WebNovels

Chapter 3 - chapter 3

Pagi itu, sinar matahari menembus celah-celah dinding kos yang hampir rubuh. Udara Jepara masih lembab, meninggalkan aroma garam laut yang terbawa angin.

Di sudut kamar sempit itu, Adipati Soesilo duduk terpaku. Jantungnya berdetak keras, seperti genderang perang yang dipukul di dada sendiri.

Di depannya, tumpukan pasir berwarna emas berkilau lembut di bawah cahaya pagi.

Kilau itu terasa asing dan memikat—seolah dunia yang selama ini menertawakannya tiba-tiba ingin meminta maaf.

Ia menatap jemarinya, masih gemetar.

“iki ... ora mimpi, kan?” bisiknya pelan.

Semalam, ia hanya menyentuh tanah di depan kos reyot itu—dan ketika ia bangun, tanah itu berubah menjadi emas. Ia mencubit pipinya, berharap ini hanya halusinasi dari tubuh lapar dan lelah. Tapi tidak. Emas itu nyata. dan menyala lembut seperti api kecil di tangan manusia yang dulu dianggap tak berguna.

Dengan tangan gemetar, Adipati mengumpulkan butiran emas itu ke dalam kaleng roti bekas. Setiap genggaman terasa hangat, hampir seperti bernyawa. Namun ketika ia menggenggamnya terlalu erat, warnanya memudar, berubah kembali menjadi pasir biasa. Saat dilepas, cahaya itu kembali muncul.

Aneh. Menakutkan. Tapi juga… memabukkan.

Adipati menatap kaleng itu lama-lama, dan napasnya bergetar.

“yen Iki benar-benar kekuatan,” ucapnya pelan, “berarti takdirku wis berubah.”

Hari-hari berikutnya, hidup Adipati perlahan bergeser seperti jarum jam yang mulai menemukan arah baru. Ia tak lagi memungut plastik di pasar. Tiap malam, ia berjalan ke pantai sepi di pesisir Jepara. Di bawah cahaya bulan, ia menyentuh pasir laut—dan dalam sekejap, pasir itu berubah menjadi emas murni.

Ia tidak serakah. Setiap malam hanya membawa sedikit. Lalu menjualnya diam-diam ke toko perhiasan tua di pasar lama. Pemilik toko sempat curiga, tapi tak pernah berani bertanya. Dan Uang mengalir perlahan.

Untuk pertama kalinya, Adipati bisa membeli pakaian baru. Ia melunasi utang tunggakan kos, makan di warung padang tanpa menghitung harga, bahkan sempat tersenyum di depan cermin. Sebab Dunia yang dulu tampak gelap kini terlihat lebih hangat.

Namun kedamaian itu tidak bertahan lama.

Suatu malam, ketika ia tertidur, suara serak dan berat terdengar dari kaleng logam tempat ia menyimpan pasir emas.

“Jangan berlebihan, cucuku...,” suara itu bergema pelan, seolah datang dari dalam bumi. “Emas membawa kuasa... tapi juga darah.”

Adipati terbangun, napasnya tersengal. Ia menatap sekeliling, tapi kamar itu sunyi. Ia menatap kaleng di meja. Hening. Tidak ada apa pun. Tapi entah kenapa, udara terasa lebih dingin dari biasanya.

Ia berjalan ke depan cermin, menatap bayangannya. Seketika, punggungnya merinding.

dan tiba-tiba Ada sosok lain di sana — lelaki tua berjubah putih, bermata tajam, dengan cahaya emas di alisnya.

“Sopo Kowe..?” suara Adipati bergetar.

Bayangan itu tersenyum samar.

“Aku bagian dari dirimu,” ucapnya lirih.

Lalu cermin itu bergetar hebat. Retakan muncul di permukaannya. Dari sela retakan, mengalir cairan merah... yang perlahan berubah menjadi butiran emas murni di lantai.

Adipati mundur ketakutan. Dunia di hadapannya seperti sedang menertawakan keajaiban yang ia sebut anugerah.

 

Waktu berlalu cepat. Dalam hitungan bulan, hidup Adipati berubah total. Dari pemulung di pasar Jepara, kini ia tinggal di rumah mewah di Semarang dan memiliki toko emas besar di kawasan Pasar Mangkang.

Toko itu diberi nama “Soesilo Gold”, dan dalam waktu singkat, jadi legenda.

