WebNovels

Chapter 4 - BAB 4 — Pertemuan Kedua yang Tidak Direncanakan

Suara dering lift di lantai 23 membuat Alya refleks menegakkan punggung. Itu kebiasaan semua karyawan di perusahaan besar ini: kalau lift utama berbunyi, ada kemungkinan besar sang CEO turun langsung mengecek divisi-divisi.

Dan itu berarti…

Alya harus tetap tak terlihat kalau tidak ingin kejadian memalukan kemarin terulang lagi.

Ia menatap meja kecil tempat ia baru saja menata map biru milik HR. Semua sudah rapi. Tangannya masih sedikit gemetar mengingat kopi yang ia tumpahkan ke jas Armani hitam milik Ardan Maheswara—seorang manusia yang auranya bisa membuat ruangan menjadi satu tingkat lebih dingin.

Kenapa harus aku sih…

"Lift ke arah sini, Ly!" bisik Tika, teman sekantornya yang duduk di meja depan.

Alya cepat-cepat mengambil map-map yang berantakan, mencoba berlagak sibuk. Jantungnya berdegup, padahal ia bahkan tidak yakin Ardan benar-benar akan menghampiri divisi HR hari itu. Tapi ketakutannya beralasan; CEO itu memang terkenal suka mengontrol semuanya secara langsung.

Dan benar saja—tiga detik kemudian, pintu lift terbuka.

Suasana kantor berubah tegang seketika.

Suara kasak-kusuk hilang.

Langkah-langkah kecil berhenti.

Lalu muncul sosok pria tinggi dengan setelan abu-abu gelap yang amat pas dengan postur tubuhnya. Wajahnya dingin, rapi, tanpa senyum dan tanpa tanda ingin berbaur.

Ardan Maheswara.

Alya menunduk cepat-cepat. Ia pura-pura sibuk memeriksa tumpukan kertas padahal tidak benar-benar membacanya.

"Selamat pagi, Pak Ardan," sapa semua orang serempak.

Ardan hanya mengangguk tipis. Ia tidak perlu bicara keras-keras. Kehadirannya saja sudah cukup sebagai perintah agar semua orang menjaga sikap.

Alya berharap pria itu tidak melihatnya. Ia masih malu pada kejadian kemarin. Bagaimana tidak? Ia menabrak bos paling ditakuti seluruh perusahaan dan membuat kopi tumpah ke jas mahalnya.

Ia masih ingat jelas tatapan Ardan—tajam, menghukum, tapi… entah kenapa, tidak marah. Justru lebih seperti sedang menilai sesuatu dalam diri Alya.

Alya menelan ludah.

Semoga hari ini dia tidak…

"Saudari Alya."

Suara rendah itu membuat seluruh tubuh Alya beku.

Ia mengangkat kepala perlahan. Tepat di depannya, Ardan berdiri. Dingin namun elegan. Matanya yang tajam menatap tepat ke dalam mata Alya seolah membaca seluruh isi pikirannya.

"Y-ya, Pak?" suara Alya nyaris pecah.

Semua rekan sekantor menahan napas.

Ardan menyilangkan tangan di dada. "Ikut saya."

DEG.

Alya hampir jatuh dari kursinya.

Ikut saya? Ke… ke mana?

Apakah ia akan dipecat? Apakah ia harus mengganti jas Armani itu? Bagaimana caranya? Satu jas itu harganya bisa sama dengan uang kosnya selama setahun.

Tika dari meja sebelah memberi ekspresi "ASTAGA kamu kenapa lagi??" tapi jelas Alya tidak punya kesempatan untuk menjelaskan.

Dengan langkah ragu, Alya bangkit dan mengikuti Ardan ke ruangannya.

Setiap langkah terasa seperti langkah terakhir menuju akhir hidup.

Sepatu Ardan berbunyi mantap di lantai marmer, berbeda jauh dengan langkah Alya yang seperti sedang menginjak kapas.

Begitu mereka tiba di depan pintu kantor kaca bertuliskan

ARDAN MAHESWARA — CEO,

Alya merasa lututnya benar-benar ingin menyerah.

Ardan membuka pintu dan memberi isyarat agar Alya masuk.

"Duduk."

Alya menuruti.

Ia duduk seperti robot yang baterainya hampir habis.

Ardan menatapnya beberapa detik yang terasa seperti lima belas tahun.

"Kamu panik," katanya tanpa nada mengejek. Justru terdengar seperti observasi.

Alya langsung menggeleng cepat. "T-tidak, Pak."

Ardan menaikkan satu alis. "Benarkah?"

Alya terdiam.

