Osaka. Jepang. 1965.
Cahaya lampu gantung yang hangat menaungi ruang tamu, menembus tumpukan buku yang berserakan di atas meja kopi. Di sofa, seorang pria bersandar dengan mata terpejam. Napasnya yang teratur berpadu dengan suara jarum jam dinding yang bergerak pelan.
Di ambang pintu, istrinya tersenyum melihatnya. Di pelukannya, balita mereka tertidur pulas. Sementara itu, putra sulungnya yang berusia delapan tahun sibuk menyusun balok-balok di lantai, suara balok yang bergeser menjadi satu-satunya melodi di dalam rumah.
Tiba tiba, terdengar suara retakan tajam yang memecah kesunyian.
Pria itu seketika membuka mata, indranya langsung siaga. Ia membiarkan napasnya tertahan, jantungnya berdebar, dan telinganya menajam. Ia mendengarkan, tapi hanya angin malam yang berbisik melewati tirai yang sedikit terbuka.
Namun, di sudut matanya, ia melihat ada sesuatu yang salah. Sebutir lubang kecil, seukuran kelereng, terbentuk di kaca jendela depan. Dari sana, retakan-retakan halus menyebar seperti jaring laba-laba.
Dengan gerakan sehalus mungkin, ia beranjak dari sofa, kakinya tidak membuat suara di lantai. Ia membungkuk, tangannya menyentuh bagian bawah meja kopi. Jari-jemarinya meraba tepian kayu yang halus, mencari sebuah tuas tersembunyi.
Klik.
Sebuah laci bergeser. Pria itu menarik keluar sebuah pistol. Gagangnya terasa dingin di tangannya. Matanya kemudian bertemu dengan mata istrinya. Ia tidak berteriak. Ia hanya menggerakkan dagunya, sebuah isyarat kecil yang penuh arti: pergi.
Tatapan matanya yang gelap dan dingin berbicara lebih keras dari teriakan apa pun.
Istrinya mengangguk. Wajahnya yang pucat tak menunjukkan perlawanan, hanya ketakutan yang terpendam. Ia menunduk, menarik tangan putra sulungnya. Namun, si sulung tidak bergerak. Ia menatap ayahnya, matanya yang membelalak dipenuhi kebingungan.
Di pelukan sang ibu, adiknya mulai bergerak gelisah, suara tangis kecilnya mulai pecah, menangkap kepanikan yang menyebar di udara.
Pria itu menatap anak sulungnya, dan dunia terasa melambat. Tangannya yang memegang pistol kini bergetar sedikit. Ia berjongkok. Wajahnya, yang selama ini tegar, kini dipenuhi ketakutan.
"Papa berjanji akan menyusul kalian," bisiknya pelan. "Jaga Mama dan adik, ya? Jadilah pemberani."
Anak itu mengangguk, air mata mulai menggenang di matanya yang berkaca-kaca.
Sang Istri menarik tangan anak sulung mereka, dan ia menoleh sekali lagi. Matanya bertemu mata suaminya. Tidak ada kata-kata perpisahan. Hanya tatapan yang penuh cinta, penuh janji, dan penuh ketakutan. Itu adalah percakapan yang hanya bisa dipahami oleh dua orang yang telah berbagi segalanya; sebuah isyarat terakhir yang terucap tanpa suara
Suara langkah mereka memudar, ditelan lorong gelap yang menuju ke ruang bawah tanah.
Pria itu menarik napas dalam-dalam. Pistol di tangannya terasa semakin berat. Ia tidak tahu berapa banyak orang yang datang. Tapi, ia tidak akan membiarkan siapapun menyentuh keluarganya.
Langkah-langkah kaki di luar mulai terdengar jelas. Cepat dan tanpa ragu. Ia bisa merasakan getaran dari langkah-langkah itu di lantai kayu mahal di bawah kakinya.
Pintu depan terdorong paksa hingga terlepas dari engselnya, menghantam dinding dengan suara keras.
Pria itu menempel di ambang pintu, bersembunyi di balik bayangan. Ia mulai mendengar suara sepatu bot kasar bergesekan dengan pecahan kaca di lantai.
