Bab 26 – Di Ambang Gerbang Cahaya
Perjalanan menuju perbatasan Lumina'val ternyata tidak sejauh yang Elara bayangkan, namun cukup untuk membuat mereka saling mengenal lebih banyak—atau setidaknya, Elara mengenal Ruhosi lebih banyak, karena bocah itu tak henti-hentinya berceloteh dan bertanya.
"Jadi, Elf itu beneran bisa ngomong sama pohon? Terus kalau pohonnya lagi ngantuk gimana? Apa kalian juga makan serangga? Aku pernah coba makan belalang goreng, rasanya kayak keripik tapi ada kakinya!"
Elara hanya bisa terkikik geli atau menggelengkan kepala dengan sabar. Ia menceritakan sedikit tentang Lumina'val, tentang keindahan alamnya, tentang para Elf yang hidup harmonis, menghindari detail tentang betapa tertutupnya komunitas mereka. Ruhosi mendengarkan dengan antusias, sesekali menyela dengan pertanyaan-pertanyaan yang semakin aneh.
"Terus, rambut permen kapasmu itu bisa dimakan nggak? Atau kalau kena hujan jadi luntur?" tanya Ruhosi sambil menunjuk rambut Elara.
Pipi Elara sedikit merona. "Tentu saja tidak! Ini warna asliku."
"Oh…" Ruhosi tampak sedikit kecewa. "Sayang banget. Padahal aku sudah bayangin rasanya kayak arum manis."
Meski begitu, Elara memperhatikan bagaimana Ruhosi selalu waspada. Telinganya yang sedikit runcing bergerak-gerak menangkap suara sekecil apapun, matanya yang tajam awas mengamati sekeliling, dan langkahnya seringan angin meski ia membawa tombak kayu yang tampak berat. Kemampuan Napas Anginnya benar-benar mengagumkan. Ia bahkan sempat menyelamatkan Elara dari hampir terpeleset ke jurang kecil dengan hembusan angin yang ia ciptakan secara tiba-tiba.
"Kamu… hebat sekali," puji Elara tulus setelah insiden itu.
Ruhosi hanya nyengir. "Ini sih belum seberapa! Kamu belum lihat aku kalau lagi ngejar monster es krim raksasa!"
Saat mereka semakin dekat dengan perbatasan Lumina'val, aura hutan mulai berubah. Udara terasa lebih murni, dipenuhi aroma bunga-bunga lembut yang tak dikenal Ruhosi. Cahaya matahari yang menembus kanopi seolah lebih hangat dan keemasan. Elara tampak semakin nyaman, sementara Ruhosi justru sedikit gelisah.
"Wah, tempat ini… terang banget ya," gumam Ruhosi, menyipitkan matanya. Asap hitam dari retakan di kulitnya tampak sedikit meredup, seolah tertekan oleh aura cahaya murni di sekitarnya.
"Ini adalah Hutan Lumina," bisik Elara. "Rumahku sudah dekat."
Mereka akhirnya tiba di depan sebuah gerbang tak kasat mata yang Elara kenali. Tidak ada bangunan fisik, hanya dua pohon perak raksasa yang tumbuh berdekatan, dan di antara keduanya, Elara bisa merasakan selubung energi pelindung yang tak terlihat oleh mata biasa.
"Ini dia batasnya," kata Elara, berhenti melangkah. "Aku… aku harus masuk sendiri dari sini. Terima kasih banyak sudah mengantarku, Ruhosi. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi jika kau tidak datang."
Ruhosi mengamati 'gerbang' itu dengan penasaran. "Jadi, di balik pohon kembar itu duniamu ya? Keren juga. Kayak punya pintu rahasia."
Ia terdiam sejenak, senyum konyolnya sedikit memudar. Ada sesuatu dalam tatapan matanya yang membuat Elara merasa aneh. "Elara… kalau misalnya… aku boleh tanya satu hal lagi nggak?"
"Tentu," jawab Elara.
"Bintang Kembar Merah itu… apa benar-benar berarti sesuatu yang penting buatmu?"
Elara menatap Ruhosi. Pertanyaan itu lebih serius dari semua pertanyaan konyol sebelumnya. Ia teringat fragmen perkamennya. "Aku… aku belum tahu pasti. Tapi aku merasa begitu. Ada hubungannya dengan… siapa aku sebenarnya."
Ruhosi mengangguk pelan. "Sama dong kalau gitu. Aku juga lagi cari tahu siapa aku. Kata Lensa ajaibku ini," ia menepuk sakunya, "aku harus kumpulin Kunci-Kunci aneh buat ngerti."
Sebelum Elara sempat bertanya lebih lanjut tentang 'Kunci-Kunci', dua sosok berjubah putih dengan sulaman daun perak muncul dari balik gerbang tak kasat mata itu. Mereka adalah penjaga perbatasan Elf. Wajah mereka anggun namun tegas, dan mata mereka langsung tertuju pada Ruhosi dengan sorot penuh selidik.
