Ryn jatuh… atau mungkin melayang. Sulit untuk membedakan.
Di sekelilingnya, warna-warna seperti tinta yang ditumpahkan ke air berputar tanpa aturan, namun tetap membentuk pola yang anehnya terasa… disengaja.
Ia mencoba menggapai sesuatu, tapi jari-jarinya menembus "udara" yang terasa seperti lembaran basah. Setiap sentuhan meninggalkan riak bercahaya yang segera berubah menjadi huruf-huruf asing, melayang lalu pecah seperti kaca.
---
Lantai yang Bukan Lantai
Perlahan, pijakan mulai terbentuk di bawahnya—bukan batu atau tanah, melainkan untaian cahaya yang saling mengikat, menyerupai jembatan yang melayang di tengah kehampaan.
Langkah pertamanya membuat suara seperti gesekan pena di atas kertas.
Di kejauhan, ia melihat siluet menara yang tampak… setengah jadi, seperti lukisan yang belum selesai. Bagian puncaknya berkilau, sementara bagian bawahnya menghilang ke kabut yang berputar.
---
Bisikan yang Tidak Diam
Suara-suara mulai merayap ke dalam kepalanya.
"Baca kami…"
"Tulislah ulang…"
"Hapus baris itu…"
Ryn menggenggam pena erat-erat. Setiap bisikan terasa seperti menariknya untuk mengubah sesuatu yang ia bahkan tidak mengerti. Ia sadar tempat ini bukan sekadar ruang—ini adalah halaman kosong yang belum memutuskan kisah apa yang akan terjadi.
---
Pertemuan yang Mengguncang
Di tengah jembatan cahaya, sebuah bayangan mulai terbentuk, tumbuh dari ketiadaan. Tubuhnya seperti terbuat dari coretan-coretan kuas yang belum selesai, matanya dua lubang gelap yang berputar pelan.
"Aku adalah Kurator Bayangan," suaranya berat, menggetarkan jembatan. "Tugasmu sederhana—keluar, atau kau akan menjadi catatan kaki yang terlupakan di sini."
"Aku tidak bisa keluar. Ada yang harus kutemukan."
Bayangan itu tertawa—suara seperti buku yang dibanting keras. "Kalau begitu, bersiaplah. Di sini, kata-kata adalah pedang, dan kesalahan ejaan bisa membunuhmu."
---
Arah ke Fraktura
Di belakang Kurator, langit retak, memperlihatkan lorong berkilau yang seakan mengarah ke suatu tempat jauh. Cahaya itu berdenyut seperti nadi, dan entah kenapa Ryn tahu—itulah pintu menuju Fraktura.
Tapi untuk melewatinya, ia harus bertarung… bukan dengan kekuatan otot, tapi dengan kemampuan menulis ulang realitas di hadapan Kurator Bayangan.