Pintu kantor perlahan terbuka, menampakkan seorang wanita muda berambut pirang panjang tergerai. Mata karamelnya yang hangat menatap lembut Yukito, dan senyum manis menghiasi wajahnya.
Gadis cantik itu mengenakan seragam Akademi Shuchiin, membawa tas di tangannya. Namanya Shiina Mahiru, dan dia adalah tunangan Yukito.
"Maaf membuatmu menunggu, Yukito-kun," katanya dengan suara lembut.
Yukito berdiri dari kursinya dan berjalan menuju Mahiru. "Tidak apa-apa, Mahiru."
Mahiru melangkah mendekat dengan anggun, langkah kakinya nyaris tak terdengar di lantai marmer yang dipoles. Ia berhenti tepat di depan Yukito dan menatapnya dengan hangat.
"Sebastian menunggu di luar. Kurasa kita harus pulang sekarang," kata Mahiru sambil menyentuh lengan Yukito dengan lembut.
Yukito mengangguk pelan. "Baiklah. Hari ini cukup melelahkan."
Ia mengambil mantel hitamnya dari sandaran kursi dan memakainya. Mahiru dengan hati-hati membetulkan kerah mantelnya, lalu tersenyum lembut.
"Sebagai hadiah atas kerja kerasmu hari ini..." bisiknya hampir tak terdengar.
Tanpa ragu, ia berjinjit dan mencium pipi kiri Yukito dengan lembut. Sentuhan itu hangat dan singkat, tetapi cukup untuk membuat jantungnya berdebar kencang.
Yukito terdiam sejenak, lalu tersenyum tipis. "Itu... hadiah yang sangat menyenangkan. Terima kasih, Mahiru."
Mahiru mengangguk pelan, senyum manisnya masih tersungging di wajahnya. Ia meraih tangan Yukito dan menggenggamnya erat, penuh kehangatan dan ketulusan.
"Ayo pulang," katanya lembut, suaranya bagai angin malam yang menenangkan.
Yukito membalas genggamannya, merasakan kelembutan dalam sentuhannya. Tanpa berkata apa-apa lagi, mereka berjalan keluar kantor bersama, tangan mereka masih bertautan seolah tak ingin lepas.
Saat mereka sampai di lobi, cahaya keemasan matahari terbenam bersinar melalui jendela kaca yang tinggi, menciptakan siluet indah keduanya. Sebastian, yang sudah menunggu di samping sebuah mobil hitam elegan, segera membuka pintu belakang saat mereka mendekat.
"Selamat siang, Yukito-sama," sapanya sambil membungkuk sopan.
Yukito mengangguk pelan sebagai jawaban. Mereka berdua melangkah masuk ke dalam mobil dan duduk bersebelahan. Pintu mobil tertutup pelan, dan Sebastian mulai melaju menembus jalanan kota Tokyo yang kini bermandikan cahaya dan bayangan senja.
Di dalam mobil yang melaju pelan, Mahiru bersandar di bahu Yukito, menikmati kehangatan kebersamaan mereka. Namun, pikirannya dipenuhi kekhawatiran yang tak bisa ia abaikan.
"Yukito-kun..." bisik Mahiru lirih, suaranya nyaris tenggelam oleh suara mesin.
"Hm?" Yukito menoleh sedikit, menyadari raut wajah serius di wajah Mahiru.
"Kapan kamu akan berangkat ke Georgia untuk menghadiri penggalangan dana bagi para korban perang?" tanyanya.
Yukito menghela napas sebelum menjawab, "Sekitar enam hari dari sekarang."
Mahiru mengangguk perlahan, tetapi matanya memancarkan kekhawatiran yang mendalam. "Aku tahu ini acara penting, tapi aku khawatir. Urzikstan, negara yang berbatasan dengan Georgia, sedang dilanda konflik. Aku khawatir teroris akan mengganggu acaranya."
"Aku mengerti, Mahiru... Kekhawatiranmu memang beralasan," katanya lembut sambil meremas tangan Mahiru. "Tapi aku tidak bisa mengabaikan undangan ini. Banyak orang membutuhkan bantuan, dan jika kehadiranku bisa mendorong lebih banyak donasi untuk para korban perang, maka aku harus pergi."
Mahiru menggigit bibir bawahnya, menahan rasa takut dan cemasnya. "Tapi bagaimana kalau terjadi sesuatu? Aku tidak akan bisa tenang memikirkanmu di sana..."
"Aku akan dilindungi oleh keamanan kedutaan dan tim pribadiku. Semuanya sudah direncanakan dengan matang. Aku janji akan berhati-hati, dan aku akan kembali segera setelah acaranya selesai," kata Yukito sambil tersenyum lembut.
Ia lalu memeluk Mahiru dengan lembut. Tubuhnya yang mungil terasa rapuh dalam pelukannya, dan ia bisa merasakan jantungnya berdetak sedikit lebih cepat dari biasanya.
"Maafkan aku juga, Mahiru…" bisik Yukito di dekat telinganya. "Karena tidak bisa menghabiskan liburan musim panas bersamamu minggu depan. Aku tahu kau sudah menyiapkan segalanya—penginapan, tempat-tempat yang akan kita kunjungi, waktu yang hanya untuk kita berdua…"
Mahiru tidak menjawab, hanya membenamkan wajahnya di dada Yukito. Namun, cengkeramannya pada mantel Yukito mengencang, seolah enggan melepaskannya.