"Elara! Kau kembali!" seru salah satu penjaga, suaranya merdu namun membawa nada khawatir. "Dan… siapa ini bersamamu?" Aura campuran Ruhosi, terutama sisa-sisa asap hitam yang masih terlihat samar, jelas menarik perhatian mereka.
Elara merasa sedikit panik. "Penjaga Rael, Penjaga Lyra," sapanya gugup. "Ini… ini Ruhosi. Dia… dia menolongku di hutan. Ada Gorok yang menyerang, dan dia menyelamatkanku." Ia mengangkat bunga bulan sabit di tangannya. "Aku berhasil mendapatkan bunganya."
Penjaga Rael menatap Ruhosi dari atas ke bawah, tatapannya dingin. "Auramu… aneh, Anak Muda. Kau bukan berasal dari sekitar sini."
Ruhosi, bukannya takut, malah melambaikan tangan dengan ceria. "Halo Om Elf! Aku Ruhosi, teman barunya Elara! Aku cuma nganterin dia pulang biar nggak digigit Beruang Jelek lagi!"
Para penjaga saling pandang. Sikap Ruhosi yang terlalu santai dan auranya yang tak biasa membuat mereka semakin waspada.
"Elara, kau harus segera masuk dan melapor pada Tetua Elarael," kata Penjaga Lyra, suaranya lebih lembut namun tetap tegas. "Dan kau, Anak Muda… sebaiknya kau melanjutkan perjalananmu. Hutan Lumina bukan tempat untuk orang luar, terutama yang membawa aura kegelapan sepertimu."
Ruhosi tampak ingin protes, tapi Elara dengan cepat menyela. "Ruhosi, terima kasih sekali lagi. Aku… aku harap kita bisa bertemu lagi." Ada nada sedih dalam suaranya yang tak bisa ia sembunyikan. Pertemuan singkat ini terasa begitu berarti.
Ruhosi menatap Elara, lalu ke dua penjaga Elf yang jelas-jelas tidak menyukainya. Ia menghela napas, lalu kembali tersenyum, meski sedikit dipaksakan. "Oke deh, Putri Permen Kapas. Jaga diri baik-baik ya! Jangan sampai digigit beruang lagi! Kalau butuh bantuan buat lawan monster jelek, teriak aja namaku tiga kali, siapa tahu aku dengar!"
Dengan itu, ia berbalik, melambaikan tangan sekali lagi tanpa menoleh ke belakang, lalu mulai melangkah menjauhi perbatasan Lumina'val. Asap hitam dari retakan tubuhnya kini tampak sedikit lebih pekat, seolah merespons penolakan yang baru saja ia rasakan.
Elara menatap punggung Ruhosi yang menjauh, hatinya dipenuhi berbagai macam perasaan. Sedih, berterima kasih, dan… sebuah harapan aneh bahwa ini bukanlah akhir dari pertemuan mereka. Liontin di lehernya masih terasa hangat.
"Elara, ayo masuk," kata Penjaga Rael lembut.
Elara mengangguk, lalu melangkah melewati gerbang tak kasat mata itu, kembali ke dunianya yang tenang dan aman. Namun, ia tahu, sesuatu dalam dirinya telah berubah. Dunia di luar sana, dengan segala bahaya dan keanehannya, kini terasa jauh lebih nyata dan memikat, terutama karena ia telah bertemu dengan seorang bocah konyol bernama Ruhosi, yang entah bagaimana, terasa seperti bagian dari takdir yang selama ini ia cari.
Sementara itu, Ruhosi yang berjalan sendirian, menendang-nendang kerikil, merasakan Lensa Kabutnya bergetar. Ia mengeluarkannya. Garis merah tipis yang menandakan ancaman Vorgash kini sedikit berbelok, seolah kehilangan jejaknya untuk sementara waktu. Namun, titik biru yang menandakan Kunci Angin dan titik hijau dari Kunci Kehidupan kini bersinar lebih terang, dan di antara keduanya, sebuah benang cahaya tipis berwarna pink keperakan baru saja terbentuk, menghubungkan mereka, berdenyut lembut seirama dengan Bintang Kembar Merah yang masih bersinar di langit Alkein.
Ruhosi mengernyit. "Apaan nih? Kok jadi ada benang pink segala? Jangan-jangan Lensa ini ketularan warna rambut si Elara!" Meskipun begitu, ia merasakan kehangatan aneh di hatinya saat melihat benang cahaya baru itu. Mungkin… perjalanannya mencari jati diri tidak akan sesepian yang ia kira.
Ini adalah bab terakhir yang Anda berikan. Bagaimana kelanjutannya? Apakah Ruhosi akan melanjutkan perjalanannya sendirian? Bagaimana laporan Elara kepada Tetua Elarael dan reaksi para Elf terhadap pertemuannya dengan Ruhosi? Dan bagaimana benang takdir yang baru terbentuk itu akan mempengaruhi petualangan mereka selanjutnya?
Jika Anda ingin, kita bisa membahas kemungkinan kelanjutan ceritanya atau jika Anda punya ide untuk bab berikutnya.