikirannya berbisik bahwa semua ini terasa seperti adegan dari cerita yang pernah dibacanya atau ditontonnya.
"Transmigrasi?" gumamnya pada diri sendiri, nyaris tak memercayai pikirannya sendiri.
Ren menatap pantulan dirinya sekali lagi, pada wajah tampan yang jelas-jelas bukan dirinya. Situasinya terasa sangat tidak logis, tetapi di balik itu, ada rasa familiar yang aneh.
Ia ingat pernah membaca manga atau menonton anime dengan premis yang persis sama—manusia normal mati, lalu terbangun di tubuh orang lain, di dunia yang sama sekali berbeda dari dunianya sendiri.
Ia memejamkan mata, mencoba menyatukan kembali ingatan yang berserakan. Nama "Kambe" memicu sesuatu di benaknya.
"Kambe Daisuke..." bisiknya. "Bukankah itu nama tokoh utama dalam The Millionaire Detective Balance Unlimited?"
Ia mencoba mengingat detailnya. Serial ini mengisahkan seorang detektif kaya raya yang menggunakan kekayaannya untuk memecahkan kasus dengan cara-cara yang tidak biasa.
Jika ia benar, maka ia bukan hanya berada di tubuh lain—ia kini berada di dunia fiksi yang pernah ia tonton sebelumnya. Namun seingatnya, Daisuke tidak memiliki adik laki-laki di anime tersebut.
Ren mengerutkan kening, berpikir. Setelah beberapa saat, jawabannya muncul.
"Alam semesta alternatif..." gumam Ren tak percaya.
Sebastian menatapnya dengan cemas. "Yukito-sama, apakah Anda merasa tidak enak badan? Ada yang bisa saya bantu?"
Ren menggeleng perlahan, mencoba menenangkan diri dan pelayan itu. "Tidak. Saya hanya sedikit pusing. Mungkin karena cedera kepala. Saya ingin istirahat sebentar."
Sebastian mengangguk mengerti. "Tentu saja, Yukito-sama. Saya akan memastikan tidak ada yang mengganggu Anda. Jika Anda butuh sesuatu, tekan saja bel di samping tempat tidur."
Ia membungkuk sekali lagi sebelum mundur dan menutup pintu dengan lembut. Suara lembut pintu yang ditutup bergema di ruangan luas itu, yang kini sunyi kembali.
Ren duduk mematung di tempat tidur. Ruangan itu tenang, tetapi pikirannya dipenuhi pertanyaan yang tak ada habisnya.
"Saya mati... dan sekarang saya hidup kembali di dunia fiksi. Dalam tubuh seseorang yang seharusnya tidak ada."
Ia mengangkat tangannya dan menatapnya lama. Rasanya nyata—terlalu nyata. Detak jantungnya, ritme napasnya, bahkan rasa sakit samar di kepalanya akibat cedera... ini bukan mimpi.
"Jika aku diberi kesempatan kedua, aku tak akan menyia-nyiakannya."
Tatapannya beralih—tak lagi bingung, melainkan penuh tekad. Ren mencengkeram seprai erat-erat.
"Aku tak tahu kenapa aku di sini, atau apa yang dunia ini harapkan dariku. Tapi... jika ini hidup baruku, maka aku akan menjalaninya dengan caraku sendiri."
---
Curious about how the story continues? Join my Patreon to get more chapters for $2.
https://patreon.com/Sunshine710