WebNovels

Chapter 2 - BAB 2 — KESALAHAN YANG MENGGUNCANG DUNIA

Pagi itu kantor Maheswara Corp terasa lebih sibuk dari biasanya. Para karyawan berjalan cepat, beberapa mengintip arloji, dan sebagian besar terlihat waspada — tanda bahwa sosok paling ditakuti mereka sudah tiba.

Ardan Maheswara.

Sementara itu, Alya Pramesti berdiri di lobby dengan kedua tangan gemetar memegang nampan kopi.

Ia tidak biasa berada di gedung semegah itu, apalagi sebagai karyawan baru magang dua hari.

"Alya… jangan gugup," bisiknya pada diri sendiri. "Cuma antar kopi. Cuma itu."

Tapi napasnya tetap tak teratur.

Lift berbunyi ting, dan keluarlah sekelompok staf level tinggi yang semuanya tampak seperti model runway. Mereka berjalan dengan percaya diri — tinggi, berjas rapi, wangi, serius.

Alya menunduk.

Ia merasa seperti titik kecil lusuh di antara bintang-bintang mahal.

"Nona Pramesti?"

Suara perempuan memanggil dari meja resepsionis.

Alya mendekat. "Ya, Mbak?"

"Itu pesanan kopi khusus untuk Pak Ardan. Hati-hati. Dia…"

Resepsionis itu tampak ragu melanjutkan.

Alya mencondongkan badan sedikit. "Dia kenapa?"

Resepsionis itu berbisik, "Perfeksionis. Sangat perfeksionis. Salah sedikit… bisa bikin karyawan keluar dengan mata berkaca-kaca."

Alya menelan ludah.

Bagus. Tekanan mental langsung naik 200%.

"Tolong langsung ke lantai 59, ruangannya paling ujung. Jangan salah ketuk."

Alya mengangguk walau tubuhnya masih gemetar.

Ia menapaki lantai 59, mencoba terlihat setenang mungkin.

Namun begitu pintu lift terbuka… tekadnya langsung runtuh.

Lantai itu seperti dunia lain.

Sunyi.

Elegan.

Mahal.

Dinding kaca memperlihatkan pemandangan kota.

Lukisan-lukisan modern terpasang di sepanjang koridor.

Setiap meja tertata rapi, seolah tidak pernah disentuh.

Di ujung lorong, sebuah pintu besar berwarna hitam matte berdiri menunggu.

Ruang CEO.

Alya menatap papan nama kecil:

ARDAN MAHESWARA — CHIEF EXECUTIVE OFFICER

Ia menarik napas. "Oke, Alya. Kamu bisa."

Ia mengetuk.

Tidak ada jawaban.

Ia mengetuk lagi.

Masih sunyi.

Akhirnya ia perlahan membuka pintu sedikit.

"Pak Ardan… saya—"

Seseorang muncul dari arah samping.

Terkejut, Alya spontan memutar badan terlalu cepat.

Dan…

KOPI PANAS ITU TUMPAH.

Tepat ke jas pria di depannya.

Jas Armani seharga tiga bulan gajinya.

Alya membeku.

Pria itu juga.

Dan dia adalah…

Ardan Maheswara.

CEO yang ditakuti.

Pria paling tampan dan paling dingin.

Mata yang tajam seperti bisa memotong baja.

Aura yang membuat napas Alya hilang satu detik.

Kopi menetes dari ujung jasnya ke lantai.

Suasana di kantor itu tiba-tiba terasa minus dua derajat.

Dalam sepersekian detik, Alya membayangkan masa depannya runtuh, pintu keluar kantor terbuka, dan namanya di-blacklist dari seluruh perusahaan di kota.

"Sa—saya—ma—maaf, Pak," ucap Alya dengan suara tercekat. "Saya nggak sengaja. Saya—"

Ardan mengangkat wajah.

Tatapan matanya menusuk, tajam, tapi anehnya… bukan marah.

Hanya dingin.

Sangat dingin.

"Nama kamu?" suara Ardan dalam, tenang, namun memberi tekanan.

