Alya berjalan cepat menuju stasiun setelah keluar dari kantor MAHA Group. Langkahnya gugup, napasnya pendek, dan pikirannya dipenuhi rasa bersalah yang seolah menempel erat di seluruh tubuhnya. Ia tidak pernah berpikir kejadian memalukan seperti itu akan menimpanya: menumpahkan kopi panas ke jas mahal seorang CEO—bukan CEO biasa, tapi Ardan Maheswara, pria dengan reputasi menakutkan.
Alya menghela napas panjang, memeluk tasnya erat-erat.
"Kenapa sih hidup aku begini banget…" gumamnya pelan.
Baru saja ia hendak menyeberang trotoar, suara klakson pendek menyentak langkahnya.
Sebuah mobil sedan hitam mengkilap berhenti tepat di depannya.
Kaca jendelanya perlahan turun.
Alya membeku.
Itu Ardan.
Wajah dinginnya tampak di balik kaca, tatapannya seperti biasa:
tenang, menusuk, dan mustahil untuk diabaikan.
"Masuk," katanya singkat.
Alya terlonjak. "E-eh? Masuk, Pak?"
Ardan tidak mengulang dua kali. "Aku bilang masuk."
"T-tapi, saya… saya mau pulang naik kereta, Pak. Saya nggak apa-apa jalan kaki kok…"
"Kamu pikir aku akan membiarkan pegawaiku—" Ardan menatap dari ujung kepala sampai ujung kaki Alya. "—yang baru saja membuat kesalahan besar, pulang sendirian tanpa aku pastikan dia tidak kabur atau hilang?"
Alya mengerjapkan mata.
"K-kabur? Hilang??"
Ardan membuka pintu penumpang secara otomatis.
"Alya." Suaranya menurun setengah oktaf—tidak marah, tapi tegas.
"Masuk."
Alya akhirnya pasrah.
Ia masuk perlahan, duduk dengan kaku seperti robot, dan memeluk tas kecilnya di dada.
Mobil melaju.
Sunyi. Sangat sunyi.
Alya mencuri pandang ke arah CEO itu.
Ardan memegang setir dengan satu tangan, jemarinya panjang, jam tangannya elegan. Wajahnya… ya ampun. Jelas-jelas tampan. Tapi tampannya nggak ramah. Semuanya terkesan rapi, tertutup, terkendali.
Dan Alya merasa masuk ke kandang singa.
"Um, Pak… terima kasih sudah nganterin saya…"
Alya mencoba membuka percakapan sopan.
Ardan hanya bergumam, "Hm."
Alya menelan ludah.
Gagal.
Kepalanya sudah penuh pikiran buruk: pemecatan, denda jas mahal, disidang HRD, dimarahi… mungkin lebih parah.
Ardan tiba-tiba berbicara.
"Kamu tinggal di mana?"
"Oh! Di—di Kos Anggrek, Pak. Nggak jauh dari sini, tapi—"
"Aku tahu tempatnya."
Nada Ardan seperti seseorang yang tahu seluruh kota ini seperti peta di kepalanya.
Lagi-lagi hening.
Alya gelisah, tapi tidak berani banyak bicara.
Setelah beberapa menit, Ardan akhirnya menoleh sedikit ke arahnya.
"Kamu selalu pulang seremeh itu?"
"R-remeh?"
"Tanpa pengawalan. Malam. Stasiun sepi. Jalan kaki sendirian."
Alya tidak menjawab.
Apa yang harus ia jawab? Ia bukan siapa-siapa. Tidak punya mobil. Tidak punya uang untuk naik taksi setiap hari. Baginya, naik kereta adalah pilihan paling normal.
Ardan menahan napas singkat sebelum berkata,
"Mulai hari ini, pulangmu tidak boleh lagi seperti itu."
"Hah?! K-kenapa?"
Ardan menatapnya sepersekian detik—tatapan yang seperti membaca ampas jiwa seseorang.
"Karena kamu sekarang bekerja di bawahku."
Alya makin bingung.
"Tapi saya kan masih magang, Pak. Belum tentu diterima…"
"Sudah diterima."
Alya refleks menoleh cepat ke arahnya.
"A-apa?! Maksud Bapak—"
"Aku yang langsung menyetujuinya."
"T-tapi saya belum ditest apa pun—"
"Tesmu adalah bertemu denganku hari ini," jawab Ardan datar.
Alya ternganga.
Ardan menambahkan, "Kamu bukan pegawai hebat. Tapi kamu jujur. Dan perusahaan butuh orang seperti itu."
Alya memeluk tasnya makin erat.
Dadanya penuh perasaan aneh—antara bangga, bingung, takut, dan… ada sedikit rasa hangat ketika mendengar kalimat itu dari pria setegas Ardan.
"Aku… terima kasih, Pak," katanya terbata.
Ardan hanya berkata, "Hm."
Namun sudut bibirnya seperti bergerak sedikit—seperti menahan senyum kecil yang tidak boleh ada.
Mobil berhenti di depan kos Alya.
Ardan menoleh sepenuhnya kali ini.
Kalimatnya singkat, tapi suaranya terdengar berbeda:
lebih pelan, lebih rendah, seperti ada sesuatu yang tidak ia katakan.
"Alya."
"Y-ya, Pak?"
"Mulai besok… siapkan dirimu."
"Untuk apa?"
Tatapan Ardan menusuk langsung ke matanya.
"Untuk masuk ke dunia yang bukan milikmu—tapi aku ingin kamu ada di dalamnya."
Alya terpaku.
Ia tidak paham maksudnya.
Tapi jantungnya berdetak lebih cepat daripada sebelumnya.
Sebelum ia sempat bertanya, Ardan menutup percakapan:
"Turun. Istirahat. Besok aku jemput."
Alya turun dalam keadaan setengah linglung.
Dan saat mobil itu pergi, ia baru sadar:
Ardan Maheswara baru saja menyeretnya masuk ke hidupnya.
