Zenthras tidak langsung meninggalkan dunia mati itu. Selama berhari-hari, ia duduk di puncak gunung tertinggi, keheningan di sekitarnya berbanding terbalik dengan badai pikiran di dalam benaknya.
Kata-kata dari sang pengelana waktu terus terngiang. "Sebuah Penjaga di Tepi Realitas." "Di setiap realitas yang jatuh, pos itu kosong."
Selama ini, ia menganggap perjalanannya sebagai tujuan itu sendiri. Pertarungan demi pertarungan, kemenangan demi kemenangan. Ia mengukur dirinya dari kekuatan lawan yang ia hadapi. Tapi pengelana waktu itu menyiratkan sesuatu yang lain. Bahwa pertarungan-pertarungannya bukanlah tujuan, melainkan persiapan. Bahwa ada sebuah perang yang jauh lebih penting yang menunggunya. Sebuah "pos" yang harus diisi.
Untuk pertama kalinya, Zenthras merasa bahwa kekuatannya yang tak terbatas mungkin memiliki tujuan yang lebih besar daripada sekadar pembuktian diri. Pertanyaan yang ia tidak tahu ia miliki, kini menuntut sebuah jawaban.
Dan jawaban itu pun datang.
Ruang di hadapannya bergetar. The Void Sovereign muncul dalam Wujud Kehendak-nya, sebuah cerminan dari kekuatan yang dimiliki Zenthras, sebuah isyarat hormat.
Zenthras bangkit. Kali ini, tatapannya bukan hanya sekadar pengakuan, tetapi penuh dengan pertanyaan yang mendesak.
"Pengelana waktu itu," kata Zenthras, suaranya yang dalam menggema. "Dia adalah utusanmu?"
Sovereign menggeleng pelan. "Bukan. Dia adalah korban dari sebuah masa depan yang gagal, sebuah gema dari perang yang belum kau ketahui. Aku datang karena kau sekarang siap untuk mendengar tentang perang itu."
Sovereign menceritakan segalanya. Tentang pertarungannya melawan Chronovore. Tentang sifat Kehampaan Luar yang non-kausal. Tentang ancaman-ancaman yang tidak terikat oleh hukum alam semesta ini.
"Makhluk seperti Geovore yang kau kalahkan adalah bagian dari siklus alam semesta ini," jelas Sovereign. "Bahkan Gema Narsissus lahir dari emosi makhluk hidup di dalamnya. Mereka adalah masalah internal. Tapi Chronovore... dan yang lainnya seperti dia... adalah penyakit dari luar yang ingin menginfeksi dan menghapus semua yang ada."
Ia kemudian menatap Zenthras, tatapannya serius. "Aku telah membuat perjanjian untuk tidak ikut campur dalam urusan alam semesta ini. Aku tidak bisa selamanya menjadi penjaga gerbang. Realitas ini membutuhkan Pelindung Perbatasannya sendiri."
Tawaran itu kini terucap, tetapi Zenthras sudah menduganya. Namun, dengan semua yang telah ia lalui, ia punya pertanyaan.
"Mengapa aku?" tanyanya. "Noa memiliki kebijaksanaan untuk menuntun. Zarath memiliki disiplin untuk melatih. Kekuatanku... hanyalah kekuatan untuk bertarung."
"Tepat sekali," jawab Sovereign. "Noa adalah perisai untuk melindungi kehidupan. Zarath adalah pedang untuk menempa para pahlawan. Mereka berdua terikat pada konsep dan emosi dari realitas ini. Engkau berbeda, Zenthras."
"Kehendakmu murni. Kekuatanmu tidak terikat oleh ambisi, belas kasih, atau bahkan logika. Ia adalah kekuatan absolut, demi kekuatan itu sendiri. Dan itulah satu-satunya bahasa yang dimengerti oleh ketiadaan. Untuk menghadapi kegilaan dari luar, dibutuhkan seseorang yang kehendaknya lebih gila dan lebih absolut. Engkau bukan hanya seorang pejuang. Engkau adalah sebuah konstanta."