"A…Alya Pramesti, Pak."

"Baru magang?"

"Iya, Pak…"

Ardan memandangi jasnya yang basah, lalu menatap Alya lagi.

Ia menghela napas panjang, tapi tidak ada teriakan, tidak ada amarah meledak-ledak seperti rumor karyawan.

Hanya satu kalimat yang membuat lutut Alya hampir lemas.

"Kenapa kamu gemetar begitu rupa?"

Alya kaget.

Tak menyangka CEO itu malah memperhatikan tubuhnya yang bergetar.

"Saya… saya takut bikin Bapak marah."

Ardan menahan tatapan.

"Oh, jadi kamu pikir aku akan berteriak padamu?"

Alya diam.

Tentu saja iya.

Ardan memiringkan kepalanya sedikit, seakan mempelajari Alya lebih dalam.

Kemudian, dengan tenang ia melepas jasnya, meletakkannya di kursi, dan membuka kancing manset kemejanya. Gerakannya elegan, seperti adegan film.

Tangan yang kuat. Kemeja putih. Lengan yang menggoda tanpa bermaksud…

Alya terbelalak karena gugup—bukan kagum.

Atau mungkin… campuran keduanya.

"Ambilkan jas cadangan di ruangan sebelah," perintah Ardan.

Alya langsung bergerak seperti robot.

Namun begitu ia melangkah, kakinya tersandung karpet tebal.

"Ah!"

Alya terjatuh ke depan.

Dan sebelum ia menghantam lantai, tangan kuat Ardan menangkapnya dari belakang.

Alya terpaku.

Ia bisa merasakan detak jantungnya sendiri… dan detak jantung Ardan yang anehnya juga tidak stabil.

Ardan menatap wajah Alya yang sekarang sangat dekat dengannya.

"Awas jatuh lagi," katanya pelan.

Untuk pertama kalinya, suara itu tidak dingin.

Hanya… lembut.

Alya buru-buru bangun, wajahnya panas.

"Maaf, Pak! Maaf banget!"

Ardan menatapnya beberapa detik, lalu berkata:

"Kamu… terlalu gugup. Terlalu takut. Dan terlalu tidak fokus."

Alya menunduk, merasa ingin menghilang.

"Tapi,"

Ardan melanjutkan,

"kamu jujur."

Alya mendongak, bingung.

"Aku lebih suka orang jujur yang ceroboh… daripada orang licik yang pandai menjaga citra."

Alya terdiam.

Itu… pujian?

Atau peringatan?

Ardan kemudian menambahkan,

"Sejak besok, kamu masuk timku. Aku ingin lihat apakah kecerobohanmu bisa berubah menjadi kompetensi."

Alya membelalak.

"A-apaaa? Saya? Masuk tim CEO?"

"Ya."

"Tapi saya cuma magang!"

"Magang pun kalau berbakat tetap bisa maju."

Alya ingin menjawab, namun suaranya hilang.

Ardan menatapnya sekali lagi—kali ini lebih lama, lebih intens, seolah ia melihat sesuatu di diri Alya yang bahkan Alya sendiri tidak pernah sadar.

"Alya," katanya pelan.

"Kamu… menarik."

Alya mematung.

Apa dia salah dengar?

Ardan berjalan melewatinya, membuka pintu ruangan lain.

"Tapi jangan jadikan ini alasan untuk menumpahkan kopi lagi."

Alya terhenyak, wajah memerah padam.

Ardan masuk ke ruangan, meninggalkan Alya yang masih berjuang mengatur napasnya.

Ia menggenggam nampan kosong itu erat-erat.

Apa tadi benar-benar terjadi?

Atau aku sedang bermimpi buruk… tapi kenapa rasanya seperti mimpi baik?

Alya menatap pintu ruangan CEO itu.

Hari itu, tanpa ia sadari…

Pertemuannya dengan Ardan bukan sekadar kecelakaan.

Tapi awal dari sesuatu… yang akan mengubah segalanya.

More Chapters