Emas buatan Adipati berbeda. Warnanya lebih lembut, kilaunya seolah mengandung cahaya bulan. Orang-orang dari luar kota datang hanya untuk melihatnya.

Harga murah, desain menawan, dan entah mengapa setiap perhiasan terasa seperti “hidup”.

Para pedagang mulai iri, tapi tidak ada yang bisa menandingi hasil karyanya.

Dalam sebulan saja, Adipati jadi perbincangan seantero Semarang. Ia dikenal sebagai Sultan Dermawan — karena di tengah kekayaannya, ia tidak lupa daratan.

Setiap pagi, ia membagi nasi bungkus untuk para pemulung. Ia mencatat nama-nama janda dan yatim di Jepara dan wilayah Semarang, untuk mengirimkan bantuan setiap bulan.

“Kalau aku dulu bisa bertahan karena belas kasih orang,” katanya suatu sore, “maka aku harus memastikan tak ada yang lapar di bawah langit yang sama.”

Kata-kata itu membuat semua orang mengaguminya. Tapi di balik senyum hangat dan dermawan itu, ada rahasia yang terus menuntut bayaran.

Setiap kali Adipati menciptakan emas baru, jarinya terasa perih seperti ditusuk jarum halus. Kadang darah menetes dari ujung kukunya. Dan anehnya, setiap tetes darah itu, saat jatuh ke tanah, berubah menjadi emas.

Emas yang indah... tapi berbau anyir.

Malam demi malam, suara itu kembali datang.

“Kekayaanmu tumbuh dari darahmu sendiri, cucuku…”

“Setiap butir emas menuntut bayaran, dan kau telah mulai membayarnya.”

Adipati terdiam di ruang kerjanya, menatap tumpukan perhiasan yang berkilau di meja. Lampu gantung di atas kepalanya bergetar pelan, menebarkan cahaya kekuningan yang membuat semua tampak seperti mimpi.

Tapi dalam pantulan emas itu,

tiba-tiba ia melihat bayangan wajah lain — sosok tua berjubah putih . Canggah Raiman. Leluhur yang namanya hanya dikenal dalam cerita rakyat di kampung pesisir.

“Apakah ini... warisan panjenengan..?” tanya Adipati pelan.

Bayangan itu tersenyum samar dari balik permukaan emas.

“Warisan... atau hukuman. Itu tergantung pada seberapa jauh kau gunakan...”

Angin malam menyusup lewat jendela. Tirai bergoyang lembut, tapi udara terasa berat, mengandung aroma logam dan darah.

Adipati merasakan jantungnya berdetak makin cepat. Ujung jarinya kembali berdarah tanpa sebab. Ia menatap tetesan itu jatuh ke lantai... dan, seperti biasa, berubah menjadi butiran emas kecil.

Tapi kali ini, emas itu tak hanya diam. Ia bergerak perlahan, menggeliat seperti makhluk hidup, membentuk pola melingkar di lantai.

Adipati terpaku. Nafasnya memburu. Dari pusaran itu, muncul suara tawa lirih—suara yang sama dari malam-malam sebelumnya.

“Setiap kekayaan memiliki harga,” bisik suara itu.

“Kau sudah membayar dengan darahmu... tapi belum dengan jiwamu.”

Lampu di ruangan itu padam seketika. Hanya kilau emas yang menyala samar, seperti mata-mata kecil yang mengintip dari kegelapan.

Adipati menatap cermin di depan meja, dan untuk sesaat, ia ingin memastikan bahwa semua ini cuma mimpi. Tapi dari balik pantulan kaca, Canggah Raiman kembali menatapnya—kali ini bukan tersenyum. Ia berkedip.

Dan dari retakan cermin, butiran emas itu perlahan mengalir ke arah kaki Adipati, dan mengelilinginya seperti ular yang menunggu mangsa.

Ia ingin berlari, tapi tubuhnya kaku.

Dan Hanya satu kalimat yang menggema di kepala:

“Emas nggowo kuoso...lan getih..”

lalu, .

Udara di sekitarnya berubah dingin. Dan Dari balik jendela, terdengar bisikan halus tak kasat mata .

“sesok... giliranmu...”

Adipati menoleh cepat ke arah suara itu — tapi tak ada siapa pun.

Di atas meja, tumpukan emas bergetar sendiri.

Dan di antara kilauannya, tampak sepotong jari manusia… terbungkus sempurna dalam kain kafan.

More Chapters