"Aku sungguh ingin berada di sisimu, menghabiskan waktu bersama seperti pasangan pada umumnya. Tapi… dunia tempatku berdiri sekarang terkadang memintaku untuk mendahulukan tanggung jawab di atas keinginan pribadi," lanjut Yukito, suaranya dipenuhi penyesalan.
Mahiru menarik napas dalam-dalam dan membalas pelukan Yukito dengan lebih hangat. "Aku mengerti, Yukito-kun… Aku hanya… Aku takut kehilanganmu. Setiap kali kau pergi ke tempat berbahaya, rasanya seperti kau membawa sepotong hatiku bersamamu."
Yukito mencium puncak kepalanya dengan lembut. "Kau takkan kehilangan aku. Aku akan kembali, Mahiru. Dan saat aku kembali, kita akan menebus liburan itu... dengan hari-hari yang lebih indah. Aku janji."
Mahiru mengangguk di dadanya, dan untuk sesaat, mereka terdiam—membiarkan keheningan melindungi mereka dari ketakutan tak terucap yang masih membekas di hati mereka.
Mobil hitam elegan itu melambat saat mendekati jalan berbatu menuju kediaman utama keluarga Kambe. Di kejauhan, rumah besar yang megah dan anggun itu berdiri dengan tenang, diterangi cahaya hangat dari jendela-jendelanya yang besar. Pantulan lampu di kolam taman menciptakan suasana damai, seolah menyambut kedatangan penghuninya.
Mobil berhenti di dasar tangga marmer menuju pintu masuk utama. Sebastian keluar lebih dulu, lalu segera membuka pintu belakang.
"Selamat datang di rumah, Yukito-sama, Mahiru-sama," katanya dengan tenang, sedikit menundukkan kepala.
Yukito melangkah keluar terlebih dahulu, lalu mengulurkan tangannya untuk membantu Mahiru. Begitu kakinya menyentuh tangga dengan anggun, Yukito menoleh ke Sebastian dan berkata, "Terima kasih untuk hari ini, Sebastian. Seperti biasa, Anda telah melakukan pekerjaan yang luar biasa."
Sebastian menanggapi dengan senyum tipis namun tulus. "Merupakan suatu kehormatan bagi saya untuk melayani Anda, Yukito-sama."
Mahiru juga membungkuk sedikit. "Terima kasih, Sebastian-san. Saya merasa sangat nyaman selama perjalanan."
"Senang mendengarnya, Mahiru-sama," jawab Sebastian sopan, lalu berjalan menuju garasi untuk memarkir mobil.
Yukito dan Mahiru memasuki rumah, melewati koridor lebar yang dihiasi lukisan-lukisan klasik dan diterangi lampu gantung elegan bergaya Eropa yang tergantung di langit-langit yang tinggi. Aroma lavender yang lembut dari pengharum ruangan menyambut mereka, menambah suasana tenang yang sangat dibutuhkan setelah hari yang panjang.
Sesampainya di ruang utama, Mahiru melepas sepatunya dan menoleh ke Yukito sambil tersenyum kecil. "Anda pasti lapar, Yukito-kun," katanya lembut. "Mau makan malam apa? Aku akan menyiapkannya untukmu."
Yukito, yang sedang menggantung mantelnya di rak dekat pintu, berbalik dan tersenyum. "Kare katsu. Aku mau kare katsu-mu. Yang itu... selalu jadi favoritku."
Mahiru tertawa kecil, matanya berbinar-binar. "Kare katsu, ya? Baiklah, tunggu di ruang makan. Aku akan menyiapkannya sebentar lagi."
Yukito mengangguk, lalu berjalan ke ruang makan. Ia duduk di kursi yang menghadap jendela besar, memandangi taman yang kini diselimuti senja. Angin sore berembus masuk melalui jendela yang sedikit terbuka, membawa aroma bunga dari taman, menciptakan suasana damai.
Sementara itu, di dapur, Mahiru mulai menyiapkan bahan-bahan dengan terampil. Dentingan peralatan masak berpadu dengan aroma gurih bawang goreng, menciptakan suasana hangat dan nyaman seperti di rumah. Tangannya yang terlatih bergerak cepat—mengiris daging, menggoreng katsu hingga keemasan, dan mengaduk saus kari yang kental dan harum.
Tak lama kemudian, Mahiru memasuki ruang makan sambil membawa nampan berisi dua porsi kare katsu, lengkap dengan nasi hangat, acar, dan teh hijau. Yukito berbalik dan tersenyum saat menghampiri.
"Makan malam sudah siap," kata Mahiru sambil meletakkan piring di hadapan Yukito. Ia kemudian duduk di hadapan Yukito, menatapnya dengan lembut.
"Terima kasih, Mahiru," kata Yukito sambil mengambil sumpitnya. "Sepertinya malam ini akan menjadi malam yang indah."
Mereka mulai menyantap makan malam dalam keheningan yang nyaman. Tak perlu ada kata-kata lagi saat itu—karena hanya dengan kehadiran satu sama lain, kehangatan sudah memenuhi ruangan.
---
Curious about how the story continues? Join my Patreon to get more chapters for $2.
https://patreon.com/Sunshine710