Bagaimana cara berbohong kalau mata pria itu seperti bisa menembus jiwa?

Akhirnya ia menyerah.

"Sedikit…"

Ardan meletakkan berkas di meja, lalu duduk di kursinya. "Kemarin kamu menabrakku."

Alya menunduk cepat. "Maaf, Pak! Saya benar-benar—"

"Dan kamu sangat ketakutan setelahnya," potong Ardan, suaranya tenang.

Alya tidak berani menjawab.

Ardan menyilangkan tangan. "Apakah kamu pikir aku akan memecatmu hanya karena satu kesalahan kecil?"

Alya mengangguk tanpa sadar.

Ardan mengembus napas, seolah kelakuan Alya itu sama sekali tidak masuk akal.

"Alya."

Alya mendongak pelan.

"Kalau aku memecat semua orang yang berbuat salah, perusahaan ini sudah tutup sejak lima tahun lalu."

Alya berkedip beberapa kali.

Itu… semacam humor? Dari seorang Ardan Maheswara?

Tapi tatapan pria itu tetap tajam.

"Kesalahanmu kemarin tidak masalah," lanjutnya. "Yang masalah adalah ketakutanmu setiap melihatku."

Alya otomatis menegang.

Ardan menunjuk dada Alya dengan pulpen. "Kamu kerja sambil gemetaran. Itu tidak efisien."

Alya ingin tertawa karena absurditas situasinya.

Tentu saja ia gemetaran! Siapa yang tidak gugup kalau sedang sendirian dengan CEO yang wajahnya seperti model majalah dan sikapnya seperti hakim pengadilan?

"Mulai hari ini," kata Ardan, "aku ingin kamu berhenti menghindar saat melihatku."

Alya terpaku.

"Lihat aku sebagai atasanmu, bukan monster."

Alya menarik napas panjang.

"Tapi Pak… saya tidak terbiasa bicara dengan orang penting."

Ardan mencondongkan tubuh sedikit.

Bukan mengintimidasi—tapi seperti berusaha memahami.

"Kamu terbiasa bersembunyi," katanya. "Aku bisa lihat itu dari jauh."

Alya terdiam.

Dan, anehnya… hatinya sedikit panas.

Ada rasa tersinggung, tapi juga tersentuh.

Ardan menatapnya lebih lama sebelum berkata pelan,

"Kamu pintar. Rapi. Teliti. Kamu bukan karyawan buruk."

Alya tersentak kecil.

Itu pertama kalinya ia dipuji langsung oleh bos besar—bahkan mungkin oleh siapa pun.

"Dan…" Ardan melanjutkan dengan nada pelan, "insiden kemarin… membuatku memperhatikanmu."

Perut Alya langsung bergejolak.

Memperhatikan?

Apa maksudnya?

Ardan berdiri dan mengambil sesuatu dari laci.

Sebuah kotak kecil.

Alya menegang.

Apakah itu invoice jas Armani?

"Aku tidak suka hutang," kata Ardan.

Ia membuka kotak itu. Di dalamnya… kartu ID baru.

"Aku minta lobby membuatkan kartu identitasmu yang baru. Yang lama sudah rusak saat terkena kopi."

Alya terdiam lama.

"Pak, saya bisa buat sendiri—"

"Aku tahu," jawab Ardan. "Tapi aku yang membuatnya rusak. Jadi aku mengganti."

Alya menatapnya tak percaya.

Ternyata dia tidak se-dingin yang orang kira.

"Terima kasih, Pak," katanya dengan suara sangat pelan.

Ardan mengangguk tipis. "Kembali bekerja. Dan Alya…"

Alya menghentikan langkah.

"Berhenti menunduk saat bicara denganku."

Alya mengangkat wajah.

Dan, untuk pertama kalinya, ia melihat Ardan tersenyum kecil. Sangat kecil, tapi nyata.

Senyuman itu cukup untuk membuat pipi Alya memanas.

"Karena aku tidak suka bicara dengan orang yang takut padaku," lanjut Ardan.

"Dan aku tidak mau kamu takut."

Alya menyentuh dadanya yang berdetak tak karuan.

Mengapa pria dingin itu… justru terdengar peduli?

Saat keluar dari ruangan, ia merasa sesuatu berubah.

Bayangan Ardan kini tidak seseram kemarin.

Justru membuat jantungnya berdetak lebih cepat karena alasan yang berbeda.

Dan di dalam ruangannya, Ardan masih menatap pintu yang baru saja tertutup.

"Sangat menarik…" gumamnya, suara rendah dan samar.

"Aku tidak salah mengamati."

More Chapters