Sosok pertama terlihat, bayangan gelap yang bergerak cepat, memindai seisi ruangan. Pria itu menyesuaikan bidikan. Ia menahan napas, tangannya stabil, dan dunia kembali melambat.
Dentuman.
Peluru itu melesat menembus keheningan yang tegang, menghantam dada sosok pertama. Tubuh itu ambruk, tidak bersuara.
Seketika itu juga, atmosfer ruangan berubah. Suara tembakan balasan meledak, tanpa ampun. Kaca-kaca jendela pecah, peluru menghantam dinding, debu dan serpihan eternit berhamburan di udara. Dinding rumah yang penuh foto keluarga kini dipenuhi lubang-lubang yang menakutkan.
Ia meluncur ke samping, mencari perlindungan di balik sofa yang sudah compang-camping. Ia terus melawan. Menghindar, menembak, dan selalu berusaha menahan mereka agar tidak mencapai tempat keluarganya bersembunyi.
Dan dalam benaknya, ia hanya punya satu harapan. Bukan untuk bertahan hidup, tetapi untuk waktu. Waktu agar mereka bisa lolos dan waktu agar pengorbanannya cukup berarti.
Ia bisa merasakan darah menetes dari pelipisnya, sensasi hangat yang merayap di kulitnya. Pistol di tangannya terasa panas, seolah-olah ia sudah melawannya selama berjam-jam.
Ia terus berjuang, menukar peluru demi peluru, nyawa demi nyawa. Semua demi waktu.
Jumlah mereka terlalu banyak. Terlalu banyak bayangan yang bergerak dalam kegelapan. Ia bisa merasakan bahunya meledak dengan rasa sakit yang membakar. Ia tersungkur, tubuhnya menabrak meja kopi, menjatuhkan tumpukan buku yang berserakan. Pistolnya terlepas, meluncur ke sudut ruangan yang gelap dan tak terjangkau.
Saat ia mencoba meraihnya kembali, rasa sakit yang lebih dalam menghantam dadanya. Bukan lagi rasa sakit yang membakar, melainkan sesuatu yang dingin dan menusuk. Ia jatuh, pandangannya mulai memburam. Suara tembakan dan pecahan kaca di sekitarnya perlahan memudar, digantikan oleh suara napasnya sendiri yang tercekat. Ia bisa merasakan darah hangat membanjiri dadanya dan membasahi kain bajunya.
Pandangannya mulai memburam, namun ia masih bisa melihat sosok itu mendekat. Langkahnya tenang, tidak tergesa-gesa. Dari cara ia membawa dirinya, pria yang tergeletak di lantai itu langsung tahu bahwa dialah pemimpinnya.
Dan juga... sahabatnya.
Pengkhianatan itu menghantam lebih keras dari peluru mana pun. Rasa sakit di tubuhnya tidak sebanding dengan luka yang mengoyak batinnya. Bibirnya bergetar, mencoba mengucapkan nama sosok itu, tapi hanya darah yang keluar, menetes ke lantai kayu yang akan menjadi tempat peristirahatan terakhirnya.
Seseorang itu berhenti beberapa langkah di depannya. Matanya kosong, namun terselip kilat kebencian yang membunuh. Ia menyentuhkan ujung pistolnya ke dahi sahabatnya yang terluka parah itu. Rasanya dingin. Sangat dingin.
"Anggap saja kita impas, Luis."
Dor.
Suara tembakan itu tidak terlalu keras. Hanya satu tembakan yang mematikan.
Seseorang itu lalu berdiri, dan melangkah melewati tubuh yang terkulai, menuju ke arah ruangan belakang. Langkahnya tenang, tanpa ragu.
Beberapa detik kemudian, jeritan itu pecah, menggema di seluruh rumah. Jeritan seorang anak. Lalu, jeritan seorang istri. Lalu, jeritan yang lebih jauh, yang ia kenali sebagai suara ibu dan adik perempuannya.
Dunia Luis runtuh dalam suara-suara itu, memudar bersama denyut terakhir dari jantungnya yang lemah. Sebelum semuanya gelap, satu gumaman terakhir menyelinap di belah bibirnya,
"Mengapa harus kau, dari banyaknya orang yang kukenal, Mason?"
By hanxuan_officiwrt
